HARI Batik Nasional, yang kita rayakan setiap 2 Oktober, selayaknya menjadi momen penuh kebanggaan.
Tahun ini, dengan tema "Bangga Berbatik" yang digagas oleh Yayasan Batik Indonesia (YBI), perayaan ini bertujuan mendorong masyarakat untuk lebih sering mengenakan batik dalam kehidupan sehari-hari.
Batik, sebagai simbol kekayaan budaya Indonesia, tak hanya berharga secara estetika, tetapi juga sarat makna sejarah yang telah diakui dunia.
Baca juga: Kemenperin-YBI Populerkan ‘Bangga Berbatik’ Lewat Pameran Hari Batik, 2-6 Oktober 2024
Namun, di balik gemerlap perayaan ini, ada kenyataan getir yang tengah menghantui: batik lokal sedang berada di ambang krisis serius, disebabkan oleh gempuran produk batik impor, terutama dari China.
Masuknya batik impor, yang diproduksi secara massal dengan teknik cetak, menjadi ancaman nyata bagi industri batik lokal, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sentra-sentra batik seperti Yogyakarta, Solo, Pekalongan, dan Cirebon.
Produk tiruan ini mungkin terlihat menyerupai batik, tetapi jauh dari kualitas dan nilai seni yang dimiliki batik asli Indonesia.
Lebih parahnya lagi, batik impor tersebut dijual dengan harga sangat murah, sehingga menggoda konsumen lokal yang mungkin kurang peduli pada keaslian produk.
Persoalan ini membawa dampak serius bagi para pengrajin batik yang menggantungkan hidup mereka pada hasil karya tangan yang membutuhkan ketelatenan dan ketekunan tinggi.
Baca juga: Di Festival Budaya RI di Lima, Finalis Miss World Peru 2024 Kenakan Batik Pekalongan
Mereka tak hanya harus berjuang menjaga kualitas dan keaslian produk mereka, tetapi juga menghadapi tekanan pasar yang didominasi oleh batik cetak murah dari luar negeri.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana nasib UMKM batik jika batik impor terus membanjiri pasar domestik tanpa pengawasan yang memadai?
Sebenarnya, pemerintah telah membuat beberapa kebijakan untuk melindungi produk lokal dari serbuan impor, namun sayangnya implementasinya masih jauh dari harapan.
Celah dalam regulasi impor dan lemahnya pengawasan membuat produk batik tiruan bebas mengalir ke pasar Indonesia.
Inilah saatnya pemerintah untuk mengambil langkah yang lebih tegas dan sistematis.
Pemberlakuan tarif impor yang lebih tinggi untuk produk tiruan, serta penguatan aturan pelabelan, akan sangat membantu konsumen dalam membedakan mana produk lokal yang asli dan mana yang merupakan produk cetak dari luar negeri.
Baca juga: Rayakan 40 Tahun Hubungan Diplomatik RI-Irlandia, Museum Tekstil Gelar Pameran Batik
Konsumen berhak tahu apa yang mereka beli dan memilih untuk mendukung industri dalam negeri.
Namun, perlindungan di pasar domestik saja tidak cukup.
Jika kita ingin batik benar-benar mendunia, maka pemerintah harus lebih serius dalam mendorong produk batik lokal ke kancah internasional.
Sayangnya, meskipun upaya promosi batik ke luar negeri sudah lama dimulai, hasilnya masih sangat minim.
UMKM batik lokal sering kali terkendala dengan birokrasi yang rumit dalam proses ekspor dan terbatasnya akses pasar internasional.
Di sisi lain, batik impor dari negara-negara lain, terutama China, justru lebih mudah dan agresif masuk ke pasar global dengan harga yang lebih kompetitif.
Untuk itu, pemerintah perlu memberikan dukungan yang nyata dan berkelanjutan kepada pelaku UMKM batik.
Fasilitasi permodalan, akses pelatihan digital, hingga bantuan dalam menembus pasar global harus menjadi prioritas.
Program-program ini bukan sekadar pelengkap, tetapi kebutuhan mendesak untuk menjaga agar batik lokal bisa bersaing dan bertahan di tengah kerasnya persaingan global.
Hari Batik Nasional tak seharusnya menjadi sekadar ritual seremonial tahunan yang dipenuhi pidato dan ucapan bangga tanpa tindak lanjut nyata.
Perayaan ini harus menjadi titik tolak bagi kita semua, termasuk pemerintah dan masyarakat, untuk benar-benar mengambil langkah serius dalam melindungi dan memajukan batik sebagai warisan budaya yang hidup.
Karena pada akhirnya, menjaga batik bukan hanya soal menjaga tradisi dan identitas, tetapi juga soal menyelamatkan mata pencaharian ribuan pengrajin dan pelaku UMKM di seluruh negeri.
Jika kita terus diam dan hanya menikmati batik tanpa memikirkan keberlangsungan industri ini, maka tak lama lagi kita mungkin hanya akan menjadi saksi bisu dalam kemerosotan salah satu warisan budaya terbesar yang kita miliki.
Dan pada saat itu, penyesalan akan datang terlambat, sementara batik—simbol kebanggaan Nusantara—berangsur hilang tergerus oleh arus globalisasi yang tak terkendali. (SG-2)