SISTEM Layanan Informasi Keuangan (SLIK) masih menjadi tolok ukur utama bagi banyak perbankan dalam menilai kelayakan calon debitur, terutama di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Meskipun sistem ini telah menjadi pilar penting dalam proses penilaian kredit, pertanyaan besar muncul mengenai apakah pendekatan ini memadai untuk memberikan akses pembiayaan yang adil dan inklusif bagi UMKM, terutama bagi mereka yang belum memiliki jejak kredit yang kuat.
Credit Scoring: Alat Penting, tapi Bukan Segalanya
Seperti yang diungkapkan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, bahwa credit scoring memang merupakan salah satu variabel penting dalam menilai kelayakan calon debitur.
Baca juga: Dorong Akses Pembiayaan UMKM, ‘Credit Scoring’, Langkah Progresif atau Tantangan Baru?
Namun, menjadikan credit scoring—yang umumnya mengandalkan data dari SLIK—sebagai satu-satunya indikator dalam penilaian, bisa menjadi keputusan yang kurang adil bagi UMKM yang belum memiliki rekam jejak kredit formal.
Dian menegaskan bahwa pada umumnya, bank menggunakan data dari SLIK untuk menilai kelayakan calon debitur melalui credit scoring, namun bank juga dapat menggunakan data alternatif lainnya.
Pernyataan ini menunjukkan adanya peluang untuk memperluas penilaian kredit dengan mempertimbangkan data-data non-tradisional.
Ini bukan hanya soal kelayakan kredit, tetapi tentang memberikan akses yang lebih inklusif dan adil bagi sektor UMKM yang selama ini menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pembiayaan.
Dalam banyak kasus, UMKM yang masih baru atau yang belum sepenuhnya 'bankable' cenderung dianggap berisiko tinggi hanya karena mereka tidak memiliki catatan kredit formal.
Inovasi yang Diperlukan: Innovative Credit Scoring (ICS)
OJK tampaknya menyadari hal ini, dengan mendorong pemanfaatan Innovative Credit Scoring (ICS) sebagai alternatif.
ICS memungkinkan bank untuk memanfaatkan data lain yang tidak melulu berdasarkan sejarah kredit formal, seperti riwayat pembayaran utilitas, aktivitas di media sosial, atau bahkan pola transaksi digital.
Baca juga: Terobosan Pembiayaan UMKM, Mampukah ‘Credit Scoring’ Atasi Akses yang Terbatas?
Langkah ini tentu merupakan perubahan yang signifikan, mengingat banyak UMKM di Indonesia beroperasi secara informal dan tidak tercatat dalam sistem keuangan tradisional.
Inovasi seperti ini tidak hanya akan membuka akses pembiayaan yang lebih luas bagi UMKM, tetapi juga mencerminkan adaptasi terhadap perkembangan zaman, di mana data digital dan perilaku online kini menjadi aset yang bernilai.
Namun, di balik potensi besar ini, terdapat kekhawatiran yang perlu diperhatikan.
Dian menegaskan pentingnya mitigasi risiko dengan memastikan bahwa model penilaian oleh ICS menghasilkan predictive value yang akurat dan dapat diandalkan.
Ini berarti bahwa ICS harus terus dievaluasi secara berkala agar dapat memberikan penilaian yang tidak hanya inovatif, tetapi juga kredibel.
POJK Baru: Peluang dan Tantangan
Langkah lain yang diambil oleh OJK adalah rencana penerbitan Peraturan OJK (POJK) baru mengenai Kemudahan Akses Pembiayaan bagi UMKM.
Peraturan ini diharapkan dapat memberikan fleksibilitas bagi lembaga jasa keuangan dalam menetapkan kebijakan khusus untuk analisis kelayakan debitur UMKM.
Kebijakan ini, jika diterapkan dengan baik, akan membuka jalan bagi lebih banyak UMKM untuk mendapatkan pembiayaan, yang selama ini sulit dijangkau oleh sistem perbankan konvensional.
Namun, tantangan yang tersisa adalah bagaimana memastikan bahwa inovasi ini benar-benar diterapkan oleh perbankan secara luas.
Seperti yang kita tahu, sektor perbankan di Indonesia cenderung konservatif, dan masih banyak lembaga keuangan yang enggan mengambil risiko.
Baca juga: Mengubah UMKM Indonesia, dari Sekadar Bertahan Hidup ke Daya Saing Global
Hal ini seringkali berdampak pada UMKM, yang meskipun memiliki potensi besar, tetap sulit mendapatkan akses pembiayaan karena dianggap berisiko tinggi.
Membuka Akses yang Lebih Inklusif untuk UMKM
Pemanfaatan Innovative Credit Scoring dan penerbitan POJK baru adalah langkah-langkah yang patut diapresiasi dalam upaya meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM.
Namun, inovasi ini hanya akan efektif jika ada kesediaan dari perbankan untuk benar-benar mengadopsinya, dengan tetap mempertimbangkan mitigasi risiko yang baik.
Kita tidak hanya membutuhkan sistem yang lebih inklusif, tetapi juga sistem yang adil dan kredibel dalam menilai potensi UMKM di Indonesia.
Pada akhirnya, akses pembiayaan yang lebih mudah bagi UMKM tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Akses pembiayaan juga menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat sektor ekonomi informal yang selama ini kurang dilirik oleh sistem keuangan tradisional.
Sudah saatnya UMKM mendapatkan peran yang lebih besar dalam perekonomian nasional, dan kebijakan yang tepat adalah kunci untuk mewujudkannya. (SG-2)