Editorial

Dorong Akses Pembiayaan UMKM, ‘Credit Scoring’, Langkah Progresif atau Tantangan Baru?

Salah satu terobosan yang menjadi sorotan adalah pemanfaatan credit scoring dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang bertujuan memberikan peluang lebih luas bagi UMKM mendapatkan akses kredit tanpa agunan.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
16 September 2024
Ilusatrasi. Pemanfaatan credit scoring dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang bertujuan memberikan peluang lebih luas bagi UMKM mendapatkan akses kredit tanpa agunan. (Ist)

RENCANA Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menerbitkan aturan baru terkait kemudahan akses pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) patut diapresiasi. 

 

Salah satu terobosan yang menjadi sorotan adalah pemanfaatan credit scoring dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang bertujuan memberikan peluang lebih luas bagi UMKM mendapatkan akses kredit tanpa agunan.

 

Sejalan dengan usulan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemekop UKM), OJK berencana memperkenalkan Innovative Credit Scoring (ICS) sebagai alat penilaian kelayakan kredit bagi UMKM. 

 

Baca juga: Terobosan Pembiayaan UMKM, Mampukah ‘Credit Scoring’ Atasi Akses yang Terbatas?

 

Langkah ini menawarkan solusi bagi pelaku usaha kecil yang kerap tersingkirkan dari akses pembiayaan formal karena kurangnya agunan. 

 

Dalam pernyataan tertulisnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa ICS diharapkan dapat meningkatkan penyaluran pembiayaan kepada UMKM, sebuah langkah yang terlihat menjanjikan di atas kertas.

 

Namun, di balik janji kemudahan tersebut, ada sejumlah pertanyaan penting yang perlu dicermati. 

 

Apakah credit scoring benar-benar solusi optimal bagi UMKM? Bagaimana dengan potensi risiko yang muncul bagi pihak perbankan dan debitur?

 

Tantangan di Balik Credit Scoring

 

Pemanfaatan credit scoring bukanlah hal baru di dunia perbankan global. 

 

Sistem ini telah banyak digunakan oleh lembaga keuangan sebagai alat untuk menilai kelayakan kredit berdasarkan data historis calon debitur. 

 

Baca juga: Memperluas Akses Pembiayaan untuk UMKM, Antara Tantangan dan Harapan

 

Di Indonesia, credit scoring berbasis data dari Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) sudah diterapkan untuk menilai kelayakan calon debitur.

 

Namun rencana penggunaan ICS—yang memanfaatkan data-data alternatif seperti perilaku digital atau catatan keuangan informal—menjadi hal yang relatif baru dan menarik perhatian.

 

Bagi UMKM, terutama yang berada di sektor informal, akses kredit sering kali terhambat oleh persyaratan administrasi yang ketat dan kebutuhan agunan yang sulit dipenuhi. 

 

Dengan adanya ICS, hambatan ini dapat diminimalisir, karena penilaian tidak lagi hanya bergantung pada agunan, melainkan pada data perilaku bisnis dan kemampuan calon debitur dalam mengelola usaha. 

 

Namun, di sinilah muncul tantangan besar: keakuratan dan keandalan model penilaian berbasis ICS.

 

Apakah data alternatif yang digunakan oleh ICS benar-benar mencerminkan kemampuan usaha kecil untuk mengembalikan pinjaman? 

 

Bagaimana dengan risiko kesalahan penilaian jika data yang digunakan tidak cukup solid? 

 

Penggunaan teknologi memang bisa mempercepat proses, tetapi tanpa pengawasan yang ketat, ICS bisa menjadi bumerang bagi bank dan UMKM itu sendiri. 

 

Bank harus memastikan bahwa model credit scoring yang mereka gunakan memberikan nilai prediktif yang akurat dan dapat diandalkan. 

 

Selain itu, bank harus bersiap menghadapi potensi tingginya non-performing loan (NPL) akibat kelalaian dalam melakukan penilaian berbasis data yang tidak komprehensif.

 

Risiko Moral dan Peran Bank dalam Menjaga Risiko

 

Sistem credit scoring memberikan kebebasan lebih kepada bank untuk menilai risiko, namun juga menempatkan tanggung jawab besar pada mereka. 

 

Baca juga: Mendorong UMKM Naik Kelas: Antara Retorika dan Realitas

 

Pihak bank harus memiliki risk appetite atau toleransi risiko yang jelas, sekaligus menyadari bahwa UMKM, meskipun kecil, memiliki risiko kredit yang tinggi. 

 

Tanpa pendekatan mitigasi yang baik, penggunaan ICS berpotensi meningkatkan moral hazard di kalangan UMKM—di mana pelaku usaha mungkin merasa lebih mudah mengambil pinjaman, tanpa memahami implikasi jangka panjang.

 

Di sisi lain, lembaga jasa keuangan (LJK) yang lebih berorientasi pada keuntungan mungkin tergoda untuk mendorong penyaluran kredit secara agresif demi memenuhi target, tanpa mempertimbangkan aspek risiko dengan matang. 

 

Jika ICS tidak diimbangi dengan asesmen berkala dan model penilaian yang diperbarui secara terus-menerus, hal ini dapat menyebabkan lonjakan kredit macet yang justru merugikan sektor perbankan dan UMKM itu sendiri.

 

Langkah Progresif, Namun Butuh Pengawasan Ketat

 

OJK memiliki peran penting dalam mengawasi dan mengatur pemanfaatan credit scoring di kalangan UMKM. 

 

Terobosan ini tidak boleh hanya dianggap sebagai solusi instan untuk memperluas akses pembiayaan, melainkan harus dipandang sebagai alat yang memerlukan evaluasi menyeluruh. 

 

Aturan yang diusulkan OJK harus jelas dalam menetapkan standar penilaian risiko bagi bank, serta mencakup mekanisme pengawasan yang ketat agar tidak ada celah yang dapat membahayakan stabilitas keuangan.

 

Sebagai bagian dari proses ini, OJK juga harus memastikan bahwa edukasi kepada UMKM menjadi prioritas. 

 

Banyak pelaku UMKM yang masih asing dengan konsep credit scoring dan mungkin belum sepenuhnya memahami dampaknya terhadap bisnis mereka. 

 

Pemahaman yang baik mengenai mekanisme ini akan mencegah UMKM terjebak dalam utang yang tidak mampu mereka kelola di kemudian hari.

 

Penggunaan credit scoring dalam penyaluran KUR untuk UMKM adalah langkah progresif yang dapat memperluas akses pembiayaan bagi sektor usaha kecil. 

 

Namun, di balik kemudahan ini, terdapat risiko yang perlu diantisipasi dengan hati-hati. 

 

Bank harus memiliki kebijakan mitigasi risiko yang kuat, sementara OJK perlu mengawasi implementasi credit scoring agar tetap berada dalam koridor yang aman.

 

Solusi yang dihadirkan oleh ICS memang menjanjikan, tetapi tanpa pengawasan dan penilaian yang tepat, terobosan ini bisa menjadi pedang bermata dua. 

 

Hanya dengan pengelolaan yang cermat, baik dari bank, OJK, dan pelaku UMKM itu sendiri, kebijakan ini dapat mencapai tujuan mulianya: memberdayakan UMKM dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. (SG-2)