PADA Senin siang, 27 Mei 2024, di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, terjadi unjuk rasa yang mengundang perhatian publik dan legislatif.
Sejumlah jurnalis dan serikat pekerja media, tergabung dalam berbagai aliansi, berkumpul untuk menolak revisi Undang-Undang (UU) nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Aksi ini mendapat apresiasi dari anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan, yang menekankan pentingnya menjaga kebebasan berpendapat sebagai pilar utama demokrasi.
Baca juga: Larangan Tayangan Eksklusif Jurnalisme Investigasi, Upaya Tutup Mata Terhadap Kebenaran
Farhan hadir di tengah-tengah massa dan menyatakan dukungannya terhadap aksi tersebut.
Ia menekankan bahwa revisi UU Penyiaran bisa menjadi pintu masuk bagi aturan yang mengancam kebebasan pers.
Namun, apresiasi ini tidak seharusnya berhenti pada kata-kata. Anggota DPR perlu berkomitmen untuk mengawal proses pembahasan revisi ini agar tidak mencederai kebebasan berpendapat.
Proses revisi ini masih berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, dan keputusan penting akan segera diambil apakah revisi ini akan dibahas dalam periode sekarang yang berakhir Agustus, atau dilanjutkan ke periode berikutnya.
Tiga tuntutan utama dari para jurnalis harus menjadi perhatian serius bagi DPR: pembatalan seluruh pasal bermasalah dalam revisi UU Penyiaran, pelibatan aktif dari Dewan Pers, gabungan pers mahasiswa, dan organisasi pro-demokrasi dalam pembahasan revisi, serta jaminan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam setiap peraturan perundang-undangan.
Kritik terhadap revisi UU Penyiaran ini sangat beralasan. Pasal-pasal yang dianggap bermasalah bisa mengancam kebebasan pers, yang merupakan pilar esensial dalam demokrasi.
Tanpa kebebasan pers, transparansi pemerintahan dan akuntabilitas publik akan terancam.
Kebebasan pers harus dilihat sebagai alat untuk memperkuat, bukan melemahkan demokrasi.
Baca juga: Anggota DPR RI Apresiasi Aksi Massa Jurnalis Tolak RUU Penyiaran
DPR dan pemerintah perlu menyadari bahwa setiap regulasi yang mengatur penyiaran harus dirancang dengan hati-hati dan melibatkan pemangku kepentingan utama, termasuk jurnalis dan organisasi media.
Keterlibatan ini bukan sekadar formalitas, tetapi sebagai bagian dari komitmen untuk melindungi hak asasi manusia yang fundamental.
Aksi ini menunjukkan bahwa komunitas jurnalis tidak akan tinggal diam saat kebebasan mereka terancam.
DPR harus melihat ini sebagai panggilan untuk bertindak dengan bijak dan mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan legislatif.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pers yang bebas dan kuat, dan setiap upaya untuk mengurangi kebebasan ini harus ditolak dengan tegas.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus terus berkomitmen untuk menjaga kebebasan pers.
Ini bukan hanya tentang mempertahankan status quo, tetapi juga tentang memperkuat fondasi demokrasi untuk generasi mendatang.
Baca juga: RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers dan Perluas Kewenangan KPI
DPR RI memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa revisi UU Penyiaran tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi yang kita junjung tinggi.
Kebebasan pers harus menjadi prioritas utama dalam setiap pembahasan undang-undang, untuk memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi negara yang menghargai dan melindungi hak-hak demokratis warganya. (SG-2)