KOALISI Penyiaran Stop Diskriminasi menggelar diskusi daring yang bertajuk “RUU Penyiaran 2024: Mengancam Keberagaman, Kebebasan Pers, dan Hak Kelola Kelompok Rentan” pada Selasa (21/5).
Diskusi ini membahas RUU Penyiaran yang dianggap mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Koalisi ini terdiri dari berbagai organisasi, seperti Kalyanamitra, Perempuan Mahardhika, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH Masyarakat, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Jakarta Feminist, Remotivi, Aliansi Jurnalis Indonesia, dan lainnya.
Baca juga: RUU Penyiaran Harus Tampung Aspirasi Masyarakat dan Insan Media
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Penyiaran yang disahkan pada tahun 2002. Namun, dengan perkembangan teknologi yang pesat, revisi undang-undang tersebut dianggap perlu.
Sayangnya, revisi yang sedang dilakukan DPR RI dinilai bermasalah dalam proses penyusunannya dan mengancam keberagaman, kebebasan pers, serta hak kelompok rentan.
Publik hanya diberi waktu beberapa bulan karena revisi ini ditargetkan sah menjadi undang-undang pada September 2024.
Empat Poin Masalah dalam Revisi UU Penyiaran
Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi mencatat empat poin masalah dalam revisi UU Penyiaran yang sedang dibahas di Baleg DPR RI:
Perluasan Kewenangan KPI ke Ranah Digital
Revisi UU Penyiaran meluaskan cakupan wilayah penyiaran, tak hanya penyiaran konvensional, melainkan juga mencakup penyiaran digital. Konsekuensinya, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jadi meluas.
Baca juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia, DPR RI: Jurnalis Garda Depan Sampaikan Kebenaran
Dalam revisi ini, KPI tidak hanya mengurus penyiaran konvensional yang ada di layar kaca atau layar lebar saja, namun juga memperluas kewenangannya dalam ranah digital.
Direktur Remotivi, Yovantra Arief, menyatakan bahwa perubahan ini akan mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital.
"Undang-undang ini memaksakan pola pengaturan penyiaran konvensional di ranah digital. Padahal, kedua teknologi tersebut berbeda. Hal ini bukannya melindungi tetapi membatasi kreasi," ujarnya.
RUU Penyiaran Membungkam Pers
Konsekuensi lain dari perluasan dalam revisi UU Penyiaran adalah kewajiban dari produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyatakan bahwa ini tidak seharusnya dilakukan oleh Dewan karena produk jurnalisme diatur oleh Dewan Pers sebagai produk mandat UU Pers.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Sejarah Hari Pers Nasional
Lebih dari itu, pembungkaman terhadap pers artinya juga pembungkaman terhadap kelompok marginal.
"UU Penyiaran memang sudah outdated, kita memang butuh revisi. RUU Penyiaran boleh direvisi, tetapi revisi yang kali ini justru memberangus kebebasan pers. Ini bukan cita-cita revisi yang kita inginkan. Ini merugikan banyak pihak," ujar Nani.
KPI yang Diskriminatif dan Standar Ganda
Revisi UU Penyiaran ini juga akan memperburuk kualitas demokrasi Indonesia di ruang digital dan mendiskriminasi kelompok rentan.
Direktur SAFEnet, Nenden S. Arum, menyatakan bahwa RUU ini melihat adanya kemunculan media baru sebagai ancaman keamanan nasional.
"Padahal, ini adalah wadah untuk kelompok marginal menyampaikan ekspresinya di ranah digital. Jangan-jangan ini bukan menjadi RUU Penyiaran, tetapi RUU Penyensoran," ujarnya.
Sarah dari Perempuan Mahardhika menyoroti pembatasan persyaratan untuk menjadi komisioner KPI.
"Pembatasan ekspresi-ekspresi tertentu melalui penyensoran sebagai bentuk penyeimpitan ruang ekspresi kelompok marginal adalah bentuk pemiskinan struktural," ujarnya.
Ma'ruf Bajammal dari LBH Masyarakat menambahkan bahwa pelarangan peliputan jurnalisme penyiaran yang relevan untuk warga dan pelarangan muatan konten yang mengandung narkotika dalam RUU Penyiaran dapat menghambat kebijakan narkotika, khususnya terkait penggunaan ganja untuk keperluan medis.
"RUU ini memperkuat stigma terhadap narkotika dan pengguna narkotika itu sendiri karena adanya penyensoran tersebut," ujarnya.
Sistem Siaran Jaringan (SSJ) yang Terkonsentrasi pada Perluasan Kepemilikan Media
Selama ini, penegakan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) tidak berjalan dengan baik, baik karena aturan turunan maupun regulasinya. Kesalahan dalam revisi UU Penyiaran 2024 ini mencakup pemusatan kepemilikan dan konten.
"Industri penyiaran kita dikuasai oleh segelintir pengusaha. Hal ini semestinya dilarang dalam RUU Penyiaran, namun yang terjadi justru dilegalkan," ujar Yovantra Arief.
Reaksi Publik dan Resolusi
Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi mendesak agar pembahasan RUU Penyiaran dihentikan dalam prolegnas 2024 dan memulai kembali penyusunan RUU di periode DPR selanjutnya dengan pelibatan berarti dari stakeholder dan publik.
Mereka menuntut dihapusnya pasal-pasal diskriminatif yang melanggar Konvensi CEDAW dan UU Nomor 7 Tahun 1984, serta penghentian pemusatan kepemilikan media. (SG-2/Fajar Ramadan)