RENCANA Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus utang petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui Peraturan Presiden (Perpres) tampaknya menjadi langkah signifikan yang dapat mengubah dinamika sektor ekonomi rakyat.
Namun, di balik niat mulia ini, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan dengan seksama.
Meskipun kebijakan ini tampak seperti solusi instan bagi jutaan warga yang terjerat utang, efek jangka panjang dari kebijakan semacam ini bisa menjadi pedang bermata dua.
Baca juga: Gebrakan Awal Menteri Maman Abdurrahman Bangkitkan UMKM Cukup Menjanjikan?
Pada satu sisi, penghapusan utang dapat memberikan angin segar bagi mereka yang selama ini terkunci dalam jeratan utang lama, terutama mereka yang beralih ke pinjaman online atau rentenir karena sulitnya akses kredit perbankan.
Dengan dihapusnya utang yang sudah lama menghambat, para petani dan nelayan ini akan memiliki kesempatan untuk memulai kembali, memperbaiki catatan kredit mereka, dan mengakses pinjaman dari bank secara formal.
Dalam konteks ini, kebijakan ini bisa menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi di pedesaan serta memberikan dorongan bagi sektor pertanian dan kelautan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.
Namun, pertanyaan krusial muncul: apakah kebijakan penghapusan utang ini benar-benar menyelesaikan masalah akarnya atau hanya mengobati gejala?
Baca juga: KKP Dukung Digitalisasi Penyaluran BBM Bersubsidi untuk Nelayan, Cegah Kebocoran
Penghapusan utang tanpa diikuti oleh perbaikan struktural dalam akses pembiayaan dan literasi keuangan hanya akan membawa kita kembali ke titik awal dalam beberapa tahun.
Setelah utang dihapus, apa yang menjamin petani, nelayan, dan pelaku UMKM tidak akan terjerat utang lagi?
Tanpa perubahan mendasar dalam sistem pembiayaan yang lebih inklusif, mereka berpotensi kembali ke lingkaran utang yang sama.
Di sisi lain, sektor perbankan yang selama ini menanggung beban kredit macet juga menghadapi tekanan dari kebijakan ini.
Meskipun utang yang dihapus sudah dihapusbukukan dan ditanggung oleh asuransi perbankan, kebijakan pemutihan utang semacam ini dapat berdampak pada likuiditas bank, terutama bagi bank-bank yang berfokus pada pembiayaan sektor UMKM dan pertanian.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini dapat memunculkan dilema moral bagi nasabah lain yang tetap berusaha membayar utang mereka tepat waktu.
Baca juga: Harga Tomat di Aceh Anjlok, Petani: Hasil Panen Tidak Balik Modal
Apa insentif bagi mereka yang selama ini disiplin dalam membayar pinjaman jika pemerintah pada akhirnya akan menghapus utang mereka yang gagal bayar?
Selain itu, kebijakan ini harus diterapkan dengan hati-hati agar tidak menciptakan ketergantungan berlebihan pada intervensi pemerintah.
Sektor usaha kecil dan menengah, serta petani dan nelayan, tidak hanya membutuhkan pemutihan utang, tetapi juga dukungan yang lebih holistik, termasuk akses kredit yang terjangkau, pendidikan keuangan, dan infrastruktur yang mendukung produktivitas mereka.
Tanpa itu, penghapusan utang ini berisiko menjadi solusi jangka pendek yang hanya menggeser masalah ke masa depan.
Terlepas dari niat baik pemerintah, kebijakan penghapusan utang ini perlu dikawal dengan transparansi dan perencanaan matang agar tidak menimbulkan distorsi di pasar keuangan atau menciptakan ekspektasi tidak realistis di kalangan masyarakat.
Pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan memang merupakan tujuan yang mulia.
Namun jika kebijakan ini tidak diiringi dengan reformasi struktural yang mendalam, hasilnya mungkin tidak akan sepadan dengan upaya yang dilakukan.(SG-2)