PERATURAN Pemerintah (PP) No 21/2024 tentang Perubahan atas PP No 25/2020 yang mengatur Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah memicu banyak kebingungan dan penolakan dari masyarakat.
Kebijakan yang bertujuan mulia untuk mendorong kepemilikan rumah bagi rakyat Indonesia ini justru terjebak dalam situasi yang memprihatinkan.
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Joko Suranto, menyuarakan kekhawatiran dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan ini, menyoroti banyaknya ketidaksesuaian dan ketidakjelasan yang terjadi.
Baca juga: Mengkaji Ulang Kebijakan Iuran Tapera untuk Kesejahteraan Pekerja
Salah satu masalah utama adalah kurangnya penjelasan yang memadai dari pemerintah.
Ayat (2) Pasal 15 PP Tapera menetapkan besaran simpanan peserta pekerja yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%.
Ketentuan ini, tanpa penjelasan yang jelas, menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran di kalangan pekerja dan pengusaha.
Ketidakseragaman informasi dari pejabat pemerintah semakin memperburuk situasi, membuat masyarakat merasa bingung dan tidak terinformasi dengan baik.
Selain itu, Pasal 5 PP Tapera mewajibkan setiap pekerja dengan usia minimal 20 tahun atau yang sudah menikah dan memiliki penghasilan setidaknya sebesar upah minimum untuk menjadi peserta Tapera.
Kewajiban ini, jika tidak dijelaskan dengan baik, bisa menambah beban bagi masyarakat yang sudah memiliki rumah atau yang memiliki penghasilan rendah.
Belum lagi, tumpang tindih iuran dengan BPJS Ketenagakerjaan dan kelompok yang memiliki rumah seharga lebih dari Rp500 juta, menambah lapisan kerumitan yang perlu dijelaskan dan diatasi.
Permasalahan hukum dan kekhawatiran akan pengelolaan dana juga menjadi sorotan.
Sejarah kelam korupsi dan penggelapan dana yang pernah terjadi menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan ini.
Bagaimana pemerintah bisa meyakinkan masyarakat jika mekanisme pengelolaan dana tidak transparan dan akuntabel?
Joko Suranto juga menekankan pentingnya kolaborasi antara kementerian dan lembaga untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan baik.
Dana pensiun, BPJS TK, dan dana-dana asuransi bisa dimanfaatkan sebagai dana pendampingan pembiayaan, namun ini membutuhkan perencanaan dan pelaksanaan yang matang serta pengawasan yang ketat.
Baca juga: Apindo DKI dan Serikat Buruh Bersatu Tolak Potongan Gaji untuk Iuran Tapera
Penting untuk diingat bahwa tujuan utama Tapera adalah untuk mengurangi backlog perumahan yang kini mencapai 9,9 juta.
Namun, tanpa skema yang jelas dan penjelasan yang komprehensif, kebijakan ini berpotensi menjadi beban tambahan bagi masyarakat dan justru memperbesar masalah.
Pemerintah harus segera bertindak untuk memperbaiki skema Tapera, memberikan penjelasan yang memadai, dan memastikan bahwa kebijakan ini dapat diterima dan dijalankan dengan baik.
Baca juga: Menteri PUPR Jadi Ketua Komite BP Tapera, DPR Soroti Dua Poin Kebijakan Kontroversial
Tanpa langkah-langkah tersebut, ketidakpercayaan dan penolakan masyarakat akan terus meningkat, mengancam keberhasilan program ini.
Kesejahteraan masyarakat melalui kepemilikan rumah yang layak harus menjadi prioritas, dan untuk mencapainya, pemerintah harus mendengarkan dan merespons kekhawatiran masyarakat dengan bijak. (SG-2)