Editorial

Menimbang Pembentukan Kementerian UMKM di Kabinet Prabowo-Gibran: Langkah Maju?

Maman Abdurrahman, yang jika tidak meteset ditugaskan langsung oleh Prabowo, mengklaim bahwa Kementerian UMKM dibentuk untuk meningkatkan skala dan kualitas UMKM

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
15 Oktober 2024
Politikus Partai Golkar Maman Abdurrahman yangi digadang-gadang bakal menjabat Menteri UMKM di Kabinet Prabowo-Gibran. (Ist/DPR RI)

RENCANA pembentukan Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) oleh presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka memunculkan pertanyaan besar mengenai arah kebijakan pemerintah baru dalam mendukung sektor UMKM. 

 

Terlebih lagi, penunjukan politikus Partai Golkar, Maman Abdurrahman, sebagai Menteri UMKM tampak seperti upaya serius untuk menempatkan sektor ini sebagai prioritas dalam kabinet mendatang.

 

Maman, yang kalau tidak meteset ditugaskan langsung oleh Prabowo, mengklaim bahwa Kementerian UMKM dibentuk untuk meningkatkan skala dan kualitas UMKM, sebuah langkah yang dianggap sebagai bukti kepedulian Prabowo terhadap pengembangan sektor ekonomi rakyat ini. 

 

Baca juga: UMKM: Kunci Wujudkan Indonesia Emas 2045 atau Hanya 'Bumper Ekonomi' Sesaat?

 

Namun, apakah langkah ini benar-benar sebuah terobosan baru, ataukah sekadar pengulangan dari kebijakan sebelumnya dengan wajah yang berbeda?

 

Pembentukan Kementerian UMKM: Terobosan atau Pengulangan?

 

Pembentukan kementerian baru yang secara khusus menangani UMKM, meskipun terpisah dari Kementerian Koperasi, tampak sebagai langkah progresif di atas kertas. 

 

UMKM memang merupakan sektor vital bagi perekonomian Indonesia, menyumbang sekitar 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 92% tenaga kerja nasional. 

 

Dalam konteks ini, keputusan untuk memperbesar fokus pemerintah terhadap UMKM melalui kementerian tersendiri dapat dilihat sebagai pengakuan pentingnya sektor ini dalam menjaga stabilitas ekonomi.

 

Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita membutuhkan kementerian baru untuk memperbaiki kinerja UMKM, ataukah yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh terhadap kebijakan dan regulasi yang sudah ada? 

 

Baca juga: Peparnas XVII di Solo: Gagal Memaksimalkan Potensi UMKM?

 

Di era pemerintahan sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UMKM sudah ada, namun belum mampu sepenuhnya menyelesaikan berbagai tantangan fundamental yang dihadapi sektor UMKM, seperti akses ke pembiayaan, pengembangan kapasitas, digitalisasi, dan pemasaran global.

 

Menambah jumlah kementerian mungkin memberikan kesan keseriusan, tetapi jika tidak disertai dengan reformasi kebijakan yang lebih substansial, ini berisiko menjadi sebuah simbol tanpa dampak nyata. 

 

Perlu dicermati, apakah pembentukan Kementerian UMKM ini benar-benar akan menyelesaikan tantangan utama UMKM, atau hanya sekadar menambah beban birokrasi?

 

Penunjukan Politikus: Profesionalisme atau Bagi-Bagi Jatah?

 

Penunjukan Maman Abdurrahman sebagai Menteri UMKM juga memancing sorotan kritis. Maman, yang merupakan politisi Partai Golkar, ditugaskan untuk mengemban tugas berat dalam membesarkan sektor UMKM. 

 

Namun, mengingat latar belakangnya yang lebih banyak berkecimpung di ranah politik, muncul pertanyaan tentang kapasitas dan pengalaman konkret Maman dalam menangani sektor UMKM.

 

Baca juga: Aplikasi Temu dari China dan Masa Depan Suram UMKM, Apakah Regulasi Cukup Melindungi?

 

Apakah penunjukan ini dilakukan atas dasar kapabilitas dan kecakapan, ataukah ini hanyalah bagian dari politik bagi-bagi jabatan di kabinet? 

 

Dalam konteks politik Indonesia, tak jarang kementerian-kementerian strategis diberikan kepada tokoh-tokoh politik sebagai bentuk timbal balik dukungan politik, alih-alih pada mereka yang benar-benar memiliki keahlian teknis di bidang terkait.

 

Apabila misi Kementerian UMKM benar-benar untuk memperbesar skala dan kualitas UMKM, maka pemimpin yang ditunjuk haruslah memiliki visi yang jelas dan pemahaman mendalam mengenai masalah-masalah yang dihadapi UMKM.

 

Tentunya, termasuk bagaimana menembus pasar global, memperkuat akses permodalan, serta meningkatkan daya saing produk-produk lokal. 

 

Tanpa kemampuan yang mumpuni, program-program yang dilaksanakan mungkin hanya akan berjalan di tempat, sementara pelaku UMKM tetap harus bergulat dengan masalah lama yang tidak terselesaikan.

 

Birokrasi yang Membengkak: Perlukah Sebanyak Ini?

 

Selain Kementerian UMKM, bocoran dokumen menunjukkan bahwa kabinet Prabowo-Gibran akan mencakup 46 kementerian—bertambah 12 dari kabinet era Jokowi. 

 

Jumlah ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa harus ada tambahan kementerian, padahal efisiensi birokrasi telah menjadi masalah laten di Indonesia?

 

Kementerian yang semakin banyak justru berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dan memperlambat proses pengambilan keputusan. 

 

Padahal, di tengah tantangan global yang semakin dinamis, pemerintah dituntut untuk responsif, fleksibel, dan efisien. 

 

Alih-alih memperbanyak kementerian, seharusnya pemerintah lebih fokus pada perampingan birokrasi dan memperkuat sinergi antar-lembaga.

 

Membangun Harapan atau Memupuk Skeptisisme?

 

Pada akhirnya, rencana pembentukan Kementerian UMKM dan penunjukan Maman Abdurrahman sebagai menterinya harus dinilai dari implementasi konkret di lapangan. 

 

Apakah kementerian baru ini benar-benar akan mampu mendorong UMKM naik kelas, atau hanya menambah beban birokrasi? 

 

Apakah penunjukan Maman didasari pada kompetensi, atau sekadar bagian dari dinamika politik bagi-bagi jabatan?

 

Harapan tinggi tentunya ada, namun sikap skeptis juga wajar mengingat sejarah panjang pemerintahan Indonesia yang sering kali gagal mengatasi masalah-masalah fundamental dengan solusi jangka panjang. 

 

Kementerian UMKM ini bisa menjadi angin segar bagi sektor UMKM jika dijalankan dengan strategi yang tepat dan dipimpin oleh figur yang berkompeten. 

 

Namun, tanpa reformasi nyata, kementerian baru ini bisa berakhir sebagai sekadar formalitas belaka—tanpa memberi dampak signifikan bagi jutaan pelaku UMKM di Indonesia. (SG-2)