RENCANA pemerintah untuk menghapus utang masa lalu bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), petani, dan nelayan di bawah Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menuai berbagai respons.
Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan “angin segar” bagi mereka yang selama ini kesulitan mengakses kredit akibat riwayat utang macet yang masuk dalam data Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Namun, di balik niat mulia ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan penghapusan utang ini merupakan solusi jangka panjang atau sekadar langkah populis yang berpotensi membebani sektor perbankan negara?
Baca juga: Pemutihan Utang Petani, Nelayan, dan UMKM: Solusi Instan atau Ancaman Stabilitas Ekonomi?
Pertama, persoalan yang mencuat dari kebijakan ini adalah soal transparansi dan akuntabilitas.
Meski undang-undang menegaskan bahwa penghapusan utang di bank BUMN dan lembaga jasa keuangan non-BUMN tidak dikategorikan sebagai kerugian negara, ini tetap menimbulkan kekhawatiran.
Seberapa besar penghapusan utang ini akan berdampak pada stabilitas keuangan negara?
Tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini bisa membuka celah bagi penggunaan dana publik yang kurang bijak, terutama jika dilakukan tanpa pengelolaan yang tepat.
Selain itu, persoalan moral hazard tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kebijakan penghapusan utang untuk UMKM, petani, dan nelayan yang pernah gagal bayar justru dapat mengirim sinyal yang salah kepada para pelaku usaha lainnya.
Baca juga: Menteri UMKM: Kolaborasi Kunci Capai Target Pertumbuhan Ekonomi Delapan Persen
Jika utang macet begitu mudah dihapus tanpa konsekuensi berarti, ini dapat menciptakan persepsi bahwa komitmen pembayaran tidak lagi menjadi prioritas.
Alih-alih mendorong sikap bertanggung jawab, kebijakan ini justru berpotensi mendorong pelaku UMKM untuk lebih mengandalkan bantuan pemerintah daripada berusaha memperbaiki kapasitas finansial mereka.
Kebijakan ini juga harus dikaji dari perspektif jangka panjang.
Menghapus utang UMKM tanpa menyelesaikan akar masalah hanya akan menimbulkan siklus utang baru yang tidak produktif.
Pemerintah seharusnya memanfaatkan kesempatan ini untuk memperkuat literasi keuangan dan membimbing pelaku UMKM agar dapat mengelola usaha mereka secara berkelanjutan.
Dukungan finansial, jika tidak diiringi dengan pengelolaan yang baik dan peningkatan kapasitas, hanya akan menciptakan ketergantungan yang merugikan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, ketidaksetaraan perlakuan antara bank swasta dan BUMN juga menjadi isu yang perlu diperhatikan.
Bank swasta tampaknya telah lebih siap dalam hal penghapusan utang macet, sedangkan BUMN tampak masih beradaptasi dengan aturan baru ini.
Baca juga: Festival Roeang Kita 2024: Pesta UMKM Jawa Barat di Gedung Sate
Ini menyoroti perbedaan fundamental dalam pengelolaan risiko antara sektor swasta dan milik negara.
Jika pemerintah ingin mengembangkan UMKM secara inklusif, maka diperlukan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada keringanan utang tetapi juga mendorong kemitraan yang adil antara BUMN dan swasta.
Kebijakan penghapusan utang UMKM, petani, dan nelayan seharusnya dijalankan dengan hati-hati dan penuh perhitungan.
Pemerintah perlu memastikan bahwa langkah ini benar-benar membawa dampak positif yang berkelanjutan bagi UMKM dan sektor pertanian.
Jika tidak, kebijakan ini hanya akan menjadi “pelipur lara” sementara yang tidak menyelesaikan masalah mendasar.
Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menciptakan regulasi yang menjamin bahwa penghapusan utang dilakukan dengan prinsip tata kelola yang baik, tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi nasional dan sektor perbankan negara.
Pemerintah juga harus berpikir dua kali sebelum mengandalkan penghapusan utang sebagai solusi utama.
Baca juga: Gebrakan Awal Menteri Maman Abdurrahman Bangkitkan UMKM Cukup Menjanjikan?
Peningkatan akses pada pendidikan keuangan, inovasi pembiayaan bagi UMKM, serta pengembangan ekosistem yang mendukung pertumbuhan usaha harus menjadi prioritas.
Hanya dengan pendekatan yang komprehensif, pemerintah dapat mewujudkan ekosistem ekonomi yang tidak hanya inklusif, tetapi juga mandiri dan bertanggung jawab. (SG-2)