PADA April 2024, kredit macet dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengalami kenaikan signifikan, hanya sebulan setelah kebijakan restrukturisasi kredit akibat pandemi Covid-19 berakhir.
Dengan non-performing loan (NPL) gross UMKM meningkat dari 3,98% pada Maret menjadi 4,26% pada April, dan NPL net dari 1,45% menjadi 1,54%.
Jelas bahwa penghentian kebijakan restrukturisasi berdampak langsung pada kemampuan UMKM untuk memenuhi kewajiban kredit mereka.
Baca juga: Kenaikan Suku Bunga dan Tantangan Kredit UMKM di Tanah Air
Kenaikan NPL ini, meskipun masih dalam rentang yang dapat diterima, menimbulkan kekhawatiran serius.
Perbankan telah mengantisipasi situasi ini dengan membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) kredit UMKM sebesar Rp 85,5 triliun, yang sebanding dengan 137,37% dari total NPL UMKM.
Namun, langkah antisipatif ini mungkin tidak cukup untuk mengatasi dampak ekonomi yang lebih luas.
Peningkatan kredit macet terutama terlihat pada segmen kredit kecil dan mikro, yang mencatat kenaikan NPL gross dari 3,65% pada Maret menjadi 3,89% pada April 2024.
Kondisi serupa terlihat pada bank umum, dengan NPL UMKM mencapai 3,98% pada Maret, naik dari 3,71% pada akhir Desember 2023.
Baca juga: Hari UMKM Internasional: Angkat Peran Vital UMKM di Tengah Krisis Global
Bahkan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) melaporkan NPL UMKM gross sebesar 14,36% pada Maret 2024, lebih tinggi dari 13,12% pada Desember 2023.
Pengakhiran stimulus kebijakan restrukturisasi kredit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31 Maret 2024 menjadi titik balik yang menantang bagi banyak UMKM yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi.
OJK berpendapat bahwa kebijakan stimulus berdampak minim terhadap NPL dan kredit berisiko (loan at risk/LAR) sektor perbankan, berkat prinsip kehati-hatian yang diterapkan dalam restrukturisasi kredit.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa segmen kredit kecil dan mikro masih berjuang untuk kembali ke kondisi normal.
Baca juga: Gelombang PHK Industri Tekstil, Potret Suram Ekonomi Nasional
Peningkatan risiko kredit ini juga diperparah oleh kenaikan inflasi pangan secara global, yang menambah beban finansial pada UMKM.
Meski perbankan telah melakukan langkah antisipatif melalui pencadangan yang memadai, termasuk untuk penghapusbukuan, tetap ada risiko signifikan bahwa UMKM akan terus menghadapi tantangan berat dalam waktu dekat.
Kredit ke sektor UMKM menunjukkan pertumbuhan melambat pada April 2024, hanya naik 8,1% year on year (yoy) menjadi Rp 1.373,8 triliun, dibandingkan dengan kenaikan 8,7% yoy pada bulan sebelumnya.
Tren pelambatan ini telah berlangsung selama tiga bulan terakhir, mencerminkan ketidakpastian dan kesulitan yang dihadapi UMKM.
Situasi ini memerlukan tindakan yang lebih proaktif dari pemerintah dan sektor perbankan untuk mendukung UMKM.
Perlu ada kebijakan yang lebih fleksibel dan inklusif untuk membantu UMKM mengatasi hambatan keuangan mereka.
Selain itu, upaya untuk meningkatkan literasi keuangan dan akses ke solusi keuangan yang lebih adaptif menjadi sangat penting.
Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi antara pemerintah, OJK, dan sektor perbankan menjadi krusial.
Kebijakan yang tepat dan dukungan finansial yang memadai akan membantu UMKM bertahan dan pulih dari dampak pandemi, serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Tanpa langkah-langkah ini, risiko krisis ekonomi yang lebih dalam dan berkepanjangan bisa menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh banyak pelaku usaha kecil dan menengah di Indonesia. (SG-2)