Editorial

Gelombang PHK Industri Tekstil, Potret Suram Ekonomi Nasional

Kondisi ini menunjukkan bahwa industri tekstil sedang berada di ambang kehancuran akibat penurunan pesanan dan serbuan produk impor, legal maupun ilegal.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
20 Juni 2024
Ilustrasi. Para buruh di sebuah parbik tekstil (Ist/Mercusuar)

INDUSTRI tekstil Indonesia sedang menghadapi masa-masa kelam.

 

Jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat, dan satu per satu pabrik tekstil di berbagai wilayah terpaksa gulung tikar.

 

Ini bukan sekadar isu ketenagakerjaan, tapi cerminan suram dari kondisi ekonomi yang mengancam keberlangsungan industri nasional.

 

Baca juga: Kenaikan Suku Bunga dan Tantangan Kredit UMKM di Tanah Air

 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan realita pahit bahwa penurunan pesanan hingga nol order telah memaksa banyak pabrik tekstil tutup.

 

Dampaknya, puluhan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian.

 

Terbaru, PT S. Dupantex di Pekalongan, Jawa Tengah, yang baru saja menutup pabriknya pada 6 Juni, mengakibatkan PHK terhadap sekitar 700 pekerja.

 

Ini hanyalah salah satu contoh dari daftar panjang pabrik tekstil yang telah menghentikan operasinya sejak awal 2024.

 

Beberapa pabrik besar lainnya yang tutup antara lain PT Alenatex di Jawa Barat, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusumaputra Santosa, dan PT Pamor Spinning Mills di Jawa Tengah, serta PT Sai Apparel yang meng-PHK sekitar 8.000 pekerja.

 

Baca juga: Menolak Aplikasi Asing Demi Selamatkan UMKM Lokal

 

Data yang disajikan ini hanya mencakup pabrik-pabrik tempat pekerja anggota KSPN bekerja.

 

Masih ada banyak pabrik lain di luar keanggotaan KSPN yang mungkin mengalami nasib serupa.

 

Kondisi ini menunjukkan bahwa industri tekstil sedang berada di ambang kehancuran akibat penurunan pesanan dan serbuan produk impor, legal maupun ilegal.

 

Ironisnya, Indonesia sebenarnya mampu memproduksi tekstil berkualitas tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.

 

Namun, banjir impor tekstil telah merusak pasar dalam negeri, membuat produk lokal sulit bersaing.

 

Baca juga: Menyikapi Kebingungan dan Penolakan Tapera: Pemerintah Harus Lebih Bijak

 

Pemerintah harus segera turun tangan untuk membatasi impor barang tekstil, kecuali bahan baku yang memang tidak tersedia di dalam negeri, serta memberantas impor ilegal yang semakin marak.

 

Saat ini, hanya perusahaan yang berorientasi pasar ekspor yang masih mampu bertahan.

 

Namun, ketergantungan pada pasar ekspor bukanlah solusi jangka panjang yang sehat bagi ekonomi nasional.

 

Diperlukan strategi yang komprehensif untuk memperkuat daya saing industri tekstil dalam negeri, baik melalui kebijakan proteksi yang tepat maupun peningkatan kualitas produk.

 

 

Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak perusahaan yang enggan melaporkan PHK karena takut kehilangan kepercayaan dari perbankan dan pembeli.

 

Padahal, tanpa data yang transparan, pemerintah bisa salah menilai situasi dan menganggap kondisi industri tekstil masih baik-baik saja. Ini akan membuat penanganan masalah semakin terlambat.

 

Gelombang PHK ini tidak hanya menghantam industri tekstil, tetapi juga sektor lain seperti alas kaki dan pabrik padat karya lainnya.

 

Dampaknya tidak hanya pada pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada penurunan daya beli masyarakat yang bisa memengaruhi perekonomian secara keseluruhan.

 

Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas. Tidak ada waktu untuk leha-leha. Jika tidak segera diatasi, gelombang PHK ini akan semakin besar dan mengancam stabilitas ekonomi nasional.

 

Saatnya pemerintah menunjukkan kepedulian dan tindakan nyata untuk menyelamatkan industri tekstil dan sektor padat karya lainnya dari kehancuran. (SG-2)