Editorial

Ketika PPN Jadi Beban Konsumen, Akankah Janji Pemerintah Terpenuhi?

Ketidaksesuaian antara kebijakan dan implementasi ini memunculkan pertanyaan besar: di mana letak masalahnya?

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
03 Januari 2025
Ilustrasi. Janji Presiden untuk memberlakukan PPN hanya pada barang mewah adalah langkah positif yang mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat luas. (Ist)

PAJAK Pertambahan Nilai (PPN) kembali menjadi perbincangan hangat di awal tahun 2025. 

 

Sejumlah konsumen mengeluhkan pungutan PPN sebesar 12% yang masih berlaku di sejumlah toko ritel, meski Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa kenaikan tarif tersebut hanya diberlakukan untuk barang dan jasa mewah. 

 

Ketidaksesuaian antara kebijakan dan implementasi ini memunculkan pertanyaan besar: di mana letak masalahnya?

 

Baca juga: Kenaikan Tarif PPN 12 Persen untuk Barang dan Jasa Mewah, Berlaku Mulai Hari Ini

 

Sejak diumumkannya kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 telah menegaskan bahwa tarif baru ini hanya akan berlaku untuk barang-barang mewah. 

 

Namun, fakta di lapangan menunjukkan cerita berbeda. 

 

Para peritel seolah berada di zona abu-abu, menghadapi kebingungan dalam menginterpretasikan peraturan atau mungkin sekadar mengambil langkah antisipasi terhadap potensi perubahan di kemudian hari.

 

Solihin, salah seorang perwakilan peritel, menyatakan bahwa para pelaku usaha sebenarnya patuh terhadap peraturan yang berlaku. 

 

Baca juga: Kenaikan PPN 12 Persen Dikecam, Beban Baru Bagi UMKM

 

Persiapan perubahan harga dilakukan jauh sebelum kebijakan diumumkan secara resmi. 

 

Tetapi, apakah patuh saja cukup jika praktik di lapangan justru menciptakan kerugian bagi konsumen? 

 

Sikap semacam ini berpotensi melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas kebijakan pemerintah.

 

Masalah ini tidak hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut akuntabilitas dan komunikasi. 

 

Presiden telah menegaskan bahwa barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan layanan kesehatan dikecualikan dari kenaikan PPN.

 

Tetapi mengapa masih ada konsumen yang harus membayar lebih untuk barang yang seharusnya bebas dari beban pajak tambahan? 

 

Ketidakselarasan ini mengindikasikan bahwa pengawasan terhadap implementasi kebijakan masih jauh dari ideal.

 

Selain itu, kejadian ini juga mencerminkan kurangnya sosialisasi yang memadai kepada para pelaku usaha dan konsumen. 

 

Baca juga: Gen-Z dan Fanbase K-Pop Desak Presiden Prabowo Batalkan PPN 12%

 

Apakah pemerintah sudah memastikan bahwa peritel memahami detail kebijakan secara jelas? 

 

Apakah ada mekanisme pengawasan yang efektif untuk menjamin kepatuhan di tingkat ritel? 

 

Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan celah besar dalam proses ini.

 

Pemerintah perlu segera bertindak. Sosialisasi yang lebih masif dan pengawasan yang lebih ketat harus menjadi prioritas. 

 

Jika tidak, kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara justru akan menjadi bumerang, menciptakan keresahan di kalangan konsumen, dan merusak citra pemerintah di mata rakyat.

 

Di sisi lain, konsumen juga perlu diedukasi agar memahami hak mereka. Mereka berhak untuk mempertanyakan dan melaporkan jika menemukan pelanggaran kebijakan. 

 

Kolaborasi antara pemerintah, peritel, dan konsumen adalah kunci untuk memastikan keberhasilan implementasi kebijakan fiskal yang berkeadilan.

 

Janji Presiden untuk memberlakukan PPN hanya pada barang mewah adalah langkah positif yang mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat luas. 

 

Namun, tanpa pengawasan dan pelaksanaan yang konsisten, janji ini hanya akan menjadi sekadar retorika. 

 

Akankah pemerintah mampu membuktikan bahwa kebijakan ini benar-benar berpihak pada rakyat? 

 

Jawabannya bergantung pada seberapa serius pemerintah menangani persoalan ini.

 

Jika pemerintah ingin membangun kepercayaan rakyat, tidak ada jalan lain selain memastikan bahwa kebijakan yang telah ditetapkan dijalankan dengan benar. 

 

Keadilan fiskal tidak hanya tercermin dari peraturan yang dibuat, tetapi juga dari bagaimana peraturan itu diimplementasikan. 

 

Dan dalam hal ini, pemerintah memiliki tugas besar untuk menegakkan komitmennya. (SG-2)