Ketika MKD Menjadi Penghalang Kebebasan Berpendapat

MKD DPR RI memanggil Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, menuai kritik keras dari berbagai kalangan.

Author Oleh: Deri Dahuri
31 Desember 2024
MKD diminta untuk tetap berada dalam koridor tugas menjaga marwah institusi DPR tanpa menjadi penghambat kebebasan berpendapat yang merupakan hak fundamental anggota dewan. (Ist)

LANGKAH Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI memanggil Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, menuai kritik keras dari berbagai kalangan.

 

Butut pemanggilan Rieke terkait pernyataannya menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, menuai kritik keras dari berbagai kalangan. 

 

Polemik ini membuka diskusi yang lebih luas mengenai peran dan batasan MKD dalam menjaga kehormatan DPR tanpa menghambat tugas anggota dewan.

 

Baca juga: PDIP Protes MKD yang Panggil Rieke Diah Pitaloka Soal Minta Tunda Kenaikan PPN

 

Aria Bima dengan tegas menyebut tindakan MKD sebagai langkah berlebihan yang justru melemahkan fungsi anggota DPR. 

 

Dalam pernyataannya, ia menekankan pentingnya MKD untuk tetap berada dalam koridor tugas menjaga marwah institusi DPR tanpa menjadi penghambat kebebasan berpendapat yang merupakan hak fundamental anggota dewan.

 

"Jika ada anggota yang benar-benar mencederai kehormatan DPR, MKD silakan bertindak tegas. Tapi kalau sekadar pendapat dalam menjalankan tugas, jangan sampai MKD malah berperan layaknya polisi," ujar Aria.

 

Baca juga: Para Demonstran Pembela Demokrasi yang Ditahan Kepolisian Minta Segera Dibebaskan

 

Namun, kasus ini menimbulkan pertanyaan: apakah MKD masih menjalankan tugas utamanya, atau justru menjadi alat yang membungkam kritik terhadap kebijakan pemerintah?

 

Kritik Sebagai Bagian dari Demokrasi

 

Sebagai institusi yang diamanahkan rakyat, DPR memiliki tanggung jawab besar dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif. 

 

Kritik, seperti yang disampaikan oleh Rieke mengenai kenaikan PPN, adalah bentuk pengawasan yang sah. 

 

Bahkan jika pendapat itu berujung pada kontroversi, DPR seharusnya merangkul dinamika tersebut sebagai bagian dari demokrasi, bukan menjadikannya sebagai alasan untuk memberangus kebebasan berpendapat.

 

Sebaliknya, pemanggilan oleh MKD terhadap anggota dewan hanya karena pandangannya berpotensi menjadi preseden buruk. 

 

Baca juga: Perjuangan Tolak Ketidakadilan Telan Korban, Mata Kiri Andi Terancam Buta

 

Hal ini tidak hanya melemahkan integritas DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat tetapi juga mengirimkan pesan bahwa kritik terhadap kebijakan pemerintah dapat berujung pada pembungkaman.

 

Apakah MKD Melampaui Batas?

 

MKD dibentuk untuk menjaga kehormatan DPR, bukan menjadi penghalang bagi anggota dewan dalam menjalankan tugasnya. Tindakan memanggil Rieke atas pernyataan publiknya menunjukkan potensi pelampauan batas oleh MKD. 

 

Jika MKD terus mengambil langkah serupa, ia bisa kehilangan legitimasi di mata publik dan dianggap sebagai alat politik yang tidak netral.

 

Dalam demokrasi yang sehat, anggota dewan harus memiliki ruang untuk berbicara secara bebas tanpa takut akan intimidasi.

 

Jika MKD berperan sebagai "penjaga ketertiban" yang menghalangi kebebasan berpendapat, maka fungsinya perlu dievaluasi.

 

Dinamika Internal dan Konsekuensinya

 

Kasus ini juga mencerminkan ketegangan internal di DPR. Rieke, yang merupakan bagian dari partai yang mendukung pemerintah, justru melontarkan kritik terhadap kebijakan yang partainya sendiri sahkan pada 2021. 

 

Sikap ini menunjukkan adanya ruang untuk perbedaan pendapat di dalam partai, tetapi juga membuka peluang untuk serangan dari pihak lain yang mendukung kebijakan tersebut.

 

Ketua MKD DPR, Nazaruddin Dek Gam, mengonfirmasi adanya laporan resmi terkait pernyataan Rieke.

 

Namun, langkah ini tidak dapat dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas, di mana setiap kritik terhadap pemerintah sering kali dianggap sebagai ancaman daripada sebagai masukan konstruktif.

 

Harapan untuk MKD

 

Aria Bima menutup kritiknya dengan harapan agar MKD kembali ke tugas utamanya. 

 

"Jangan MKD latah menanggapi hal-hal yang dilontarkan anggota dewan. Kalau begini terus, jangan-jangan malah MKD yang dibubarkan," tegasnya.

 

Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa DPR adalah ruang bagi kebebasan berpendapat dan demokrasi. 

 

MKD perlu memastikan bahwa kebijakannya tidak melemahkan prinsip-prinsip tersebut. Dalam situasi ini, DPR memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan bahwa institusi ini tetap menjadi penjaga amanah rakyat, bukan alat pembungkam suara-suara kritis.

 

Jika MKD tidak mampu menjalankan fungsi ini dengan bijak, maka wajar jika publik mulai mempertanyakan relevansi dan keberadaannya. 

 

DPR harus menjadi contoh utama dalam menjalankan demokrasi yang sehat dan transparan, bukan sebaliknya. (SG-2)