Editorial

Kartu Usaha UMKM: Solusi Tepat atau Sekadar Gimmick?

Banyak pelaku UMKM selama ini mengeluhkan rumitnya syarat permodalan, seperti agunan yang tidak fleksibel. Jika masalah ini tidak ditangani, kartu usaha hanya menjadi simbol tanpa substansi.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
20 November 2024
Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menyampaikan bahwa program ini terbagi menjadi dua jenis: Kartu Usaha Afirmatif untuk masyarakat miskin dan rentan, serta Kartu Usaha Produktif untuk memperkuat kelas menengah. (Ist/Kementerian U<KM)

KEMENTERIAN Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) baru saja menggulirkan rencana ambisius melalui program kartu usaha sebagai upaya memberdayakan pelaku UMKM. 

 

Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menyampaikan bahwa program ini terbagi menjadi dua jenis: Kartu Usaha Afirmatif untuk masyarakat miskin dan rentan, serta Kartu Usaha Produktif untuk memperkuat kelas menengah. 

 

Selain itu, kartu ini juga akan terintegrasi dengan platform digital "Sapa UMKM."

 

Baca juga: Anggota DPR Sebut Tas UMKM Trenggalek Bisa Setara Prada

 

Namun, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: apakah kartu ini benar-benar solusi atau hanya gimmick yang tidak menyentuh akar persoalan?

 

Janji Manis atau Solusi Konkret?

 

Secara konsep, program kartu usaha tampak menjanjikan. 

 

Dengan total kuota 25.200 kartu, pelaku UMKM yang terpilih akan mendapatkan pelatihan, akses permodalan, serta kemudahan dalam pengurusan sertifikasi dan perizinan. 

 

Baca juga: Fokus Utama Dorong UMKM Naik Kelas, Tingkatkan Akses Modal dan Perluas Pasar

 

Namun, melihat alokasi anggaran kementerian yang "hanya" Rp 463,85 miliar untuk tahun 2025, dengan tambahan usulan Rp 1,23 triliun, muncul keraguan apakah program ini realistis. 

 

Mengingat jumlah UMKM di Indonesia mencapai lebih dari 65 juta unit, kuota yang ditawarkan terlihat sangat kecil. Apakah dampaknya akan signifikan?

 

Selain itu, akses permodalan yang dijanjikan harus diperjelas. Apakah ini berarti kredit murah, hibah, atau skema lain? 

 

Banyak pelaku UMKM selama ini mengeluhkan rumitnya syarat permodalan, seperti agunan yang tidak fleksibel. Jika masalah ini tidak ditangani, kartu usaha hanya menjadi simbol tanpa substansi.

 

Platform Digital: Solusi atau Hambatan Baru?

 

Integrasi kartu usaha dengan platform digital "Sapa UMKM" juga perlu dicermati. 

 

Digitalisasi memang langkah penting, tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua pelaku UMKM memiliki akses atau literasi digital yang memadai. 

 

Apakah pemerintah sudah menyiapkan pelatihan khusus untuk meningkatkan keterampilan digital mereka? 

 

Jika tidak, program ini justru berpotensi menciptakan kesenjangan baru di antara pelaku UMKM.

 

Berdaya Saing atau Bergantung pada Bantuan?

 

Program kartu usaha juga menimbulkan kekhawatiran terkait ketergantungan pelaku UMKM pada bantuan pemerintah. 

 

Pemberian pelatihan, akses modal, dan bantuan legal memang positif, tetapi jika tidak diiringi dengan strategi pemberdayaan yang mendalam, UMKM hanya akan menjadi penerima manfaat pasif. 

 

Tantangan utama adalah memastikan bahwa program ini menciptakan pelaku UMKM yang mandiri dan berdaya saing di pasar, baik lokal maupun global.

 

Langkah Strategis atau Fragmentasi Program?

 

Selain kartu usaha, Kementerian UMKM memiliki sederet program lain, seperti transformasi usaha mikro ke formal, redesign PLUT-UMKM, hingga pelibatan UMKM dalam program makan bergizi gratis. 

 

Banyaknya program ini patut diapresiasi, tetapi ada risiko fragmentasi jika tidak dikelola dengan baik. 

 

Apakah kementerian memiliki peta jalan yang jelas untuk mengintegrasikan seluruh program ini agar saling memperkuat? 

 

Atau, apakah program ini hanya menjadi daftar panjang yang sulit dievaluasi efektivitasnya?

 

Momentum Besar, Harapan Besar

 

Dengan segala tantangan yang ada, program kartu usaha dan strategi pemberdayaan UMKM di tahun 2025 menyimpan harapan besar. 

 

Baca jugaUMKM dan Tantangan Besar Menuju Transformasi Berkelanjutan

 

Pemerintah harus memastikan bahwa program ini berjalan secara transparan, tepat sasaran, dan memiliki dampak nyata bagi jutaan pelaku UMKM di Indonesia. 

 

Jangan sampai kartu usaha menjadi sekadar alat politik tanpa memberikan perubahan signifikan.

 

Pada akhirnya, UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Program pemberdayaan seperti ini harus dirancang tidak hanya untuk menyelesaikan masalah sesaat, tetapi juga untuk menjawab tantangan jangka panjang. 

 

Jika gagal, ini hanya akan menjadi kisah lain tentang kebijakan yang "bagus di atas kertas," tetapi minim implementasi. 

 

Sebaliknya, jika sukses, kartu usaha bisa menjadi game changer bagi UMKM Indonesia. Waktunya bertindak, bukan sekadar berjanji. (SG-2)