Editorial

Dorong Koperasi sebagai Jalan Keluar bagi UMKM: Solusi atau Tantangan Baru?

Teten Masduki menyampaikan bahwa dengan bergabungnya UMKM dalam koperasi, para pelaku usaha akan memiliki akses yang lebih baik terhadap pembiayaan, sumber daya, serta kekuatan tawar di pasar yang kian kompetitif.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
10 September 2024
Menkop UKM Teten Masduki menghadiri Ekspos Kinerja dan Inovasi melalui peluncuran Aplikasi Rapat Diluar Kantor (RDK) LPDB-KUMKM di Surabaya, Jawa Timur, Senin (9/9). (Dok.Kemenkop UKM)

MENTERI Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki kembali menyerukan konsolidasi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ke dalam koperasi, sebuah langkah yang menurutnya dapat meningkatkan skala usaha, produktivitas, dan daya saing. 

 

Dalam sebuah acara di Surabaya, Senin (9/9), Teten menyampaikan bahwa dengan bergabungnya UMKM dalam koperasi, para pelaku usaha akan memiliki akses yang lebih baik terhadap pembiayaan, sumber daya, serta kekuatan tawar di pasar yang kian kompetitif.

 

Kebijakan ini terdengar menjanjikan, terutama di tengah upaya pemerintah untuk menggerakkan roda ekonomi lokal. 

 

Baca juga: Memperluas Akses Pembiayaan untuk UMKM, Antara Tantangan dan Harapan

 

Namun, di balik narasi optimistis ini, muncul pertanyaan yang patut dipertimbangkan: Apakah koperasi benar-benar solusi bagi UMKM? 

 

Dan yang lebih penting, apakah sistem ini mampu mengatasi akar permasalahan yang sebenarnya dihadapi UMKM Indonesia?

 

Koperasi: Solusi Ideal atau Sekadar Pilihan Alternatif?

 

Teten dengan tegas menyatakan bahwa koperasi dapat menjadi wadah yang efektif bagi UMKM untuk mengelola sumber daya secara lebih efisien. 

 

Melalui koperasi, usaha mikro diharapkan bisa mencapai skala yang lebih besar dan meningkatkan kekuatan tawar-menawar mereka di pasar. 

 

Baca juga: Kemenkop UKM Dorong Perluasan Akses Permodalan untuk Koperasi Produsen

 

Secara teori, ini memang terdengar sebagai langkah maju yang masuk akal, terutama mengingat banyak UMKM yang terseok-seok menghadapi tantangan modal, akses pasar, dan persaingan yang tidak seimbang.

 

Namun, di lapangan, kondisinya sering kali tidak sesederhana itu. Koperasi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang sayangnya tidak selalu menggembirakan. 

 

Banyak koperasi yang gagal beroperasi secara profesional, dililit masalah tata kelola, dan bahkan dalam beberapa kasus menjadi alat kepentingan segelintir pihak. 

 

Apakah dengan situasi ini, konsolidasi UMKM ke dalam koperasi benar-benar akan memberikan solusi atau justru menambah beban baru?

 

Tantangan Budaya dan Pola Pikir

 

Di luar persoalan teknis, konsolidasi UMKM ke dalam koperasi juga menghadapi tantangan dari aspek budaya dan pola pikir. Tidak semua pelaku UMKM memiliki kesiapan atau bahkan minat untuk bergabung dalam koperasi. 

 

Bagi banyak pedagang, petani, dan pengrajin kecil, usaha mereka adalah bagian dari identitas pribadi dan keluarga. Mereka terbiasa mandiri, dan mengandalkan jaringan kecil yang mereka bangun sendiri. 

 

Bekerja dalam kerangka koperasi yang lebih besar mungkin tidak selalu sejalan dengan cara mereka menjalankan bisnis.

 

Baca juga: Mengubah UMKM Indonesia, dari Sekadar Bertahan Hidup ke Daya Saing Global

 

Lantas, apakah pemerintah sudah mempersiapkan pendampingan yang cukup untuk mengubah pola pikir ini? 

 

Atau, apakah kebijakan ini akan dipaksakan tanpa mempertimbangkan kesiapan dan preferensi pelaku UMKM?

 

Pembiayaan Koperasi: Apakah Cukup Efektif?

 

Teten menekankan bahwa koperasi dapat membuka akses yang lebih luas terhadap pembiayaan. 

 

Memang, lembaga keuangan umumnya lebih bersedia memberikan pinjaman kepada entitas yang lebih besar, seperti koperasi, daripada kepada individu pelaku usaha mikro. 

 

Namun, tantangan utama yang dihadapi UMKM bukan sekadar soal akses modal, melainkan juga soal tata kelola keuangan dan pengelolaan bisnis yang masih lemah.

 

Apakah koperasi bisa menjadi jawaban bagi UMKM yang belum memiliki sistem manajemen yang matang? 

 

Tanpa adanya pendampingan intensif, risiko kegagalan dalam pengelolaan koperasi justru bisa memperparah masalah yang sudah ada.

 

Selain itu, meskipun Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ( LPDB-KUMKM), lembaga pengelola dana bergulir yang menjadi tumpuan pembiayaan, mencatatkan peningkatan penyaluran dana, jumlah ini masih belum seberapa jika dibandingkan dengan kebutuhan seluruh UMKM di Indonesia yang mencapai 66 juta. 

 

Apakah mekanisme penyaluran dana ini benar-benar tepat sasaran, atau hanya menjangkau segelintir koperasi yang sudah mapan?

 

Bangun Koperasi yang Berbasis Produksi

 

Salah satu gagasan menarik yang dilontarkan Teten adalah fokus pada koperasi yang bergerak di sektor produksi. Menurutnya, pembiayaan koperasi produksi perlu diperbesar karena kekuatan ekonomi terletak di sektor ini. 

 

Dalam konteks ini, koperasi bisa menjadi motor penggerak industri lokal yang dapat mengurangi ketergantungan pada produk impor dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

 

Namun, apakah Indonesia benar-benar siap membangun koperasi berbasis produksi yang kompetitif? 

 

Di tengah globalisasi, persaingan dengan produk impor, dan rendahnya daya saing industri lokal, koperasi produksi harus menghadapi tantangan berat. 

 

Inovasi dan teknologi menjadi kunci, dan sayangnya, banyak koperasi di Indonesia masih tertinggal dalam hal ini.

 

Pada akhirnya, koperasi memang bisa menjadi salah satu instrumen penting untuk mengembangkan ekonomi lokal, meningkatkan skala usaha UMKM, dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. 

 

Namun, kebijakan ini tidak bisa berjalan tanpa dukungan nyata berupa pelatihan, pendampingan, dan pengawasan ketat.

 

Lebih dari itu, pemerintah harus menyiapkan strategi yang lebih komprehensif, tidak hanya sebatas mendorong UMKM masuk koperasi.

 

Tetapi juga memastikan bahwa koperasi yang dibentuk benar-benar mampu mengelola sumber daya dengan baik, memperluas pasar, dan mengembangkan produksi lokal yang berkualitas.

 

Seperti yang dikatakan Teten, UMKM tidak bisa "naik kelas" jika dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. 

 

Tetapi, solusi koperasi juga tidak akan berhasil jika hanya menjadi program pemerintah tanpa dukungan sistemik yang kuat dan kesadaran penuh dari para pelaku usaha.

 

Saatnya kita melihat lebih dalam: apakah koperasi benar-benar menjadi jalan keluar, atau hanya menjadi pilihan alternatif yang tampak baik di atas kertas namun sulit diterapkan di lapangan? (SG-2)