Editorial

Belalang dalam Program Makan Bergizi Gratis: Inovasi atau Keputusan Tergesa-gesa?

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyebut bahwa serangga seperti belalang dapat menjadi sumber protein alternatif yang disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan kebiasaan makan masyarakat setempat.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
31 Januari 2025
Ilustrasi belalang yang dijadikan menu makanan. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyebut bahwa serangga seperti belalang dapat menjadi sumber protein alternatif yang disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan kebiasaan makan masyarakat setempat. (Ist/https://citizen.riau24.com)

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai dijalankan pada awal Januari 2025 kembali menjadi perbincangan publik. 

 

Kali ini, kontroversi muncul terkait wacana memasukkan belalang sebagai salah satu menu protein di beberapa daerah. 

 

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyebut bahwa serangga seperti belalang dapat menjadi sumber protein alternatif yang disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan kebiasaan makan masyarakat setempat.

 

Gagasan ini tentu bukan tanpa dasar. Belalang memang diakui secara ilmiah sebagai sumber protein tinggi dan lemak sehat. 

 

Baca juga: Susu Peternak Lokal Jadi Andalan Program Makan Bergizi Gratis di Kota Cimahi, Jabar

 

Beberapa daerah di Indonesia, seperti Gunungkidul di Yogyakarta, telah lama menjadikan belalang sebagai bagian dari kuliner tradisional. 

 

Bahkan, di berbagai belahan dunia, konsumsi serangga sebagai pangan alternatif telah mendapat perhatian, termasuk di Eropa dan Amerika. 

 

Namun, apakah kebijakan ini dapat diterapkan secara luas dalam program MBG?

 

Keputusan untuk memasukkan belalang sebagai menu seharusnya tidak sekadar didasarkan pada potensi kandungan gizi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan penerimaan masyarakat secara luas. 

 

Tidak semua anak memiliki kebiasaan mengonsumsi serangga, bahkan di daerah yang sudah mengenalnya sebagai makanan tradisional. 

 

Baca juga: Program 100 Hari Pemerintah Prabowo-Gibran: Kupas Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

 

Apakah program MBG akan mempertimbangkan keberagaman selera dan psikologis anak-anak dalam menerima menu yang tidak umum bagi mereka? 

 

Bagaimana mekanisme edukasi dan sosialisasi kepada para siswa dan orang tua agar menu ini dapat diterima tanpa menimbulkan penolakan?

 

Lebih jauh, aspek keamanan pangan juga harus dikaji lebih dalam. Belalang yang dikonsumsi masyarakat tradisional biasanya berasal dari tangkapan liar atau budi daya terbatas. 

 

Jika belalang dijadikan menu dalam skala nasional, bagaimana memastikan keamanan produksi dan distribusinya? 

 

Apakah sudah ada standar keamanan pangan yang jelas untuk konsumsi serangga ini?

 

Selain itu, perlu ada kajian mendalam mengenai dampak psikologis pada anak-anak yang mungkin tidak terbiasa dengan menu ini. 

 

Apakah mereka akan terdorong untuk mengonsumsi makanan bergizi, atau justru merasa terpaksa? 

 

Kebijakan gizi seharusnya tidak hanya mempertimbangkan angka kecukupan gizi semata, tetapi juga harus memperhitungkan kenyamanan psikologis dan keberterimaan pangan oleh penerimanya.

 

Daripada memaksakan menu yang berpotensi menimbulkan polemik, lebih baik pemerintah mengutamakan diversifikasi pangan dengan pendekatan yang lebih adaptif. 

 

Jika ingin mengusung pangan lokal sebagai bagian dari program MBG, maka sebaiknya dilakukan dengan perencanaan yang matang, termasuk dengan uji coba di daerah tertentu sebelum diimplementasikan secara luas. 

 

Baca juga: Keracunan Massal Siswa SD, DPR Soroti Pengawasan Program Makan Bergizi Gratis

 

Selain itu, keterlibatan ahli gizi, psikolog, dan pakar pendidikan menjadi penting dalam menentukan kebijakan gizi yang tepat bagi anak-anak.

 

Program makan bergizi gratis merupakan inisiatif yang sangat baik dalam meningkatkan kesehatan dan kecerdasan anak bangsa. 

 

Namun, kebijakan yang menyertainya harus dirancang dengan penuh pertimbangan, tidak sekadar inovatif tetapi juga inklusif. 

 

Jangan sampai, niat baik pemerintah justru menimbulkan resistensi di masyarakat akibat kebijakan yang kurang matang dan kurang mempertimbangkan aspek psikososial penerima manfaatnya. (SG-2)