Editorial

Ancaman Penurunan Kelas Menengah dan Dampaknya pada Perekonomian Nasional

Potensi penurunan kelas menengah menjadi kelompok masyarakat kelas bawah—akibat tekanan ekonomi yang semakin meningkat—merupakan ancaman serius bagi stabilitas ekonomi Indonesia.

Potensi penurunan kelas menengah menjadi kelompok masyarakat kelas bawah merupakan ancaman serius bagi stabilitas ekonomi Indonesia. (Ist)

MASYARAKAT kelas menengah sering kali dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional. 

 

Mereka adalah konsumen utama berbagai sektor ekonomi, mulai dari properti, transportasi, hingga barang-barang kebutuhan sekunder dan tersier. 

 

Namun, potensi penurunan kelas menengah menjadi kelompok masyarakat kelas bawah—akibat tekanan ekonomi yang semakin meningkat—merupakan ancaman serius bagi stabilitas ekonomi Indonesia. 

 

Baca juga: PHK Capai 46 Ribu Orang di 2024, DPR: UU Cipta Kerja Jadi Titik Temu Pekerja & Pengusaha

 

Fenomena ini tidak hanya merugikan keluarga yang terdampak, tetapi juga berpotensi mengguncang perekonomian nasional secara keseluruhan.

 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia pada Maret 2023 mencapai 9,36% dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 25,90 juta orang. 

 

Meski angka ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya, tetap ada ancaman serius yang perlu diwaspadai terkait penurunan kualitas hidup kelas menengah. 

 

Laporan BPS menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi—diukur dengan Gini Ratio—mencapai 0,381 pada Maret 2023. 

 

Meskipun sedikit lebih baik dari 0,384 pada September 2022, angka ini menunjukkan ketimpangan yang cukup tinggi dan berpotensi memperparah kerentanan ekonomi kelas menengah.

 

Apa yang menyebabkan potensi penurunan ini? Pertama-tama, inflasi menjadi faktor dominan. Laju inflasi tahun 2024, yang masih berkisar di angka 3%-4%, telah memperburuk daya beli masyarakat kelas menengah. 

 

Baca juga: DPR Desak Pemerintah Atasi Badai PHK, Indonesia Emas Bisa Berubah Jadi Indonesia Cemas

 

Kenaikan harga pangan, bahan bakar, dan kebutuhan dasar lainnya memaksa banyak keluarga menengah untuk melakukan penyesuaian signifikan terhadap pengeluaran mereka. 

 

Dampak jangka panjangnya adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan gaya hidup dan status ekonomi mereka, yang berisiko mendorong mereka ke kelompok masyarakat kelas bawah.

 

Kedua, ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi dunia turut memperburuk kondisi ini. 

 

Ketika perekonomian global melambat, sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja kelas menengah, seperti industri manufaktur dan jasa, ikut terkena dampaknya. 

 

Pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor telah memperburuk situasi, menambah jumlah pengangguran dan mendorong penurunan pendapatan di kelompok masyarakat yang sebelumnya stabil secara ekonomi.

 

Jika kelas menengah terpuruk, dampaknya terhadap perekonomian nasional akan sangat signifikan. 

 

Kelas menengah adalah konsumen utama yang mendorong permintaan dalam berbagai sektor. 

 

Menurunnya daya beli mereka akan memicu kontraksi ekonomi di sektor konsumsi, yang menyumbang sekitar 56% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

 

Dalam kondisi seperti ini, sektor ritel, properti, otomotif, dan jasa akan terkena dampak langsung, yang pada gilirannya akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja lebih lanjut.

 

Selain itu, pengurangan daya beli kelas menengah akan berakibat pada penurunan investasi. 

 

Pengusaha dan investor akan menunda rencana ekspansi karena permintaan domestik yang melemah. 

 

Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, bahkan mendorong negara ke dalam resesi jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang tepat.

 

Di sisi lain, lonjakan pengangguran dan penurunan pendapatan juga akan meningkatkan beban pemerintah dalam hal penyediaan jaring pengaman sosial. 

 

Baca juga: Ribuan Pencari Kerja Mengantre Ikuti Job Fair Kota Bandung

 

Jika jumlah kelas menengah yang turun ke kelas bawah semakin banyak, pemerintah akan dipaksa mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk subsidi dan bantuan sosial, yang pada gilirannya dapat membebani keuangan negara.

 

Oleh karena itu, upaya pencegahan terhadap penurunan kelas menengah harus menjadi prioritas kebijakan ekonomi pemerintah.

 

Langkah-langkah yang diperlukan meliputi pengendalian inflasi, penciptaan lapangan kerja berkualitas, serta perluasan akses pembiayaan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 

 

Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta dukungan lain terhadap UMKM harus diperkuat agar masyarakat kelas menengah yang terancam jatuh miskin memiliki kesempatan untuk bangkit melalui sektor usaha mandiri.

 

Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat program pendidikan dan pelatihan vokasional yang bisa membantu masyarakat kelas menengah mempertahankan atau meningkatkan keterampilan mereka agar lebih kompetitif di pasar tenaga kerja yang berubah cepat. 

 

Kebijakan fiskal yang lebih progresif, seperti pengurangan pajak bagi kelompok berpendapatan menengah dan insentif bagi sektor-sektor yang banyak mempekerjakan kelas menengah, juga bisa menjadi langkah efektif dalam mencegah penurunan ini.

 

Penurunan kelas menengah menjadi kelompok kelas bawah bukan hanya masalah individual, tetapi merupakan masalah struktural yang harus dihadapi bersama. 

 

Jika dibiarkan tanpa intervensi yang tepat, dampaknya bisa meluas dan mengancam stabilitas ekonomi nasional. 

 

Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kelas menengah tetap menjadi pilar yang kuat dalam menopang perekonomian Indonesia.

 

Data BPS:

- Tingkat kemiskinan Maret 2023: 9,36% (25,90 juta orang)

- Gini Ratio Maret 2023: 0,381 (menunjukkan ketimpangan ekonomi)

- Konsumsi rumah tangga menyumbang 56% dari PDB.

 

Langkah proaktif dan kebijakan ekonomi yang tepat akan menjadi kunci dalam mencegah ancaman ini dan memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia. (SG-2)