SOKOGURU, Madiun- Bagi Deweluxe, hari raya keagamaan nasional, termasuk bulan puasa (Ramadan) hingga lebaran (Idulfitri) adalah momen penting untuk meningkatkan produksi fesyennya. Sebab, di saat itu banyak pelanggan ingin memiliki busana baru.
Untuk Ramadan dan lebaran tahun ini, Deweluxe menaikkan 30% produksinya dan semuanya khusus bergaya modest fesyen, seperti gamis, tunik dan model busana muslim.
“Tetapi semua fesyen koleksi Ramadan dan lebaran itu ada unsur tenunnya, karena produk fesyen Deweluxe memang berbasis tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT),” ujar Dini Rahmawati,37, pemilik Deweluxe, saat diwawancarai Sokoguru, langsung dari Madiun, Jawa Timur, Rabu (26/2).
Baca juga: Luncurkan Koleksi Ramadan-Lebaran, Aksesoris OG Jewerly Tawarkan Potongan Harga
Lebih lanjut, mantan periset transportasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu menjelaskan, dari sisi kuantitas, sebetulnya penambahan 30% produksi di saat Ramadan bukanlah jumlah besar.
“Karena baju-baju saya kan bukan produk massal, tetapi pelanggan tertentu yang memang mencintai tenun. Jadi Sebagian besar yang beli baju-baju lebaran saya memang sudah langganan,” imbuhnya.
Dini menjualnya dengan harga mulai Rp350 ribu hingga Rp2,5 juta per pcs. Dan bila menggunakan kain tenun lawas, harganya bisa lebih mahal lagi.
Untuk menyambut bulan puasa serta jelang lebaran, sarjana lulusan UGM ini mengaku tidak memberi diskon, tetapi ada gift atau bonus bagi setiap pembeli.
Pameran Inacraft 2025 di JICC, Senayan Jakarta. (Dok. Sokoguru/Rosmery)
Baca juga: Dorong UMKM Mendunia, Dekranasda Jabar Gaungkan Pesona Tenun Majalaya
“Strategi saya tidak di diskon, tetapi gift, hadiah kecil-kecil gitu. Seperti dompet koin. Soalnya kalau pakai kata diskon seolah-olah barang saya sisa yang dijual murah,” ujarnya sambil tertawa.
Dini mengatakan rata-rata ia memproduksi 50 pcs baju per minggu atau sedikitnya 150 pc per bulan. Jadi, ia hanya menaikkan 30% dari jumlah tersebut dengan komposisi model busana reguler tetap terbanyak sebanyak 70%, seperti blus dari kaus, blus, skirt, kain, rok, rok lilit, blaser. Selebihnya baju-baju gamis, tunik, dan kaftan yang dipadu padankan dengan tenun.
Selain baju, ibu satu anak itu juga membuat tas yang juga dari bahan tenun, namun jumlahnya hanya 20% dari produk baju.
“Sebelum ke baju, awalnya saya buat tas yang terbuat dari batik,” tambah Dini yang boothnya termasuk salah satu mendapat penjualan tinggi selama pameran Inacraft 2025 di JICC Senayan, Jakarta.
Baca juga: 15 IKM Olahan Kelapa dan Tenun Kain Dapat Pendampingan dari Kemenperin
Terkait daya beli masyarakat yang dinilai menurun, Dini mengakui ada penurunan, namun ia merasa tetap aman, karena pasar busananya untuk perempuan-perempuan matang yang ekonominya relatif mapan.
“Pelanggan saya memang orang-orang yang penyuka tenun, seni. Jadi ada sentuhan seni dalam baju saya. Setiap kali ada desain baru yang yang promosikan, mereka yang suka, langsung beli,” ujarnya lagi.
Modal Rp1 juta
Dini yang bekerja di pusat penelitian UGM, khusus riset untuk transportasi pada 2009 hingga 2015, memulai usahanya pada 2014. Waktu itu ia masih main di produk tas yang terbuat dari batik.
Dok. Deweluxe
Waktu itu dengan uang Rp1 juta, ia ke Pasar Bringharjo Yogyakarta membeli kain batik. Selanjutnya, setiap kali gajian ia menyisihkan uangnya membeli batik dan membuat tas.
Tas yang didesainnya lalu ditawarkan langsung ke teman-teman atau dititipkan ke pusat oleh-oleh.
“Saat itu belum punya sistem dan tidak pakai merek. Begitu tasnya jadi langsung dijual dan laku. Begitu seterusnya dan semakin berkembang,” katanya.
Melihat jualannya terus laku, Dini pun memutuskan mundur dari pekerjaannya untuk fokus ke usahanya yang mulai merambah ke busana dari tenun. Bahkan bisnis busananya melampau produk tas batiknya.
Pada 2020, Dini pindah ke Madiun. Di sana UMKM yang dijalaninya terus berkembang sampai dilirik oleh Bank Indonesia (BI) untuk menjadi binaannya.
Sejak 2023 Deweluxe pun menjadi UMKM binaan BI yang memberinya pelatihan, praktik, dan kerap diajak pameran.
“Seperti Inacraft 2025 lalu, saya dibawa BI berpameran di JICC Senayan, Jakarta,” ujarnya.
Bahkan di Inacraft itu, Dini mengaku, penjualannya hampir mencapai Rp70 juta selama lima hari, termasuk salah satu booth yang mencapai penjualan tinggi.
Buyer asing yang datang ke booth-nya ada dari India, dan Singapura. Ada yang menghabiskan Rp5 juta sekali belanja kemudian esoknya datang belanja lagi sampai pameran berakhir.
Selain itu, para pelanggan yang biasa beli di online shop berdatangan untuk melihat langsung produknya.
“Pelanggan saya yang di online shop, Instagram hampir tiap hari datang ke booth saya. Jadi tertolong di situ,” tambahnya.
Tidak khawatir
Lebih lanjut, Dini menjelaskan, ia juga aktif berpameran hingga keluar negeri. Misalnya, ikut Indonesia Week di Hong Kong pada November 2024, kemudian berpameran dalam HUT ke-25 Dharma Wanita Persatuan KBRI di Singapura pada Desember 2024, dan terakhir pada Januari 2025 ikut Singapura Expo 2025, dan Inacraft pada Februari2025.
Ketika ditanya terkait busana impor yang masuk dengan harga murah, Dini mengaku tidak pernah khawatir. Pasalnya, ia membuat produk yang didesain ekskulisif.
“Kalau nyontek tenun, Cina itu sudah menyerah, tidak bisa. Selain itu saya kan desain sendiri, bagaimana mengombinasikan antara tenun dan kain lain, itu harus pas. Saya juga mengombinasikan tenun dengan bahan dari kaos,” jelas Dini.
Selain mengambil segmen penyuka tenun, ia mengatakan, kunci UMKMnya tetap bertahan adalah selalu berinovasi dalam desain dan bahan baku, serta mental untuk bertarung. Selain itu ia juga kerap berkolaborasi dengan siapa pun.
Sementara untuk bahan baku tenun, sejauh ini pasokannya lancar. Semua dari Indonesia Timur, utamanya NTT.
“Kunci sukses UMKM itu ada di kolaborasi, bukan berkompetisi. Kalau kita selalu berkompetisi, yang ada kita selalu takut disaingi. Jadinya, sudah terancam serangan dari produk luar, masa kita takut pula dari dalam negeri sendiri,” tegasnya.
Kini, Deweluxe dengan sembilan karyawannya yang semua perempuan terus melaju memproduksi busana khas tenunnya dengan melayani permintaan dari dalam dan luar negeri.
“Saya tidak punya reseller. Buyer asing yang suka order ada yang untuk dijual lagi ada juga dipakai sendiri. Kebanyakan dari Singapura, Selandia Baru, Hong Kong. Kalau ke Singapura saya sering ikut pameran yang diselenggarakan KBRI,” tambahnya.
Dini mengatakan, meskipun mampu bertahan dengan omset cukup lumayan yakni Rp85 juta- Rp95 juta setiap bulan, namun ia masih kesulitan untuk menaikkan produksinya ketika sebelum pandemi covid-19. Bahkan dinaikkan dua kali lipat pun sulit.
“Tapi di bulan puasa dan lebaran tahun ini saya optimistis omset saya bisa naik 20%-25% dari biasanya,” pungkasnya. (Ros/SG-1)