Soko Berita

Vonis Bebas Polisi dalam Kasus Pencabulan Anak Dikecam, DPR: Ini Cederai Keadilan

Jaksa harus mengajukan kasasi dan memastikan kasus ini tidak berakhir dengan impunitas. Jangan sampai pelaku kejahatan seksual terhadap anak dibiarkan,

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
21 Maret 2025

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Andreas Hugo Pareira. (Ist/DPR RI)

SOKOGURU, JAKARTA: Putusan bebas terhadap seorang oknum polisi yang didakwa mencabuli anak berusia lima tahun di Kabupaten Keerom, Papua, menuai kecaman keras dari berbagai pihak. 

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Andreas Hugo Pareira, menilai vonis bebas polisi pelaku pelecehan mencoreng sistem peradilan dan menunjukkan masih lemahnya komitmen negara dalam melindungi hak anak.

"Kasus ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum masih belum serius menangani kejahatan seksual terhadap anak, meskipun kita sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," tegas Andreas, Jumat (21/3.

Baca juga: Aksi Tolak MBG di Papua Diwarnai Kekerasan, Polisi dan ASN Diduga Langgar Hak Anak

Vonis Bebas yang Mengundang Kecurigaan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura membebaskan terdakwa AFH (20), seorang anggota kepolisian yang sebelumnya dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas dugaan pencabulan terhadap anak. 

AFH diduga melakukan aksi bejatnya sejak 2022 saat berkunjung ke rumah korban, memanfaatkan situasi ketika kakak korban pergi membeli mi instan.

Vonis ini sontak menuai gelombang protes, terutama dari keluarga korban yang berencana mengajukan kasasi. Andreas mendukung langkah tersebut dan menyebut ada indikasi ketidakwajaran dalam putusan hakim.

Baca juga: Anggota DPR: Polisi Harus Melindungi, Bukan Membunuh

“Putusan ini jelas mencederai rasa keadilan dan justru melindungi pelaku, bukan korban. Ini menambah panjang daftar ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum kita,” kritiknya.

Tanggung Jawab Hukum yang Dilanggar

Sebagai anggota kepolisian, AFH seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan malah menjadi pelaku kejahatan terhadap anak. Namun, alih-alih memberikan hukuman yang setimpal, pengadilan justru membebaskannya.

"Ini preseden buruk. Bukannya menegakkan hukum, justru pengadilan seakan memberi sinyal bahwa oknum aparat bisa lolos dari jerat hukum meskipun diduga melakukan kejahatan serius," kata Andreas.

Ia juga menegaskan, vonis bebas ini tidak hanya melukai keluarga korban, tetapi juga menghambat upaya penegakan hukum terhadap kejahatan seksual.

Ketimpangan dalam Sistem Peradilan

Andreas menyoroti bahwa vonis seperti ini hanya memperkuat ketimpangan hukum di Indonesia. 

Dalam berbagai kasus kekerasan seksual, korban sering kali dihadapkan pada hambatan hukum dan sosial, sementara pelaku justru bisa lolos dari jeratan hukum, terutama jika memiliki status atau pengaruh tertentu.

Baca juga: Tembak Siswa SMK di Semarang, Polisi Diminta Jangan Seenaknya Pakai Senpi

“Ketika korban harus berjuang mencari keadilan, pelaku justru dilindungi sistem. Ini bukan sekadar kelemahan hukum, tapi juga bentuk ketidakadilan struktural,” ujarnya.

Ia meminta Komnas HAM turut mengawal kasus ini untuk memastikan keadilan bagi korban benar-benar ditegakkan.

Desakan agar Jaksa Ajukan Kasasi

Sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi hak anak, Andreas mendesak JPU untuk bekerja lebih optimal dalam kasasi. Ia menegaskan bahwa vonis bebas ini tidak boleh menjadi akhir dari perjuangan keadilan.

“Jaksa harus mengajukan kasasi dan memastikan kasus ini tidak berakhir dengan impunitas. Jangan sampai pelaku kejahatan seksual terhadap anak dibiarkan melenggang bebas tanpa konsekuensi,” pungkasnya. (SG-2)