Soko Berita

Aksi Tolak MBG di Papua Diwarnai Kekerasan, Polisi dan ASN Diduga Langgar Hak Anak

Menggunakan gas air mata dan tembakan terhadap pelajar yang berdemonstrasi secara damai adalah tindakan melanggar hukum.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
20 Februari 2025
Unjuk rasa pelajar di sejumlah wilayah Papua yang menentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan menutut program pendidik gratis berakhir ricuh pada Senin (17/2).(Ist/SG-2)

PAPUA, Sokoguru– Unjuk rasa pelajar di sejumlah wilayah Papua yang menentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan menutut program pendidik gratis berakhir ricuh pada Senin (17/2).

Aparat kepolisian dan aparatur sipil negara (ASN) melakukan tindakan kekerasan fisik, penangkapan sewenang-wenang, serta penggunaan gas air mata dan tembakan peringatan.

Amnesty International Indonesia mengecam keras tindakan tersebut, menyebutnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sistematis dan upaya untuk meredam suara kritis anak-anak di Papua. 

Baca juga: Program Makan Bergizi Gratis Dinilai sebagai Solusi Baru Atasi Stunting

Mereka menilai respons kekerasan aparat terhadap pelajar yang berdemonstrasi damai bertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap Konvensi Hak-Hak Anak (CRC).

Di Nabire, Papua Tengah, puluhan pelajar yang ingin bergabung dalam aksi protes dihalangi oleh polisi dan digiring ke kantor polisi. 

Sebuah video yang viral menunjukkan seorang ASN berseragam coklat, yang belakangan diketahui sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Nabire, menendang dan menginjak kaki seorang pelajar yang duduk bersila di lantai. 

Baca juga: Belalang dalam Program Makan Bergizi Gratis: Inovasi atau Keputusan Tergesa-gesa?

Aksi kekerasan ini dibiarkan tanpa intervensi dari petugas lain, mencerminkan kegagalan aparat dalam melindungi hak anak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2014.

Kekerasan juga terjadi di Kabupaten Yalimo, Jayapura, dan Wamena, di mana polisi melepaskan tembakan peringatan dan gas air mata untuk membubarkan massa aksi pelajar yang menuntut pendidikan gratis dan peningkatan fasilitas sekolah.

Tanggapan Amnesty International

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengutuk keras penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat. 

“Menggunakan gas air mata dan tembakan terhadap pelajar yang berdemonstrasi secara damai adalah tindakan yang tidak proporsional dan melanggar hukum,” katanya.

Ia menegaskan bahwa tindakan menangkap siswa tanpa alasan hukum jelas merupakan pelanggaran HAM. 

Amnesty juga mendesak kepolisian untuk menyelidiki dan menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan, termasuk ASN yang melakukan tindakan fisik terhadap pelajar.

Kontroversi Program MBG

Program MBG, yang dimaksudkan untuk meningkatkan gizi anak-anak di sekolah, justru menuai protes di Papua. Masyarakat menilai program ini tidak transparan dan tidak memenuhi standar yang diharapkan. 

Sebelumnya, seorang pelajar di Bogor juga dipaksa membuat video permintaan maaf setelah mengkritik porsi MBG yang dianggap tidak layak.

Seorang aktivis pendidikan Papua yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, “Ini bukan sekadar soal makanan, tapi tentang bagaimana negara memperlakukan Papua. Setiap kritik dianggap ancaman.”

Pola Represi yang Berulang

Eskalasi kekerasan terhadap pelajar ini menunjukkan pola represif aparat terhadap kritik, terutama di wilayah konflik seperti Papua. 

Baca juga: Susu Peternak Lokal Jadi Andalan Program Makan Bergizi Gratis di Kota Cimahi, Jabar

Usman Hamid menyebut ini sebagai taktik pemerintah untuk meredam suara kritis terkait program MBG di seluruh Indonesia.

Amnesty International menegaskan pentingnya untuk melindungi hak anak untuk berekspresi, termasuk dalam bentuk demonstrasi damai. 

“Anak-anak bukan musuh. Mereka adalah warga negara yang berhak menyuarakan harapan tanpa rasa takut,” tegas Usman.

Pemerintah diminta untuk mengevaluasi program MBG secara transparan dan melibatkan suara pelajar serta masyarakat sipil dalam prosesnya. 

Tanpa adanya akuntabilitas dan dialog terbuka, program pemerintah seperti MBG hanya akan dipersepsikan sebagai alat politik, bukan solusi nyata untuk kesejahteraan anak-anak di Indonesia. (Fajar Ramadan/SG-2)