Soko Berita

Viral! Korban Pemerkosaan Malah Dilecehkan Polisi Saat Lapor, DPR: Ini Gagal Totalnya Sistem Hukum

Korban pemerkosaan dilecehkan anggota polisi saat melapor di Polsek Wewewa Selatan, NTT. DPR sebut ini kegagalan hukum dan desak proses hukum transparan.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
11 Juni 2025
<p>Ilustrsi seorang polisi. Seorang anggota Polri berinisial Aipda PS diduga melakukan pelecehan seksual terhadap MML, seorang korban pemerkosaan di Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Dok.Ist)</p>

Ilustrsi seorang polisi. Seorang anggota Polri berinisial Aipda PS diduga melakukan pelecehan seksual terhadap MML, seorang korban pemerkosaan di Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Dok.Ist)

SOKOGURU, JAKARTA – Kasus mengejutkan kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di Indonesia. 

Seorang anggota Polri berinisial Aipda PS diduga melakukan pelecehan seksual terhadap MML, seorang korban pemerkosaan yang sedang melapor ke kantor polisi di Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kasus ini mendapat sorotan tajam dari Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, yang menyebut tindakan Aipda PS sebagai bentuk kegagalan paling telanjang sistem hukum Indonesia.

Baca juga: DPR Kritik Tindakan Represif Polisi terhadap Mahasiswa dalam Demo UU TNI

"Kantor polisi seharusnya menjadi tempat paling aman bagi rakyat. Tapi ini justru menjadi tempat kedua bagi korban mengalami kekerasan," tegas Sudding dalam keterangan pers, Selasa (10/6/2025).

Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding. (Dok.DPR RI)

Kronologi Mengerikan di Balik Seragam

Kejadian ini bermula saat MML melapor ke Polsek Wewewa Selatan terkait pemerkosaan yang dialaminya di Desa Mandungo pada 2 Maret 2025. 

Saat diperiksa oleh Aipda PS, korban justru mengaku mendapatkan perlakuan cabul dari sang oknum polisi.

Parahnya lagi, Aipda PS diduga meminta korban untuk tidak membuka mulut kepada siapa pun. 

Baca juga: DPR Dukung Dewan Pers Tangani Intimidasi terhadap Wartawan Tempo

Namun keberanian MML untuk bersuara di media sosial membuat kasus ini viral dan memicu kemarahan publik.

Ironis, Laporan Pemerkosaan Dijadikan SP3

Ironisnya, laporan pemerkosaan yang dilayangkan korban di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan dalih "hubungan suka sama suka" — padahal korban mengaku diancam dengan parang oleh pelaku sebelum diperkosa.

DPR: Ini Kejahatan, Bukan Sekadar Etik

Menurut Sudding, pelanggaran yang dilakukan Aipda PS tidak bisa diselesaikan hanya lewat sidang etik atau sanksi ringan. 

Ini merupakan kejahatan pidana serius yang mencoreng nama baik Polri di mata masyarakat.

Baca juga: Aksi Tolak MBG di Papua Diwarnai Kekerasan, Polisi dan ASN Diduga Langgar Hak Anak

“Pelakunya harus diadili di pengadilan umum. Prosesnya harus transparan dan bisa diawasi publik,” tegas legislator dari Dapil Sulawesi Tengah ini.

Saat ini, Aipda PS telah ditempatkan dalam penempatan khusus (patsus) sejak 7 Juni 2025. Namun Sudding menilai, itu belum cukup.

Sistemik dan Mengkhawatirkan

Sudding menekankan bahwa kasus ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam pengawasan dan pembinaan personel. Tak bisa terus-menerus berlindung di balik narasi "oknum".

"Kalau kantor polisi bisa menjadi tempat pelecehan, maka seluruh konsep negara hukum sedang berada di ujung tanduk," tandasnya.

Ia juga menyebut perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia masih sangat jauh dari ideal. Bahkan, banyak korban justru merasa lebih aman bersuara di media sosial daripada di kantor polisi.

Desak Reformasi dan Audit Menyeluruh

Untuk itu, Sudding mendesak audit nasional terhadap sistem pelaporan kekerasan seksual di tubuh Polri. Termasuk:

* Hadirnya petugas perempuan
* Pemisahan ruang pemeriksaan
* Pendampingan psikologis bagi korban
“Negara kehilangan kredibilitasnya ketika korban lebih percaya media sosial daripada sistem hukum,” tegasnya.

Pesan Tegas: Negara Harus Hadir!

Terakhir, Sudding menyatakan bahwa kasus ini harus menjadi titik balik reformasi hukum dan kelembagaan di Indonesia. 

Negara, menurutnya, harus hadir bukan hanya lewat pidato, tapi lewat keadilan nyata dan sanksi tegas bagi pelaku.

“Sudah saatnya Polri membersihkan institusinya dari mental predator berseragam. Rakyat butuh perlindungan, bukan teror baru,” pungkasnya. (*)