Soko Berita

Teror Kepala Babi untuk Jurnalis Tempo: Masyarakat Sipil Bersatu Melawan Intimidasi

Sebanyak 43 tokoh dari berbagai profesi, termasuk pengacara, akademisi, pegiat HAM, dan wartawan, menyatakan sikap tegas melawan intimidasi terhadap jurnalis. 

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
21 Maret 2025

Insiden pengiriman paket kepala babi ke redaksi Tempo pada Rabu, 19 Maret 2025, memicu gelombang kecaman luas dari berbagai kalangan masyarakat sipil. (Ist)

SOKOGURU, JAKARTA:  Insiden pengiriman paket kepala babi ke redaksi Tempo pada Rabu, 19 Maret 2025, memicu gelombang kecaman luas dari berbagai kalangan masyarakat sipil. 

Aksi teror yang diduga bertujuan menebar ketakutan ini terjadi sehari sebelum pengesahan Rancangan Undang-Undang (RRU) TNI pada Kamis, 20 Maret 2025.

Sebanyak 43 tokoh dari berbagai profesi, termasuk pengacara, akademisi, pegiat HAM, dan wartawan, menyatakan sikap tegas melawan upaya intimidasi terhadap jurnalis. 

Baca juga: Dewan Pers dan IMS Tandatangani MoU untuk Perkuat Perlindungan Jurnalis di Indonesia

Mereka menegaskan dukungan penuh bagi Tempo dalam menghadapi ancaman yang dianggap sebagai serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi.

Meningkatnya Pola Intimidasi terhadap Jurnalis

Dalam pernyataan tertulisnya, kelompok masyarakat sipil menyoroti bahwa aksi teror terhadap jurnalis bukanlah hal baru. 

Mereka mencatat adanya peningkatan pola intimidasi, dari perusakan kendaraan pribadi hingga ancaman simbolis yang lebih ekstrem.

“Kita tahu tujuan intimidasi dan teror adalah menebar rasa takut. Sasarannya diperingatkan agar tidak meneruskan apa yang sedang ia kerjakan,” tulis kelompok Masyarakat Sipil dalam keterangan pers, Kamis (20/3).

“Sejak perusakan kendaraan pribadi hingga kepala babi, kita bisa melihat ada peningkatan bentuk intimidasi,” tulis mereka.

Baca juga: Jurnalisme Konstruktif Sajikan Berita dengan Solusi, Bukan Sensasi

Kasus ini mengingatkan pada insiden sebelumnya pada 6 Agustus 2024, ketika mobil seorang jurnalis Tempo yang juga host Bocor Alus Politik (BAP) dirusak oleh orang tak dikenal. 

Kini, ancaman semakin terang-terangan dan mengarah langsung ke institusi pers.

Teror Tanda Ketakutan?

Masyarakat sipil menilai aksi-aksi ini sebagai bentuk ketakutan dari pihak-pihak yang tak ingin kebebasan pers berkembang. 

Menurut mereka, tindakan semacam ini justru mencerminkan kelemahan pelakunya.

“Tindakan seperti itu biasanya dilakukan oleh para penakut. Justru pelaku yang sesungguhnya mengidap rasa takut. Plus bukan orang yang kreatif dan tidak tahan adu argumentasi,” tegas pernyataan mereka.

Lebih lanjut, mereka menyoroti bahwa di negara dengan kecenderungan anti-demokrasi, ketakutan terhadap pers yang kritis semakin kentara. 

“Kekuasaan otoriter atau yang cenderung otoriter tahu persis bahwa demokrasi itu hakikatnya membatasi kekuasaan. Mengapa? Sederhana, supaya tidak sewenang-wenang,” tambah mereka.

Masyarakat Sipil: Stop Intimidasi, Jaga Kebebasan Pers

Para tokoh masyarakat ini menegaskan bahwa pers yang independen adalah elemen penting dalam demokrasi. 

Sejak Reformasi 1998, Indonesia telah menetapkan kebebasan pers sebagai pilar utama dalam sistem demokratis, dengan perlindungan yang diatur dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Maka, kami menyatakan bahwa kami bersama-sama Tempo dan pekerja media. Kami bersama seluruh warga negara yang menginginkan agar pers yang bebas tetap dijaga dan jurnalis bekerja secara aman,” papar Mereke.

Baca juga: Penggunaan Teknologi AI Bisa Jadi Pendukung dan Pelengkap Jurnalisme

“Kami menyatakan: setop aksi pengecut untuk menakut-nakuti jurnalis,” tulis mereka yang juga dikutip tempo.co.

Di antara tokoh yang ikut menandatangani pernyataan sikap ini adalah Erry Ryana Hardjapamekas (mantan wakil ketua KPK), Andreas Harsono (peneliti Human Rights Watch), Ayu Utami (penulis).

Selaoin itu, ada Bivitri Susanti (dosen STH Jentera), Usman Hamid (Amnesty International), Sandrayati Moniaga (mantan komisioner Komnas HAM), dan I Dewa Gede Palguna (guru besar Universitas Udayana). (SG-2)