Soko Berita

Opini: Polemik Pulau Diselesaikan Presiden, Tapi Apakah Ini Benar-Benar Final?

Keputusan Presiden tetapkan empat pulau ke Aceh. Tapi benarkah ini solusi final? Opini ini mengkritisi proses, transparansi, dan dampak bagi kepercayaan daerah.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
17 Juni 2025
<p>Empat pulau yang disengketakan Provinsi Aceh dan Sumut. (Dok.medialampung.disway.id)</p>

Empat pulau yang disengketakan Provinsi Aceh dan Sumut. (Dok.medialampung.disway.id)

SOKOGURU: Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan empat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Aceh, patut diapresiasi sebagai upaya mengakhiri polemik batas wilayah yang sempat memanaskan hubungan antara Aceh dan Sumatera Utara. 

Namun, di balik ketegasan tersebut, tersisa pekerjaan rumah besar: menata ulang mekanisme penetapan wilayah administratif yang selama ini tampak tumpang tindih, terburu-buru, dan minim komunikasi antar-pemerintah daerah.

Sengketa ini bukan sekadar soal koordinat atau titik batas semata, melainkan refleksi dari lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintah, mulai dari tingkat daerah hingga pusat. 

Baca juga: Resmi 17 Juni 2025! Presiden Putuskan Empat Pulau Sengketa Jadi Milik Aceh, Ini Kronologi Lengkapnya

Ketika Keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menetapkan keempat pulau itu masuk ke wilayah Sumatera Utara, gelombang protes dari Aceh seakan tak terelakkan. 

Warga, pemerintah provinsi, hingga legislatif daerah merasa terpinggirkan dalam proses penentuan yang menyangkut identitas dan kewilayahan mereka. 

Reaksi keras dari Aceh menunjukkan bahwa dokumen dan data teknokratis tidaklah cukup jika tidak dibarengi pendekatan politis, sosiologis, dan historis yang menyeluruh.

Pemerintah memang berkewajiban mencocokkan data wilayah administratif demi kepentingan nasional, termasuk registrasi pulau ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Namun, harus diakui, pendekatan administratif yang terlalu sentralistis dan minim konsultasi bisa memicu sentimen lokal yang mengganggu keutuhan bangsa. 

Baca juga: Usul DPR: Sengketa 4 Pulau Aceh–Sumut Harus Diatur Lewat UU Khusus, Prabowo Siap Turun Tangan!

Apalagi Aceh memiliki status kekhususan yang membuat setiap kebijakan dari pusat perlu dijalankan dengan pendekatan yang sensitif dan dialogis.

Penyelesaian melalui keputusan presiden, walau konstitusional, seharusnya menjadi jalan terakhir setelah seluruh upaya musyawarah benar-benar buntu. 

Sayangnya, dalam kasus ini, kesan terburu-buru tidak terhindarkan. Pemerintah daerah terkait, baik Aceh Singkil maupun Tapanuli Tengah, belum sepenuhnya duduk bersama menyepakati batas yang disengketakan. 

Situasi ini seolah menegaskan bahwa tata kelola batas wilayah belum dibangun di atas prinsip keterbukaan, kolaborasi, dan kepastian hukum yang kuat.

Publik kini menaruh harapan besar bahwa keputusan tersebut akan diikuti dengan langkah konkret: penerbitan Permendagri yang merinci batas darat dan laut secara teknis, serta memastikan tidak ada tumpang tindih administratif yang dapat memicu konflik baru. 

Proses ini harus dilakukan secara transparan, dengan melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat adat dan akademisi, demi menjaga legitimasi hasil akhirnya.

Kepastian hukum atas batas wilayah sangat penting bukan hanya untuk kepentingan tata kelola pemerintahan, tetapi juga untuk ketertiban investasi, pembangunan infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, hingga perlindungan hak masyarakat lokal. 

Baca juga: Usulan Polri di Bawah Kemendagri atau TNI Dinilai Pengkhianatan Reformasi

Jangan sampai sengketa batas wilayah kembali muncul di masa depan hanya karena pemerintah lalai menata ulang sistem pengelolaan wilayah yang lebih partisipatif dan berbasis data spasial yang akurat.

Lebih dari itu, kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah pusat: bahwa dalam negara demokrasi yang majemuk seperti Indonesia, keputusan teknokratis semata tidak akan cukup untuk menyelesaikan persoalan yang menyangkut rasa keadilan dan kedaerahan. 

Dialog, keterbukaan, dan penghormatan terhadap proses adalah pilar penting dalam menjaga keutuhan NKRI.

Keputusan Presiden boleh jadi telah menutup babak sengketa administratif empat pulau. Namun, penyembuhan luka sosial dan penguatan kepercayaan antara pusat dan daerah harus tetap dilanjutkan. 

Jangan sampai keputusan yang dimaksudkan sebagai solusi justru meninggalkan bara yang sewaktu-waktu bisa menyala kembali. (*)