SOKOGURU: Kebebasan pers telah menjadi salah satu tonggak penting dalam peradaban modern.
Sejarahnya mencerminkan perjuangan panjang umat manusia untuk meraih hak menyuarakan kebenaran, melawan kekuasaan yang mengekang, dan membangun demokrasi yang sehat.
Akar kebebasan pers dunia dapat ditelusuri hingga Abad ke-17 ketika Inggris menerbitkan "Areopagitica" (1644), pidato terkenal John Milton yang menentang sensor oleh negara.
Baca juga: Penolakan RUU Penyiaran dan Ancaman Pembungkaman Kebebasan Pers
Meski belum membuahkan kebijakan langsung, gagasan Milton menjadi pondasi awal munculnya tuntutan kebebasan berekspresi.
Pada akhir abad ke-18, kebebasan pers mulai mendapat pengakuan formal. Amerika Serikat (AS) menjadi pelopor lewat Amendemen Pertama Konstitusi AS tahun 1791, yang secara eksplisit melindungi kebebasan berbicara dan pers dari intervensi negara.
Tak lama berselang, semangat serupa merebak ke Eropa. Revolusi Prancis (1789) mengobarkan deklarasi universal hak asasi manusia, termasuk hak menyampaikan pendapat melalui media cetak.
Namun, kenyataannya, banyak rezim saat itu justru tetap mengekang pers, terutama saat kekuasaan merasa terancam.
Kebebasan Pers Menjadi Isu Global
Memasuki abad ke-20, kebebasan pers menjadi isu global. Setelah Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).
Pasal 19 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk hak menerima dan menyampaikan informasi melalui media apa pun, tanpa campur tangan.
Namun, meski secara hukum diakui, pelaksanaannya tidak selalu ideal. Di banyak negara, pers tetap dibungkam melalui sensor, kriminalisasi, intimidasi, dan kontrol politik.
Baca juga: RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers dan Perluas Kewenangan KPI
Hingga saat ini, berbagai lembaga internasional seperti Reporters Without Borders (RSF) dan Committee to Protect Journalists (CPJ) terus mencatat bagaimana jurnalis di berbagai negara mengalami pembatasan, bahkan kekerasan.
Tantang Baru Muncul Doksing, Serangan Siber, Disinformasi dan Algoritma Medsos
Di era digital, tantangan baru muncul: doksing, serangan siber, disinformasi, dan algoritma platform media sosial yang mempengaruhi visibilitas kebenaran.
Ironisnya, di abad ke-21, kebebasan pers bukan hanya dibatasi oleh rezim otoriter, tapi juga oleh korporasi digital dan tekanan ekonomi terhadap media.
Menurut Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024 yang dirilis RSF, hanya sekitar 8% negara yang dianggap benar-benar menghormati kebebasan pers. Selebihnya berada dalam kondisi “bermasalah”, “sulit”, bahkan “sangat serius”.
Kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi hak publik untuk tahu. Dalam dunia yang dipenuhi propaganda dan misinformasi, keberadaan media yang bebas dan bertanggung jawab menjadi benteng terakhir demokrasi.
Peringati Hari Kebebasan Pers Sedunia Setiap 3 Mei
Setiap tanggal 3 Mei, dunia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia. Namun, di balik seremonial dan slogan kebebasan, masih banyak wartawan yang bekerja dalam bayang-bayang tekanan, pembungkaman, dan kekerasan.
Alih-alih menjadi "watchdog of democracy", media massa kerap dihadapkan pada ancaman dari aktor-aktor berkuasa, mulai dari pembredelan halus, sensor terselubung, hingga kriminalisasi.
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, kebebasan pers belum sepenuhnya menjadi kenyataan, terutama ketika kritik diarahkan pada pemerintah atau elite tertentu.
Tren Penurunan Kebebasan Pers
Menurut laporan terbaru Reporters Without Borders (RSF), indeks kebebasan pers global menunjukkan tren penurunan.
Banyak negara mengalami degradasi kebebasan karena meningkatnya intervensi pemerintah terhadap redaksi, tekanan politik terhadap pemilik media, serta penyalahgunaan hukum siber untuk membungkam kritik.
Di lapangan, para jurnalis tak hanya menghadapi tantangan profesional, tetapi juga ancaman fisik dan psikologis.
Penganiayaan terhadap wartawan, intimidasi melalui media sosial, hingga pelaporan hukum atas berita yang dianggap “tidak menyenangkan” masih sering terjadi.
Banyak media akhirnya memilih jalan aman: menghindari isu-isu sensitif, menahan kritik, dan memprioritaskan kepentingan bisnis atau pemilik modal.
Baca juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia, DPR RI: Jurnalis Garda Depan Sampaikan Kebenaran
Sementara itu, wartawan di daerah juga menghadapi kondisi kerja yang memprihatinkan: tanpa perlindungan hukum, upah minim, dan nyaris tanpa ruang independen.
Ironisnya, di era digital, ketika akses informasi makin terbuka, justru banyak jurnalis dan media dibungkam oleh gelombang disinformasi, polarisasi politik, dan algoritma media sosial yang lebih mengutamakan sensasi ketimbang substansi.
Kebebasan Pers Hanya Jadi Jadikan Simbol Bukan Praktik
Pakar komunikasi politik dari beberapa universitas menilai, kebebasan pers saat ini lebih banyak dijadikan simbol, bukan praktik.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pers yang benar-benar bebas dan bertanggung jawab — bukan yang dibatasi oleh ketakutan akan pembalasan atau tekanan dari pemangku kepentingan.
Di momen Hari Kebebasan Pers Sedunia ini, seruan agar negara hadir melindungi jurnalis dan memperkuat ekosistem pers yang independen kembali menggema. Tanpa pers yang bebas, demokrasi hanya akan menjadi panggung teatrikal yang dikendalikan narasi tunggal.
Karena pada akhirnya, kebebasan pers bukan hanya tentang hak jurnalis untuk menulis, tetapi hak publik untuk tahu.(*)