SOKOGURU, BANDUNG - Mulai meredupnya sentra-sentra atau kampung UMKM sebetulnya bukan hanya terjadi di sentra boneka, seperti di Sayati Hilir, Sukamulya dan Cibuntu Warung Muncang, tetapi juga beberapa sentra lainnya.
Penurunan sangat terasa ketika pandemi covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia.
Mengapa usaha yang sudah dibangun puluhan tahun dan berjalan hingga tiga generasi itu mengalami penurunan produksi dan omset, bahkan sebagian perajin beralih ke profesi lain.
Benarkah karena tidak ada inovasi atau cara berbisnis mereka sudah tidak bisa mengikuti zaman atau permintaan pasar? Berikut pemaparan dari Daniel Hermawan, S.A.B., M.Si., MBA., Dosen Pogram Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, kepada Sokoguru, beberapa waktu lalu.
Dosen yang menyelesaikan pendidikan Magister Double Degree pada Program Studi Magister Ilmu Sosial Unpar dan Program Master of Business Administration (MBA) Jiangsu University Tiongkok (2017) ini juga aktif dalam berbagai penelitian dan pengabdian masyarakat, pemerhati UMKM dan menulis sejumlah buku.
Mengapa sentra boneka di Bandung yang sudah dipegang dua sampai tiga generasi itu meredup, omzet menurun, kalah bersaing?
Saya melihat penyebab sebenarnya soal segmentasi pasar. Sektor UMKM di kota Bandung itu rata-rata sifatnya masih makloon. Artinya, UMKM itu mengerjakan pesanan orang atau buat merek orang lain, walaupun dia memproduksi buat merek sendiri.
Nah! ini terjadi juga pada saat saya melakukan penelitian di sentra rajut Binong dan Cibaduyut. Jadi, mereka memproduksi bukan produk mereka sebenarnya, tapi mengerjakan spesifikasi dari brand yang bekerja sama dengan mereka.
Ini menjadi kendala, karena ketika pesanan itu sifatnya B2B (business to business), artinya bukan dikonsumsi secara pribadi, tapi lebih untuk bisnis lagi.
Ketika terjadi kebijakan efisiensi, perubahan kebijakan terkait penggunaan keuangan, seperti yang dilakukan pemerintah saat ini, mereka-mereka itu (UMKM itu) jadi terdampak. Sebabnya, mereka tidak punya brand atau disebut naked brand yang membuat nilai tambah mereka menjadi sangat kurang.
Bagaimana UMKM boneka tetap bisa survive?
UMKM itu kan ekosistem ya. Ada pemasok, ada penjual, ada perajin. ekosistem itu terhubung satu sama lain. Jadi, kalau ditanya mengapa mereka dulunya bisa menghasilkan miliaran rupiah, tetapi sekarang bisa turun drastis? Karena ya itu tadi, mereka tergantung pada satu sumber pemasukan dan hal itu membuat mereka jadi tidak survive.
Daniel lalu memberi contoh sebuah merek boneka terkenal ber SNI juga yang walaupun mahal tetapi masih survive. Bahkan merek boneka itu menjanjikan garansi seumur hidup, kalau rusak bisa diperbaiki.
Menurut penulis buku Inovasi dalam UMKM Peluang, Tantangan dan Keberlanjutan, (2023) itu, penyebab merek boneka itu tetap eksis karena bermain di ranah branding. Jadi sentra-sentra boneka di tiga lokasi tu juga perlu punya branding sendiri.
Sama-sama main di boneka. Kenapa yang satu bisa tetap eksis dan yang di tiga sentra itu meredup?
Ya memang berbeda dengan merek boneka itu. Mereka bermain di ranah branding, ada jaminan, dan lain sebagainya. Harga mahal tetapi memberi jaminan seumur hidup, dan lain sebagainya.
Ketika merek itu bisa memainkan branding, kadang-kadang itu yang membuat sebuah ekosistem bisnis itu menjadi sustain.
Apa sebetulnya Penyakit UMKM
Penyakit pertama, branding sangat lemah. Saya cerita sedikit pengalaman ketika meneliti di sentra industri rajut. Di awal itu, mereka punya satu kebiasaan tidak sehat yaitu perang harga. Antara perajin yang satu dan lainnya itu, karena ingin mendapatkan pesanan besar, di antara mereka saling menurunkan harga.
(Dok. Sokoguru/ Rosmery)
Dan ujung-ujungnya mereka sendiri yang ‘boncos’. UMKM yang satu tutup karena nggak bisa survive menggaji karyawannya. Di sisi lain ada yang berjaya. Tetapi ekosistemnya mati, karena sudah dirasuki oleh perang harga tadi.
Akhirnya, sentra itu tidak lagi kompetitif, karena orang sudah mencap sentra tersebut murahan. Konsumen berpikir harga-harga di sana, bisa kok dinegosiasi sampai ke bawah-bawah banget.
Penyakit kedua, pola pengelolaan keuangan yang tidak sehat. Mereka tidak memisahkan antara keuangan pribadi dengan keuangan perusahaan. Mereka tidak punya tim khusus untuk mendata itu.
Dan ketika mereka mencampuradukan keduanya, antara arus kas masuk dan keluarnya tidak seimbang. Akhirnya menjadi bom waktu di kemudian hari. Seandainya mereka dapat uang besar buat beli motor baru atau lebih fokus ke sektor-sektor yang sifatnya flexing.
Sebab, mindset mereka untung hari ini itu untuk keuntungan selanjutnya. Itulah yang membuat mereka tidak kompetitif lagi.
Ketiga, mudah puas diri. Kenapa dulu omset miliaran, sekarang kok turun drastis? Karena pelaku usaha kecil itu gampang puas diri. Semangat entrepreneurialnya itu tidak berpikir future oriented.
Mereka hanya berpikir hari ini yang penting ada duit. Mereka tidak pernah punya safety net. Kalau di bisnis-bisnis skala besar, mereka punya simpanan, punya tabungan. Jika satu hari dibutuhkan mereka akan cairkan tabungannya..
Sementara perajin UMKM umumnya tipikal orang per hari. Kalau kerja dapat upah sehari itu, ya dihabiskan hari itu juga. Kalau hari itu tidak kerja ya mereka tidak dapat upah.
Nah ekosistem semacam itu yang seperti bola salju (snowball). Awalnya tidak terjadi apa-apa, tetapi sekarang terasa. Mereka tidak punya modal untuk membuat sesuatu yang lebih baik.
Lebih lanjut, Daniel melihat sejauh ini ada dua kubu tipe konsumen. Pertama, kubu yang melihat harga itu nomor satu. Artinya, konsumen itu benar-benar ingin harga termurah, soal kualitas nomor dua. Nah, mayoritas masyarakat Indonesia ada di tipe itu.
Tipe kedua, pelanggan yang tidak sensitif terhadap harga selama produknya berkualitas. Berapapun harganya dibeli. Contoh, kata Daniel, boneka Labubu, berapa juta pun harganya tetap dibeli, karena memang secara segmentasinya berbeda.
Para perajin boneka itu umumnya tahu cara berbisnis. Di mana letak salahnya?
Sebetulnya UMKM itu tidak sepenuhnya salah. Cuma, Pemerintah kita itu yang terlalu terbuka. Beberapa waktu yang lalu kan Sempat ada social commerce. Dari tiktok langsung bisa beli.
Itu juga salah satu hal yang dikeluhkan oleh UMKM, karena langsung memotong rezeki mereka. Misalnya, Barang dari Tiongkok yang harganya lebih murah Langsung masuk ke Indonesia yang akhirnya mematikan UMKM lokal. Lalu salahnya dimana? Kalau saya dibilang ya semuanya salah sih.
Daniel kemudian memaparkan tentang Pentahelix yang bisa jadi solusi dalam mengatasi kemerosotan UMKM, yakni terdiri dari peranan perguruan tinggi, komunitas, pelaku usaha, pemerintah dan media. Kelimanya itu punya kontribusi masing-masing.
Bisa dijelaskan bagaimana Pentahelix bisa jadi salah satu solusi?
Misalnya, mulai dari akademisi. Kontribusinya mengungkap fakta di lapangan, apa yang terjadi sebenarnya, sesuaikah dengan yang dilaporkan.
Dari pengalaman saya yang melihat langsung di lapangan, ( maaf bukan berarti mengkritisi pemerintah), kadang-kadang kita ingin yang ‘wah’. Misalnya, yang AI (kecerdasan buatan).
Seharusnya untuk sektor-sektor sangat bawah, prioritasnya melakukan riset fundamentalnya dulu. Mengapa mereka tidak survive? Di situlah peran akademisi dari sisi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Tujuannya untuk membina UMKM.
Jadi kalau tadi simptomnya itu adalah pengelolaan keuangannya kurang baik atau brandingnya kurang baik, nah kita bermain disana. Kita masuk ke sana untuk memberikan intervensi sosial terkait dengan kendala tersebut.
Kedua, pelaku bisnis. Mindset orang-orang berada dalam satu klaster industri ketika memiliki perbedaan visi dan misi, apalagi berkaitan dengan uang adalah perang harga.
Di luar negeri setau saya mereka itu dalam satu konsorsium sepakat harga batas bawahnya ditentukan. Jadi, tidak ada yang boleh melewati batas bawah itu.
Boleh menjual harga berapapun, tapi tidak boleh di borderline, karena itu sudah merusak harga pasar. Tapi di Indonesia masih pasar bebas gitu, terkesannya yang kuat bertahan yang lemah menyerah.
Ketiga, komunitas. Dalam Pentahelix, komunitas punya peran penting dalam hal pemberdayaan. Jadi orang-orang itu punya semangat kolektif, punya visi dan misi yang sama. Dapatnya dari mana? Paguyuban dan kooperasi. Nah, hal-hal semacam itu tuh udah mulai redup belakangan ini.
Jadi, kenapa ada perang harga, karena peran komunitasnya tidak bermain di level kawasan tersebut.
Keempat, government yang membuat kebijakan. Satu hal yang perlu dikritisi dari pemerintah adalah kebijakannya tumpang tindih. Antara yang nasional, sama provinsi, dan daerah bisa berbeda-beda bunyinya, Dan itu kadang menimbulkan kebingungan UMKM.
Misalnya, saya mau membuat bisnis menjadi legal, tidak ada informasi tersentralisasi yang jelas. Hal-hal seperti itulah yang harus ditindaklanjuti pemerintah.
Kelima, dari sisi media. Kalau dulu peran media konvensional koran atau majalah sangat sentral. Tapi sekarang influencer menjadi semacam nabi baru di dunia digital.
Menurut saya, personal diri kita juga media sebenarnya. Memang ada media yang tersertifikasi dewan pers, dan kedua diri kita masing-masing juga pemilik media sosial.
Tapi jangan sampai seperti fenomena belakangan ini yang harus saya highlight terkait review-review negatif terhadap bisnis yang sedang berjalan. Itu membuat ekosistem bisnis jadi tidak baik-baik saja.
Misalnya, aduh makanannya ada kecoanya, dan lain sebagainya. Hal-hal semacam itu jangan dilakukan, kita juga harus punya self awareness.
Apakah pelaku usaha boneka tidak mampu naik kelas? Bagaimana Akademisi melihatnya?
Sebetulnya bukan cuma sentra boneka yang merosot. Hal yang sama juga terjadi di Cibaduyut. Kendalanya: Pertama, soal regenerasi. Kakek neneknya mendirikan, bapak ibunya mengembangkan, tetapi anak-anaknya tidak mau meneruskan. Karena mungkin generasi pendiri old fashion, sudah jadul (zaman dulu) sudah tidak kekinian.
Itulah umumnya kendala-kendala di sentra-sentra UMKM. Begitu sudah masuk ke generasi berikutnya ada kecenderungan tidak meneruskan.
Kedua, gaya lama. Karena generasi mudanya tidak meneruskan ya otomatis orangtuanya melanjutkan dengan the same way as he does. Dengan pola lama yang which is sudah berubah zaman dan tidak lagi relevan saat ini.
Akhirnya, ya itu tadi dulu ramai sekarang tidak. Makanya, di pemasaran pun ada perubahan. Dulu ada 4 P yakni product, price, place, promotion.
Place, dulu dianggap kalau tempatnya strategis, berada di pinggir jalan, banyak orang melihat.
Sekarang itu tidak relevan lagi. Yang jadi titik temu tempat itu secara digital adalah platformnya, mempertemukan antara user dan penjualnya. Platform sudah menjadi place-nya sekarang. Nah dari yang masalah kecil itu merembet ke belakangnya.
Jadi harus berangkat dari niat keluarga pebisnis sendiri?
Iya, karena sentra industri kan sesuatu yang sifatnya family business. Kalau mau diperkuat pun harus dari semangat entrepreneurial family business-nya.
Kalau pemerintah koar-koar, misalnya ayo kita lestarikan Sukamulya menjadi sentra boneka dan lain sebagainya, Kayaknya agak terlalu waste ya usaha tersebut.
Sebabnya, kalau mereka (pelaku UMKM) belum sadar kenapa harus melakukan itu ya mereka tidak akan melakukan. Ini terjadi juga di kampung wisata yang kami teliti.
Pada 2023, awal mulanya pemerintahan Pak Odet bertujuan mengangkat daya tarik wisata di Kota Bandung. Sebab, Kota Bandung kan tidak punya potensi alam. Potensi alam adanya di Gunung Tangkuban Perahu atau Kawah Putih yang letaknya bukan di Kota Bandung, tetapi di Kabupaten Bandung.
Sementa Kota Bandung itu memiliki potensi kreatif. Jadi yang diintervensi pemerintah sebenarnya sudah ada Kampung Wisata Kreatif. Lalu mendirikan percontohan di belakang Kampung Wisata Kreatif itu Cibaduyut, Ciga Dung Cigo Dewa Rajut Binong Jati Cinambo dan seterusnya.
Dan Intervensi itu karena sifatnya top down, tidak berjalan mulus. Warga sekitar merasa Itu bukan kebutuhan mereka. Itu mah kepentingan pemerintah aja.
Jadi, mungkin kalau dimulainya dari awarenessnya dulu ditingkatkan, diedukasi dulu, kenapa sih penting melanjutkan family business ini.
Kalau saya melanjutkan bisnis ini apa dimudahkan gak usaha saya atau malah dibikin ribet? Atau jadi sapi perah.
Nah, orang-orang UMKM itu sudah takut lebih dulu kalau disuruh membuat proposal, karena akan mengungkapkan cash flow mereka, kemudian takut dengan pajak. Nanti saya harus bayar pajak berapa? UMKM sangat sensitif terhadap pajak.
Jadi apa yang perlu dilakukan para UMKM, termasuk di sentra boneka agar tetap tumbuh.
Pertama, self awareness dari UMKM dibangkitkan. Artinya, mereka itu harus tau bahwa Sebuah bisnis itu Jangan sampai stagnan. Kalau sedang stagnan nanti ujung-ujungnya tidak berkelanjutan.
Kedua, solusi berikutnya mungkin dari sisi komunitas. Komunitas ini penting untuk menyuarakan info-info apa yang lagi berkembang di industri itu. Contoh, di industri sepatu di level pemerintah itu ada Balai Perindustrian Industri Persepatuan (BPIPI).
Di mana itu jadi forum buat para pelaku sepatu. Desain yang terbaru itu seperti apa? Mereka bisa saling memberi informasi.
Ketiga, mengaktifkan kembali peran-peran dari unit pelaksana teknis (UPT). Saat ini UPT itu seperti mati suri jujur. Padahal pemerintah bisa masuk lewat situ. Pembinaan dan pelatihan ada di situ .
Yang dibutuhkan oleh perajin lebih dari itu ya bimbingan teknisnya (bintek). Mungkin Pemerintah bisa memperkuat lagi UPT-UPT itu.
Pengalaman waktu meneliti sentra rajut Binong, keluhan UMKM itu adalah dari pemerintah itu rumusnya cuma tiga, yakni pameran, studi banding, dan pelatihan. Jadi obatnya generik, padahal masalah di setiap UMKM beda-beda, seharusnya obatnya juga bisa beda.
Di sentra rajut Binong, misalnya, persoalannya ternyata UMKM disana butuhnya mesin.
Untuk menumbuhkan kembali sentra-sentra UMKM, Daniel yang beberapa kali melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat di Humbang Hasundutan Sumatra Utara, riset Bandung Kota Cerdas Pangan, dan riset di daerah lainnya, juga mengusulkan adanya government shop, seperti di Tiongkok.
Daniel memberi contoh rombongan wisatawan yang melakukan perjalanan ke tempat wisata, diwajibkan datang ke toko UMKM-UMKM di sekitarnya. Walaupun mereka tidak membeli tidak apa-apa, yang penting mereka mendengarkan pemaparan tentang produk UMKM tersebut.
Kalaupun ada yang membeli itu secara tidak langsung ada komisi baik itu ke operator tournya, ke pemilik toko dan ke pemerintah. Nah itu bisa membuat ekosistem bisnis yang lebih sustain. Program government shop itu di sentra-sentra unggulan.
Selain itu, Daniel juga mengusulkan adanya pemberian voucher belanja yang harus dibelanjakan. Misalnya, ada kunjungan kerja ke suatu sentra UMKM atau beberapa UMKM binaan BUMN diajak berpameran.
Voucher itu bisa diberikan tetapi harus dibelanjakan di toko-toko UMKM.
Membenahi UMKMyang mengalami kemerosotan produksi atau omsetnya menurun memang seperti mengurai kembali benang kusut. Untuk itu diperlukan intervensi berbagai pihak dan kolaborasi dalam konsep Pentahelix berjalan.
Yang penting diperhatikan, kata Daniel, adalah nation brandingnya UMKM Indonesia harus diperkuat. Produk UMKM juga harus punya spesialisasinya, atau keunikan. Hal ini penting untuk berhadapan dengan Tiongkok yang membawa mass product.
Selain itu, UMKM juga harus fokus pasar,dan mensegmentasikan produknya. (Ros/SG-1) Tulisan terakhir dari lima tulisan.
Hasil reportase di tiga sentra boneka di Kota dan Kabupaten Bandung ini, serta wawancara Daniel Hermawan ini bisa disaksikan juga lewat tayangan Sokoguru Xplore di kanal Youtube berjudul Menjahit Rejeki Lewat Boneka.