Soko Berita

Bonsuka, Boneka Sukamulya yang Naik Kualitas, tapi Sulit Naik Kelas

Sudah melakukan inovasi, kreativitas. Dalam pemasaran pun ikuti tren di marketplace. Namun, pasar yang jelek, tetap tidak mengangkat penjualan boneka Sukamulya.

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
12 Mei 2025
<p>Robiu Awaludin,52, pemilik usaha Pido’a Sepuh di Sentra Boneka Sukamulya. (Dok. Sokoguru/Dede Ramdani) </p>

Robiu Awaludin,52, pemilik usaha Pido’a Sepuh di Sentra Boneka Sukamulya. (Dok. Sokoguru/Dede Ramdani) 

SOKOGURU, BANDUNG- Berlokasi di Babakan Jeruk, Sukamulya, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat,  tidak sulit menemukan sentra boneka Sukamulya. Letaknya sekitar 300 meter dari kantor Kecamatan Sukamulya.

Hari belum beranjak siang ketika Sokoguru memasuki area sentra tersebut. Suasana tampak sepi ketika kami berjalan menuju sebuah rumah di jalan Babakan Caringin, no 21, Bandung. 

Di rumah berlantai dua itu terpampang plang dari spanduk bergambar kepala beruang dengan tulisan Bonsuka Bandung by Pido’a Sepuh, menjual berbagai macam boneka grosir dan eceran. 

Pertama kali melihat rumah tersebut yang terlihat justru warung sembako beras, minyak, gula. Baru di sebelahnya terpajang beberapa contoh boneka beruang, panda, bantal dan karakter boneka lain.

Baca juga: Upaya Menjahit Kembali Rezeki di Kampung Boneka Bandung

Etalase boneka tidak terlalu besar, dan tidak banyak juga boneka yang dipajang, hanya ada satu rak lemari.  Tidak terlihat juga ada pembeli di toko itu.Kemudian ada tangga menuju lantai dua, tempat empat perajin boneka (karyawan) bekerja.

Tempat produksi boneka tersebut lumayan luas. Di situ ada penjahit, pembuat pola boneka dan ada juga yang memasukkan kapas silikon ke dalam boneka.  

“Lagi sepi bu, sudah setahun terakhir ini. Apalagi dalam dua bulan terakhir paling cuma 20 pcs sehari. Makanya pekerja saya gilir bergantian masuknya,” kata Robiu Awaludin,52, pemilik usaha Pido’a Sepuh.

Ia sebetulnya menantu H. Atang Abdul Azis,70, yang memulai usahanya sebagai perajin boneka di Sukamulya tidak lama setelah sang pendiri H. Ade. 

Baca juga: Peluang Emas! Bisnis Boneka UMKM Makin Cuan di Pasar Digital

Sentra boneka  Sukamulya termasuk yang sukses di era tahun 1990-an, lalu  terus mengalami penurunan produksi, omset dan jumlah perajin. Padahal boneka yang diproduksi di kampung boneka tersebut sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) Bonsuka ISO 9001.

Sebelum menceritakan masalah penurunan produksi bonekanya, Robi, sapaan Robiu, mengisahkan sejarah perjalanan kampung boneka yang mendapatkan SNI dari Badan Standardisasi Nasional (BSN).

“Sentra ini berdiri sejak 1990-an oleh H. Ade. Masa kejayaan Sukamulya pada 1997 dengan 90-100 perajin,” katanya yang didampingi Atang, sang mertua.

Baca juga: Sentra Kerajinan Kulit Piazza Firenze Bisa Dongkrak Pariwisata Garut

Kala itu,  sambungnya, produksi boneka di Sukamulya mencapai  768.940 pcs boneka dengan keuntungan berkisar Rp2, 691 miliar. Produksi meningkat  biasanya pada hari-hari besar, seperti Lebaran,Natal, dan Tahun Baru, serta hari Valentine.

Namun ketika badai krisis moneter menerpa Indonesia pada 1998, jumlah unit usaha menurun hingga 50% hingga tersisa 50-an perajin.

Namun, sejak 2002, Sukamulya mulai meredup. Hanya tersisa 17 unit usaha (pemilik usaha). Namun begitu, pada 2009, Wali Kota Bandung Dada Rosada tetap meresmikan Sukamulya menjadi satu dari enam sentra industri di Kota Bandung yang berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kota tersebut.

 

Dok. Sokoguru/Dede Ramdani

 

Meski sudah diresmikan menjadi sentra, kampung boneka Sukamulya terus mengalami penurunan produksi hingga pada 2016 hanya tersisa tiga unit usaha. Padahal menurut sensus 2012 yang dilakukan Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung di sentra boneka Sukamulya, masih ada 9 unit usaha.

Ketika Sokoguru mengunjungi kawasan itu, keadaan masih sama hanya tinggal tiga pelaku usaha yang memproduksi boneka. 

Bahkan usaha sang pendiri (H. Ade) pun  benar-benar tutup, karena tidak ada keluarganya yang meneruskan usahanya.

Sempat diteruskan oleh menantunya Kiki Junaed, tetapi itupun tidak bertahan dan akhirnya betul-betul tutup.

Sokoguru memilih menemui Robi berdasarkan rekomendasi Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung yang memang membina sentra boneka Sukamulya. 

Sebagai menantu, Robi baru berkecimpung di bisnis boneka pada 2010. Ia mengatakan penurunan usahanya sudah terasa jauh sebelum pandemi covid-19. 

“Boleh dibilang sejak muncul belanja online dan marketplace. Awalnya kita masih ikut arus jualan dengan menggunakan marketplace, dan lumayan untung. Tetapi lama-lama tidak ngangkat juga,” ujarnya.

Kegiatan produksi di Sukamulya, sambung Robi, berdasarkan pemesanan dari pihak luar. Jumlah pemesan itulah yang terus mengalami penurunan. 

Robi pun menuturkan pada awalnya toko online shopee hanya minta 2,5% sampai 5%. Di situ harga masih aman. Tetapi selanjutnya, Shopee memotong 18%. Hal itu menyebabkan pembeli berkurang dan lama-lama  tidak ada. 

“Kita kalau jor-joran juga sama saja ngebakar uang,” tambahnya.

 Robi pun memberi contoh reseller yang membeli produknya  seharga Rp50.000. Lalu dijual lagi Rp65.000 lewat Shopee. Nah, si reseller itu dipotong 18%. Belum lagi membiayai iklan, packing dan adminnya Shopee. Lama kelamaan reseller malas berjualan karena untungnya tipis.

“Kalau saya jualan lewat Shopee boleh juga, tapi kan kebijakannya sama juga kena 18% juga. Makanya toko  di Shopee saya  tutup juga.

Karena capek kerjanya hasilnya tidak memadai,” imbuhnya.

Namun begitu, Robi tetap memasarkan produk bonekanya  lewat reseller yang satu - dua orang masih bertahan dengan pemesanan 20 pcs per minggu.

“Itu kondisi usaha saya dua bulan terakhir ini.  Dalam seminggu ada 20 biji. Seminggu 10 biji saja kita masih bertahan. Jadi prosesnya sekarang yang kerja itu saya gilir.  Sehari masuk, sehari libur.”

 

Robiu Awaludin bersama H. Atang Abdul Azis. (Dok. Sokoguru/Rosmery)

Pasarnya jelek

Ketika ditanya apakah berkurangnya order yang masuk akibat kurangnya kreativitas, inovasi dari perajin, dan cara pemasaran gaya lama, Robi secara tegas membantah. Pasalnya, ia terus menggali kreativitas. 

Ia melakukan inovasi pada produk mengikuti zaman, begitu juga dalam hal pemasaran turut ambil bagian di marketplace.

“Contohnya, ada pemesanan custom. Itu salah satu menguji kreativitas kita juga. Tetapi kreativitas setinggi apapun, kalau pasarnya jelek, tetap saja nggak ngangkat. Misalnya, pernah ada custom boneka  konferensi Asia Afrika 200 pieces. Itu juga kan termasuk kita berinovasi, membuat yang baru,” tambahnya.

Sebelum bulan puasa lalu, kata Robi, pemesanan lumayan banyak masuk dari  Elok Hotel sebanyak 100 pcs. 

Sewaktu Pilkada khusus  di Jawa Bara, KPU juga memesan 300 pcs sampai 400 pcs dengan boneka yang didesain khusus.

Namun masalahnya, kata Robi, sebagian besar pemesan tidak mau membayar biaya desainnya. Padahal biaya desain atau pola awal itu mahal, bisa Rp500 ribu per desain.

“Sering kali kita keluar modal dulu untuk biaya desain awal.,” ujarnya.

Namun begitu Robi mengaku sejauh ini pembayaran ke pihaknya relatif lancar. Tidak seperti temannya saat sebelum covid dulu ada yang belum dibayar sampai sekarang, padahal jumlahnya lumayan besar.

 “Maka itu waktu KPU  pesan, kita selektif juga. Kita pastikan siapa pemesannya. Karena bukan cuma melalui tangan pertama, bisa sampai tangan keempat. Jadi kadang tidak bisa dipegang. Ada down payment (DP) di muka sih, tetapi kadang-kadang terakhirnya sudah tidak dibayar,” tuturnya lagi. 

Pak Robi adalah pelaku usaha generasi kedua. Ia meneruskan usaha mertuanya H. Atang Abdulazis. Di Sukamulya, sambungnya kini tersisa tiga pelaku usaha yakni Motekar milik Bu haji Eti, Ivi Boneka milik Ibu Yuli  dan Pido’a Sepuh yang dijalani Robi saat ini.

Sebetulnya untuk disebut sentra minimal ada lima unit usaha, untu itu 

Sebetulnya ada anak Haji Atang yang membuka bisnis boneka sendiri, tetapi akhirnya tutup juga dan beralih ke profesi lain, menjadi karyawan di sebuah perusahaan.

“Tapi merek SNI nya sama semua Bonsuka, singkatan Boneka Sukamulya. Semua boneka yang diproduksi oleh tiga pelaku usaha ini memakai label Bonsuka,” ujarnya lagi.

Menurutnya waktu itu ada kebijakan dari Disdagin Kota Bandung semua produk boneka di Sukamulya memakai satu label merek. Para perajin pun setuju memakai  Bonsuka.

 “Ternyata pas SNI turun, pasar turun juga. Harusnya kan naiki ya, karena kan ada SNI,” tambahnya sambil menujukkan  merek yang dijahit dipinggir boneka.

Di label itu tertulis, tidak digunakan untuk anak di bawah usia 1 tahun.

 

Sejak covid belum pulih

Lebih lanjut, Robi mengatakan pada saat terjun di bisnis boneka pada 2010 omset sudah menurun, tetapi di Sukamulya masih ada 20-an pelaku usaha.

Pada saat itu ia masih mendapat pesanan dari dari luar Bandung  yakni Batam. Sampai 2015 masih ada peningkatan. Omset yang didapat Robi   di angka Rp25 juta- Rp30 juta per bulan.

“Pada 2020 pas pandemi covid  sekaligus mulai rame-ramenya lagi online, marketplace. Sebetulnya pada 2015-an online sudah mulai masuk. Tapi orang belum percaya. Soalnya sebelum ada marketplace, banyak penipuan. Jadi banyak konsumen masih belum percaya.”.

Di tahun 2016-2017, menurut Robi,  marketplace naik. Ia awalnya masuk  lewat Bukalapak.  Lalu  Bukalapak jatuh, datanglah Shopee yang gencar membakar duit. 

“Selama dua tahun itu setiap hari satu reseller bisa laku 100 pcs boneka. Jadi kita harus stok barang. Dari saya harga Rp50 ribu pe pcs, reseller bisa jual Rp75 ribu per pcs. Saat itu ada lima reseller bisa menjual 500 pcs boneka setiap hari. Saya bisa dapat Rp50 juta sampai Rp70 juta,” tuturnya.

Robi mengatakan rata-rata resellernya ambil keuntungan Rp15 ribu sampai Rp20 ribu per pcs. Belum lagi jika mereka kreatif, boneka polos dari Robi dimodifikasi lagi dan reseller bisa menjual dengan harga lebih tinggi lagi. 

Tetapi kesuksesan yang dialami Robi itu hanya bertahan 7 sampai 8 tahun. Kini ia dan empat perajinnya hanya membuat 20 per minggu dalam dua bulan terakhir ini.

Karyawannya pun hanya mendapatkan upah Rp300 ribu sampai Rp500 ribu per minggu. 

“Saya usahakan mereka dapat upah Rp500 ribu per minggu biar dapat Rp2 juta sebulan. Tapi order kan harus banyak juga.  Sekarang ini mereka dapet Rp250 ribu sampai Rp300 ribu seminggu. Berarti sebulan sejuta dengan waktu kerja mulai pukul 08.00 sampai Pukul 16.00 WIB.

Perbaiki ekonomi

Robi menambahkan, biasanya tiap kali menjelang lebaran biasanya di hari ke-10 Ramadan ia sudah mengirim pesanan ke luar kota. Namun pada Ramadan lalu betul-betul tidak ada.

“Sekarang mah nggak ada,” ujarnya.

Robi mengatakan pesanan terbanyak masih boneka beruang. Ada juga yang custom, seperti  boneka Dino kuning, dan Ipin Upin.

Meski mengalami penurunan, Robi merasa bersyukur masih bisa bertahan, karena ada beberapa perajin lain sudah tutup dan menjual mesinnya.

Robi masih berharap sentra boneka Sukamulya berkembang lagi, karena produk yang dihasilkan berkualitas. Itulah sebabnya agak mahal. Boneka Bonsuka memang terasa lembut, isiannya kapas silikon, jahitannya pun kuat.

“Saya ada kerja sama sedikit mengerjakan merek lain yang dijual lewat online yakni Sweeties. Dia custom Jadi nggak pake label Bonsuka,” katanya.

Kini Sentra boneka Sukamulya hanya memiliki tiga pelaku usaha yang bertahan. Di era kejayaannya sentra itu pernah memproduksi 768.940 pcs boneka  per hari  dengan meraup keuntungan berkisar Rp2, 691 miliar. Mungkinkah era itu bisa terulang?

Robi hanya berharap pemerintah dan pihak manapun untuk memperbaiki perekonomian di tanah air.

“Harapan saya tidak muluk-muluk, tolong perbaiki ekonomi, supaya daya beli masyarakat naik lagi. Kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Apapun yang kita kerjakan, apapun yang kita produksi, suatu saat pasti ada pembeli,” tutupnya. 

Menanggapi kondisi terkini di sentra boneka Sukamulya, Ketua Tim Pengembangan Sumber Daya Industri Disdagin Kota Bandung, Sinta Rohani, mengakui terjadi penurunan jumlah perajin seiring perkembangan waktu.

Namun, ujarnya, pihaknya selalu membantu mempromosikan produk-produk para perajin.

“Misalnya ada pameran, mereka tinggal bawa barangnya. Semuanya free, mereka tinggal berjualan,” ujarnya.

Ketika ditanya apakah semakin tergerusnya unit usaha di sentra boneka Sukamulya karena tidak mampu memenuhi permintaan pasar, Sinta mengatakan, persoalannya pada hak cipta.

Menurutnya,  kebanyakan perajin membuat beruang, badak, Hallo Kitty. Pernah ada order dari Kalimantan boneka lebah. Tetapi ketika para perajin akan berinovasi, terkendala pada hak cipta. Akhirnya kembali lagi ke boneka beruang hitam atau putih.

“Mereka sempat berinovasi, ingin membuat boneka yang lain-lain tetapi  mereka terkendala hak cipta. Kalo mereka mau bikin kayak boneka-boneka yang ada di film kartun kan mereka harus izin aak ciptanya. Mereka tidak bisa bikin sembarangan. Akhirnya balik ke basic, ya beruang,” kata Sinta. 

(Ros/SG-1) Bersambung