Di gang ini, pintu dibuka, orang-orang tersenyum, melambaikan tangan, memberi salam. Dari pintu yang terbuka itu, tampak laki-laki juga perempuan tengah menjahit dan menggesek benang berwarna warni, menjadikannya kain rajut.
Tak hanya itu, di sana juga terdapat homestay untuk melayani pengunjung yang ingin bermalam sekaligus belajar merajut. Inilah Kampoeng Rajoet, dari sebuah gang padat penduduk, menjadi wisata sentra ekonomi di Binong Jati, Bandung.
Sentra rajut Binong Jati adalah terbesar yang ada di Bandung. Motor penggeraknya adalah anak muda yang ingin menjadikan kawasan ini bukan sekedar produksi rajutan biasa. Anak-anak muda generasi ketiga ini tengah bermimpi menjadikan Binong Jati menjadi kawasan yang berbeda sebagai pusat wisata sekaligus edukasi.
Salah satu pemuda penggerak Binong Jati adalah Eka Rahmat Jaya (31), ia sudah lama meninggalkan kerja kantorannya, semua semata-mata untuk Binong Jati.
Eka punya brand rajutnya sendiri, dia namakan Karimake. Plangnya terpangpang jelas ketika saat masuk Gg. Masjid di Kawasan Binong Jati, Ibrahim Adjie, Bandung.
Sebenarnya Eka bisa saja mengembangkan segalanya untuk Karimake, toh hasilnya akan membuatnya menjadi pengusaha muda terpandang. Tapi, ada alasan lain yang membuat Eka akhirnya swadaya mengkaryakan anak-anak muda, perajin, bahkan sampai pedagang-pedagang lain yang hidup di daerah ini.
Sentra Yang Menghidupi Seluruh Masyarakatnya
Sebagai kawasan sentra, tentu bukan sekedar masalah ekonomi saja. Tapi juga persoalan sosial, seperti persaingan antar perajin, persoalan tuntutan hidup, hingga fasilitas pendukung kerja.
Ada banyak fenomena di mana sentra ditinggalkan generasi penerusnya. Mereka lebih memilih kerja kantoran, atau memilih untuk menggeluti hal lain, di luar bisnis yang sudah melekat dalam keluarga ataupun lingkungannya.
Pada akhirnya, pembicaraan tentang sentra sering berakhir kepada siapa yang punya, dan siapa yang tidak. Ia yang memiliki akan melanjutkan usahanya, dan dia yang tidak, akan mencari peruntungan lain.
Ini jadi sangsi bagi Eka. “Yang gak punya rajut, harus juga bisa hasil di sini” tuturnya. Bersama Kampoeng Rajoet, Eka mengembangkan kampung wisata dan edukasi. Jadi, orang datang ke Binong Jati bukan sekadar mencari rajut yang bagus, tetapi bisa belajar merajut dan jalan-jalan dengan nyaman.
Dengan sistem yang menguntungkan segala pihak, Kampung Rajut punya pembagian tugasnya masing-masing. Bagi dia yang muda, tak punya mesin rajut, dia bisa menjadi guide untuk wisatawan yang rutin datang berbus-bus ke Binong Jati. Lalu, bagi dia yang punya jiwa kreatif lebih, ia bisa menjadi desainer, content creator untuk Kampung Rajut.
Eka menggenjot sentra rajut Binong Jati masuk dalam market digital. Tujuannya untuk mendongkrak ekonomi sekaligus promosi Binong Jati.
“kalau orang tuanya handal membuat rajut, maka anak-anaknya harus handal dalam brandingnya. Kalau orang tuanya dulu menjual rajut dari rumah ke rumah, dari pasar satu ke pasar lainnya, maka anaknya harus bisa marketing ke dunia daring.” tutur Eka.
Bagi dia, kehadiran Kampung Rajut adalah mengoptimalkan potensi yang ada di tiap-tiap individu Binong Jati. Mau di Angkatan berapapun, mau dari lapisan sosial manapun.
Dari Tenteng Menuju Online
Anak-anak muda yang dibagi-bagi tugas itu kemudian menjadi penghuni bagi ekosistem bisnis Binong Jati. Ada paket wisata, ada paket edukasi, sampai penginapan. Tentu ini menghidupkan juga warung-warung makan di sekitarnya.
Mulai dari pasar yang kecil, sampai toko-toko besar di Tanah Abang di Jakarta ataupun Pasar Baru di Bandung.
Dahulu, penjualan rajut sistem tenteng ini sering berujung kepada retur barang. Entah yang digelar di pasar Cirebon, ataupun yang dititipkan ke toko-toko.
Bahkan, saat itupun, dalam sebuah pendataan yang dilakukan AIR pada kisaran tahun 2008/2009 (Asosiasi Industri Rajut Binong Jati), satu sentra ini diakumulasikan bisa menghasilkan 1 Miliar perharinya.
Namun tentu dengan pasar-surutnya pasar dan terbatasnya target market membuat omzet sentra ini sering kembang kempis.
Berbeda dengan apa yang terjadi hari ini. Eka bersama kawan-kawannya di Kampoeng Rajoet dan Galleraj menjalankan bisnis dengan sistem yang amat canggih.
Bagi mereka yang masih kesulitan untuk memasarkan barangnya, maka dia bisa kirim ke sini. Lalu dijualkan lewat e-commerce. Tak main-main, dari mulai analisis pembeli, konten, sampai customer service digelar di sini.
Lebih dari 1000 paket dari Binong Jati dikirim setiap harinya ke pelanggan. Eka bersama timnya, di Kampoeng Rajoet dan Galleraj (Galeri Rajut), membuka sebuah saluran untuk para perajin di Binong Jati.
Tiap hari di Kampoeng Rajoet hilir mudik ekspedisi pengiriman barang untuk berbagai daerah di Indonesia.
Eka melawan terjal saat banyak pengrajin meragukan langkahnya. Namun, gagasan itu kini berbuah dan hampir 400 perajin rutin menyetor barang ke sini, untuk kemudian dikirimkan ke seluruh Indonesia, bahkan sampai pasar Amerika dan Kanada.
Someah Hade Ka Semah
“Kalau orang nyaman, pasti membeli, kalau orang suka, pasti betah”, tutur Eka. Di sini, ia memberi kode etik: Someah Hade Ka Semah. Kita mengenalnya seperti budaya 5S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun).
Pastikan pintu dibuka, siapapun tamu yang datang, maka tersenyumlah, sapalah. Tamu-tamu yang dituntun guide menjelajah gang-gang kecil di mana benang dirajut setiap hari.
Kalau tamunya datang untuk belajar, knitting school akan dibuka, ada instruktur khusus yang akan membimbing belajar. Kalau tamunya kemalaman dan butuh penginapan? Tak perlu ke hotel, karena sudah ada homestay yang tersebar di sini.
Semua ini dilakukan semata untuk menjaga nama Binong Jati. Tentu, kualitas akan selalu terjaga, juga dengan keterjangkauan harganya. Namun, soal branding inilah yang dijaga baik-baik oleh Eka.
Sentra di mana persaingan terjadi setiap harinya membuat konflik tak terelakan. Karena perajin dikumpulkan dalam satu grup Whatsapp besar, pucuk-pucuk konflik itu bisa dilihat langsung oleh Eka.
“Kalau ada masalah, mending selesaikan di sini, biar saya tengahi. Jangan sampai jadi status atau posting.” Baginya, sedikit saja percik konflik keluar, imbasnya adalah perajin-perajin lain. Jangan sampai rezeki satu sentra terhalang dari gesekan ini, terlebih sesama warga.
Karena mimpinya, suatu saat Binong Jati bukan saja jadi sentra penghasil yang mantap luar biasa. Tapi bisa terus menghidupi masyarakatnya bergenerasi kemudian.
Impian Binong Jati
Bagi Eka, apa yang dilakukannya ini bukan untuk kepentingan pribadi, tapi baginya adalah tabungan emosional untuk sebuah lingkungan lebih baik.
Mimpinya untuk kampung rajut adalah membuat Knit School, Museum Rajut, dan menyinergikan ruang pentahelix dengan masyarakat, media, peneliti, pemerintah dan perajin itu sendiri.
Hingga kini, Binong Jati masih punya masalah krusial. Akses jalan dan fasilitas umum. Mulai dari peta, sign sytem atau penunjuk jalan, dan lainnya. Bagi Eka dan kawan-kawan Kampoeng Rajoet, lambannya pembangunan bukan alasan untuk menyalahkan keadaan dan tidak berbuat apa-apa.
Gapura dibuatnya, sebagai penanda masuk wisata. Lahan parkir yang terbatas disiasati dengan bekerja sama dengan berbagai pemilik lahan. Jalanan di Gg. Masjid direnovasi dengan pavin blocks, sampai berbagai fasilitas lain yang diupayakan, dicari dananya dari berbagai pihak dengan cara yang kreatif.