KETIKA harga cabai melonjak tajam di pasar, sering kali perhatian publik berfokus pada keluhan konsumen. Namun, di balik lonjakan harga tersebut, suara petani yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pangan jarang terdengar.
Salah satu cerita itu datang dari Nurofiq, 45, petani cabai dari Desa Pasuruhan, Kecamatan Pulu, Temanggung, Jawa Tengah. Sebagai ketua Kelompok Tani Tunas Jaya Mandiri, ia tahu betul setiap lonjakan harga cabai menyimpan kisah panjang perjuangan dan kerugian yang tidak selalu dipahami masyarakat luas.
Baginya, memasuki Desember hingga Januari selalu menjadi masa penuh tantangan termasuk pada petani cabai lainnya. Curah hujan yang tinggi sering kali membawa kehancuran pada ladang mereka.
Baca juga: Harga Cabai Meroket Jelang Imlek 2025, Pembeli dan Pedagang Resah
Cabai, sebagai tanaman yang rentan terhadap kelembaban berlebih, kerap terserang penyakit, seperti busuk buah atau gagal panen akibat kondisi cuaca yang tak menentu.
“Kalau musim hujan, cabai banyak yang rusak. Produksi jadi turun drastis. Akhirnya harga cabai di pasar naik tinggi. Namun, ironisnya, ketika harga di pasar melambung, tidak semua petani menikmati hasilnya.,” kata Nurofiq saat diwawancarai Sokoguru, pada Kamis (17/1).
Cabai adalah salah satu komoditas hortikultura yang memerlukan perawatan intensif. Biaya produksi yang tinggi membuat setiap kerugian terasa sangat berat.
Baca juga: Tekan Harga, Pemkot Surabaya Pasok Cabai Rawit dari Kelompok Tani
“Per 1.000 pohon saja, modal bisa habis puluhan juta rupiah. Kalau harga cabai anjlok, kami hanya bisa pasrah,” ungkapnya.
Menurut Nurofiq, petani tidak hanya menghadapi tantangan alam, tetapi juga tekanan dari perubahan harga yang tak menentu.
Dok. wikicommons
Pada puncak panen, harga cabai di tingkat petani sering kali turun drastis, bahkan di bawah Rp10.000 per kilogram, jauh dari biaya produksi yang telah dikeluarkan.
Memotong Keuntungan Petani
Ketika harga cabai tinggi di pasar, sambungnya, tidak berarti keuntungan langsung masuk ke kantong petani. Di balik harga eceran yang melonjak, ada rantai distribusi panjang yang memotong nilai jual hasil panen.
Baca juga: Tekan Inflasi, Pemkot Bandung Gelar Tanam Cabai dan Bawang Serentak di Seluruh Kecamatan
Sebabnya, dari petani, cabai harus melalui beberapa perantara yakni mulai tengkulak, pengepul, hingga pedagang besar lalu ke pedagang kecil kemudian baru sampai ke tangan konsumen.
“Petani sering dapat harga yang kecil, sementara di pasar harganya sudah tinggi. Kami terjebak di mata rantai yang panjang,” keluh Nurofiq.
Ia dan kelompok taninya telah berusaha memotong rantai distribusi dengan menjual langsung ke pasar, tetapi langkah tersebut tidak mudah dilakukan tanpa dukungan pemerintah atau infrastruktur yang memadai.
Ironisnya, ketika pemerintah berupaya menstabilkan harga dengan mengimpor cabai atau menekan harga pasar, dampaknya justru menambah tekanan pada petani.
“Kalau ada impor, harga cabai dari petani pasti jatuh. Padahal, biaya produksi kami sudah sangat tinggi,” keluh Nurofiq.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, salah satu hal yang paling disesalkannya adalah kurangnya kebijakan dari pemerintah yang melindungi harga panen petani.
Ia pun berharap pemerintah dapat menetapkan harga minimum dan maksimum untuk komoditas cabai, sehingga petani tidak terlalu dirugikan saat harga jatuh.
“Tidak ada standar harga. Kalau harga rendah sampai Rp6.000–Rp10.000 per kilogram, kami sangat rugi. Tapi kalau harga naik tinggi, konsumen yang menjerit. Semua jadi salah kami petani,” ungkapnya.
Padahal, menurut Nurofiq, harga tinggi di pasar bukan sepenuhnya kesalahan petani. Biaya operasional yang besar, distribusi yang tidak efisien, dan kurangnya subsidi pupuk membuat harga cabai di tingkat petani sering kali tidak cukup untuk menutupi modal.
“Kalau cabai, masa tanamnya bisa enam bulan. Penyemprotan dan perawatan harus terus dilakukan. Sementara itu, pupuk dan obat-obatan mahal. Subsidi pupuk pun sulit kami dapatkan karena kuotanya terbatas,” jelasnya.
Meski pemerintah sering kali memberikan pelatihan dan bantuan alat kepada kelompok tani, Nurofiq merasa banyak program yang hanya berjalan setengah-setengah.
Sebagai contoh, kelompoknya pernah mendapatkan pelatihan dan alat pascapanen dari Kementerian Pertanian pada 2020. Sementara program lainnya ialah Food Estate. Namun, hingga saat ini, implementasi lanjutan dari program tersebut belum juga terlaksana.
“Pelatihannya bagus, tapi tidak sampai selesai. Alatnya sudah dikasih, tapi bagaimana pemasaran dan distribusinya? Kami masih harus berjuang sendiri,” katanya.
Nurofiq berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih serius pada petani, tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga pemasaran.
“Kalau ada jalur khusus untuk petani menjual langsung ke pasar tanpa perantara, harga bisa lebih stabil. Kami pun tidak harus terus bergantung pada tengkulak,” tambahnya.
Sebagai petani yang telah berkecimpung di dunia pertanian sejak usia 20 tahun, Nurofiq memiliki visi untuk mengubah nasib petani di desanya. Ia ingin pertanian di Desa Pasuruhan dapat berkembang seperti di negara-negara maju, dengan teknologi modern dan sistem distribusi yang efisien.
Namun, ia sadar bahwa semua itu membutuhkan dukungan nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah. “Kami ingin ada kebijakan yang melindungi petani, seperti harga standar untuk panen. Jangan hanya konsumen yang dipikirkan, tapi juga kami petani,” tegasnya.
Di akhir pembicaraan, Nurofiq mengingatkan, petani adalah tulang punggung pangan bangsa.
“Kami sering disebut pahlawan pangan, tapi kenyataannya kami yang paling pasrah. Kami butuh perlindungan dan kepastian, agar bertani tidak hanya menjadi pengorbanan, tapi juga membawa kesejahteraan,” ujarnya penuh harap. (Fajar Ramadan/ SG-1)