JALAN terjal membangkitkan usaha garam di Sulawesi Selatan terus ditempuh pemuda asal Gowa, Muhammad Raihan, 24. Kini ia menahkodai jenama Gowa Mas, usaha yang dirintis ayahnya sejak 2006.
Di tempat usahanya di Jalan Benteng Somba Opu, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, Raihan banting tulang menciptakan pasar bagi produk garam hasil produksinya. Ia juga kerap mengelus dada tatkala menemui banyak garam dari luar masuk di wilayahnya.
Meskipun demikian, usahanya tidak sia-sia, dalam satu bulan ia bisa meraup omzet sekitar 30-50 juta rupiah. Dengan mengandalkan pemasaran lewat pasar tradisional serta ekspansi ke pasar di Sulawesi Barat dan Tengah. Akan tetapi, pencapaian itu belum sesuai harapan.
Baca juga: Lampaui Target, Produksi Garam Nasional 2023 Capai 2,5 Juta Ton
“Saya meneruskan usaha garam ini karena sadar akan dua hal krusial, pertama kemampuan bapak saya dalam memasarkan produk. Kedua, ada keinginan untuk membuka pasar seluas-luasnya agar produk garam lokal bisa berjaya di rumah sendiri, sehingga petani garam bisa kena dampaknya juga,” ujarnya saat dihubungi Sokoguru Selasa (23/4).
Belum lagi, sambung Raihan, kondisi pendapatan petani garam ini pernah saya teliti sebagai tugas akhir sarjana. Sehingga, dorongannya makin kuat untuk menyejahterakan petani garam.
Namun, pria yang mengecap pendidikan tinggi ini dilanda keresahan. Pasalnya, produk-produk yang tersebar di hampir semua toko ritel di Sulawesi Selatan justru dikuasai produk-produk luar Sulawesi. Dihadapkan kenyataan itu, Raihan tak tinggal diam, ia pun berusaha keras agar produknya lah yang tampil di toko ritel tersebut.
Baca juga: KKP Beri Pendidikan Gratis dengan Kuota 100% dari Kalangan Nelayan, Petambak Garam
“Ketika saya mendaftarkan ke ritel, dari segi birokrasinya saya dilempar-lempar, sampai akhirnya saya dibikin bingung sendiri. Tapi, saya terus mencoba lagi,” imbuhnya.
Produksi melimpah pasar tertutup
Lebih lanjut, Raihan menjelaskan, petani garam di Sulawesi Selatan itu bisa menggarap sampai 100 ton per hari, tapi dengan keadaan pasar yang sudah terlebih dahulu diekspansi produk luar usaha kerja petani itu percuma.
“Kendala pasar menjadi permasalahan serius bagi para petani garam, akses pasar yang sulit diakui olehnya membuat produk lokal kalah bersaing,” ujarnya lagi.
Sementara itu, dengan keadaan pasar yang sulit, petani pun tak mau buntung. Kondisi demikian akhirnya membuat banyak para petani garam yang beralih profesi menjadi petani rumput laut.
“Ibaratnya ketika garam dikatakan krisis tapi produk garam lokal tak diinisiasi, petani pun resah sendiri bilamana garam yang hasil panennya tak bisa masuk ke pasar,” imbuhnya
Butuh perhatian stakeholder
Swasembada pangan memang digaungkan. Tiap daerah diharapkan menjadi penghasil bahan pangannya sendiri. Namun, berbeda dengan Sulawesi Selatan, khususnya komoditas garam. Meski melimpah tapi pasrah di daerah sendiri.
Raihan mengaku mimpinya menyejahterakan petani garam baru bisa terwujud bila ada peran pemerintah atau stakeholder terkait untuk mengatur pasar bilamana jika tujuannya adalah swasembada.
“Saya tidak ada pikiran produk luar harus ditarik, minimalnya pasar yang tersedia bisa diakses. Dalam berbisnis tentu ada kegiatan bersaing agar kita punya kepastian pasar, toh konsumen punya pilihan tersendiri untuk membeli produk jenama apa,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia pun tak ingin potensi garam di Sulawesi Selatan tutup usia karena permasalahan ini. Alih profesi para petani garam yang marak, membuat ia terus menyuarakan kapan diwujudkannya swasembada garam di Sulawesi Selatan.
“Harapannya, ada tindakan dari stakeholder untuk memaksimalkan produk lokal agar akses pasar mudah dan diprioritaskan dibanding produk dari luar pulau. Tentu hal tersebut akan berdampak secara ekonomi tak hanya pada pengusaha garam, para petani pun ikut terbantu,” pungkasnya. (Faj/SG-1)