Kuliner

Kisah Kios Abon Ibu Achmad: Bertahan dari Masa Kolonial Hingga Pandemi di Pasar Kosambi

Kios Abon Bu Achmad mempertahankan metode produksi manual menggunakan alat tradisional, Halu dan Jubleg, demi menjaga keaslian cita rasa abon. 

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
13 November 2024
Kios Abon Ibu Achmad yang berada di Pasar Kosambi, Kota Bandung, telah melewati berbagai zaman, dari masa kolonial hingga pandemi. (SG/Fajar Ramadan)

DI sebuah kios kecil di lantai dasar Pasar Kosambi, Kota Bandung, Jawa Barat, seorang perempuan berusia 56 tahun duduk di kursi hitam, dikelilingi toples-toples berisi abon sapi, ayam, dan ikan. 

 

Nenden, dengan busana kuning tua dan kacamata cat eye coklat, memandangi pasar yang kini sepi, sesekali melirik gawainya sambil menanti pelanggan setianya. 

 

Usahanya memang tak lagi ramai seperti dulu, tetapi Nenden yakin rezeki telah diatur yang Kuasa.

 

Baca juga: Nostalgia Pasar Kosambi: Jejak Sejarah dan Romantisme di Tengah Modernitas Bandung

 

Nenden adalah generasi kedua penerus Kios Abon Ibu Achmad, usaha yang dimulai orang tuanya, Anna Kusmah dan Achmad Adipoera, sejak 1942. 

 

Cita Rasa Abon Warisan Turun-Temurun

 

Dengan mengandalkan cita rasa khas abon yang diwariskan turun-temurun, Kios Abon Ibu Achmad telah melewati berbagai zaman, dari masa kolonial hingga pandemi. 

 

“Kios abon inimah, sebelum Pasar Kosambi jadi gedung udah ada, orang Belanda masih ada di sini,” kenang Nenden yang bertutur kepada Sokoguru.id, pada Rabu (13/11).

 

Kios Abon Ibu Achmad selalu ramai dikunjungi pembeli. (SG/Fajar Ramadan)

 

Perjalanan usaha abon ini bermula dari eksperimen sederhana orang tua Nenden. 

 

Awalnya mereka mencoba membuat gepuk—daging tumbuk yang lembut—namun, setelah proses menumbuk lebih lama, daging itu berubah menjadi serabut halus yang kini dikenal sebagai abon. 

 

Hingga kini, Nenden mempertahankan metode produksi manual menggunakan alat tradisional, Halu dan Jubleg, demi menjaga keaslian cita rasa abon. 

 

Baca juga: Rempha Resto Sajikan Sensasi Kuliner Autentik Asia Tenggara di Bandung

 

“Dulu belom abon itu namanya sawud,” jelasnya, sambil tersenyum mengenang istilah lawas yang dulu dipakai.

 

Langganannya Termasuk Orang Belanda

 

Pada masa kolonial, pelanggan mereka tidak hanya warga lokal, tapi juga orang-orang Belanda yang bermukim di Bandung. 

 

Bahkan, demi melayani pelanggan asing, orang tua Nenden belajar fasih berbahasa Belanda. 

 

Hubungan akrab ini berlanjut hingga masa pandemi, ketika permintaan dari Belanda tetap berdatangan, bahkan sampai anak-cucu pelanggan setia mereka yang dulu. 

 

Meneer-meneer yang dulu langganan tuh, mereka beranak-cucu, sampai sebelum Covid-19 mereka masih pesan abon dari sini dan dikirim ke Belanda,” ujar ibu dua anak ini dengan bangga.

 

Baca juga: Menikmati Kuliner Lezat dan Instagramable di Bandung: Dua Tempat yang Wajib Dikunjungi

 

Tahun 2010-an menjadi periode gemilang bagi Abon Ibu Achmad. Mereka aktif mengikuti pameran kuliner di Belanda, membawa abon sapi hingga dua kuintal dengan harga 3,5 euro per ons. 

 

Sayangnya, ekspor harus berhenti sementara saat pandemi melanda. 

 

Kini, pesanan internasional berkurang, meskipun sesekali masih ada permintaan dari Singapura dan Brunei. 

 

“Sekarang cuma ngandelin pelanggan lokal. Kalau ekspor, sekarang dikit-dikit aja,” ungkapnya.

 

Meski menghadapi tantangan, Nenden tak pernah berhenti berinovasi. 

 

Ia memperluas produk abon, dari yang tadinya hanya abon sapi menjadi abon ayam dan tuna, bahkan menambahkan varian rasa manis dan pedas untuk menjangkau lebih banyak selera. 

 

Di kiosnya, harga abon sapi kini Rp 400 ribu per kilogram, abon ayam dan tuna Rp 300 ribu per kilogram, dengan berbagai produk lain seperti dendeng sapi, kripik paru, dan kornet jadul.

 

Namun, omzet harian Kios Abon Ibu Achmad kini jarang mencapai Rp 500 ribu. Nenden menduga daya beli masyarakat yang menurun turut mempengaruhi. 

 

“Beres pandemi pasar makin sepi, tapi gak sesepi ini. Beres pemilu makin sepi, gak bisa dapet 500 ribu teh, jualan lagi parah,” tuturnya.

 

Nenden memiliki keyakinan bahwa usaha yang diwariskan orang tuanya akan terus bertahan. 

 

Kisah Kios Abon Ibu Achmad adalah bukti ketangguhan dan adaptasi, dari masa kolonial hingga era digital, mengukuhkan dirinya sebagai saksi perjalanan sejarah Pasar Kosambi dan Bandung sendiri. (Fajar Ramadan/SG-2)