MASYARAKAT Indonesia hidup beriringan dengan cerita rakyat. Sejak belia kita sudah disuguhkan banyak kisah tentang Sangkuriang, Situ Bagendit, dan berbagai folklor yang tidak bisa ditemui di tempat manapun.
Hal tersebut merupakan kekayaan lokal yang memiliki nilai lain bagi masyarakat dunia. Story telling tak hanya berlaku di sektor film semata, kemampuan itu juga bisa dimanfaatkan untuk membangun sebuah brand usaha.
Hal itu disampaikan Creative Produser, Bobbie Rendra dalam helatan Patrakomala Coffe Club (PCC), di Kamidaka Coffee, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (25/9).
Baca juga: Melalui Bandung Gerakan Sinema, Kota Kembang Siap Jadi Pusat Industri Film Nasional
Acara bertajuk Kreativitas Lokal, Potensi Global yang membahas secara mendalam penulisan kreatif di industri film itu diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung.
Helatan tersebut merupakan ajang diskusi publik yang secara konsisten seminggu sekali dengan menyasar pelaku 17 sektor ekonomi kreatif di Kota bandung. Pada kegiatan kali ini dihadiri oleh 20 pelaku ekraf sektor film.
“Mengapa story telling penting? Hal itu berkaitan dengan bagaimana kita mempengaruhi orang, mengubah suatu keadaan, dan mengevolusikan cerita tertentu sehingga dapat beririsan dengan publik,” ujar Bobbie.
Baca juga: Film Dokumenter Kisah 25 Tahun Perjalanan Penyanyi Rossa Diluncurkan
Ia juga menegaskan bahwa segala sesuatu bisa menjadi cerita. Banyak cerita yang bagus, tetapi yang perlu ditekankan adalah yang memang relate dengan publik.
“Berbicara bagaimana film bisa dikreasikan, tidak sekadar tontonan belaka, melainkan jadi sarana promosi kita bisa melihat film seperti Filosofi Kopi dan Fast & Furious 9,” imbuhnya.
“Pasar bisa difilmkan, film bisa dipasarkan. Itu yang dilakukan kedua film tersebut,” ungkap pria yang pernah terlibat dalam ruang produksi film Gundala itu.
Baca juga: Film “Sisa Satu” Karya Alumnus Fikom Unpad Tayang di Milan, Italia
Lebih lanjut, Bobbie mengatakan, Film Filosofi Kopi, jelasnya, telah sukses membuat penontonnya hanya menonton iklan dari sebuah kedai kopi. Dengan menggunakan film, penonton langsung lebih dekat dengan kedai tersebut.
“Contoh kedua, film Fast & Furious. Film tersebut awalnya tak diperhatikan oleh beberapa produsen mobil. Pada Fast & Furious 7 Lamborghini menjadi sponsor, Ferrari tidak mau. Tapi karena booming dan berpengaruh pada brand tersebut, akhirnya semua produsen mobil ikut andil,” kisahnya.
Lebih lanjut, dengan menggaet produsen mobil sport terkemuka di dunia, akhirnya film Fast & Furios 9 mengantongi nilai sponsor yang sudah menutupi biaya produksi sepenuhnya, bahkan sebelum film itu ditayangkan.
Dalam kesempatan yang sama, Praktisi Script Writer & Director, Roberto Rossendy, mengungkapkan, story telling pun mampu diaplikasikan tak hanya dalam produk audio visual saja, tetapi juga untuk membangun sebuah brand.
“Pijak Bumi, merupakan brand sepatu yang sukses menarik perhatian publik dengan caranya bercerita. Mereka mampu menjelaskan kepada publik secara relate, mengkritik industri fast fashion dengan cerita tentang sepatu yang ramah lingkungan,” jelasnya.
Kemudian Roberto juga mencontohkan HMNS, sebuah jenama parfum yang mampu menceritakan kepada publik tentang aroma parfumnya tanpa harus mencobanya dahulu.
“Di sanalah kekuatan dari story telling. Saya sendiri selalu mensyaratkan dalam membuat cerita yaitu bagaimana cerita itu berevolusi serta relate dengan publik,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan perbedaan efek dari penggunaan kalimat antara ‘Didi jangan merokok’ dan ‘Dulu om Didi meninggal karena kanker paru-paru, kamu masih mau merokok?’.
“Story telling kerap berhasil menyampaikan pesan tidak secara langsung, tapi membawa dulu publik pada kenyataan empirik yang menggerakan hati mereka,” pungkasnya. (Fajar Ramadan/ SG-1))