TEH (Camellia sinensis) memiliki tempat istimewa di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa hingga Asia, meskipun di Indonesia tradisi ini masih perlu ditingkatkan. Membahas teh berarti menjelajahi aroma, cita rasa, dan beragam pertemuan sosial.
Afternoon tea, tradisi minum teh yang berakar dari Inggris, menjadikan teh sebagai medium pertemuan sosial. Dalam hal cita rasa dan aroma, peran seorang tea blender sangat krusial, menciptakan keselarasan antara alam dan lidah dengan kekayaan rasa dan aroma yang mewah.
Saat memasuki kantor Havilla Tea, aroma bunga dan teh langsung menyambut dengan hangat, diiringi alunan musik jazz yang memperkaya suasana. Di ruang bergaya minimalis tersebut, terdapat workshop dengan latar ratusan kemasan teh berbagai varian, serta meja panjang tempat Havilla Tea mengedukasi para peserta yang memiliki minat tinggi pada teh.
Pada pukul 11.00 WIB, meski belum saatnya afternoon tea, obrolan antara Sokoguru dan Havilla Tea dimulai dengan secangkir teh varian Queensberry Voyage dari jenama lokal artisan asal Bandung ini.
General Manager Havilla Tea, Irine Sugiarto pun, mengisahkan, latar belakang jenama tersebut, mengungkap kiprah Havilla Tea yang hampir satu dekade mengeksplorasi teh lokal Indonesia.
Sosok di balik perjalanan Havilla Tea adalah Neysa Valeria, perempuan pengusaha asal Bandung yang hatinya telah tertambat pada minuman aromatik itu semasa ia muda. Sekitar 12 tahun lalu, lembar kisah Nesya dan teh dimulai.
Kecintaannya terhadap teh bermula kala Neysa membutuhkan teman minum selain kopi ketika begadang. Untuk membantu ia tetap terjaga, teh lah yang menjadi teman sehari-harinya.
“Pada waktu itu, saya menyeriusi blog tentang teh yang saya mulai di tahun 2011. Lalu pada 2012 itu makin rajin nulis lah. Saya bikin review tentang teh yang bisa saya temuin aja. Nah, pada tahun-tahun itu kan memang di Bandung tuh kafe-kafe juga mulai bermunculan dan mereka mulai menyajikan teh yang nggak cuma teh lokal, tapi banyak jenama dari luar negeri,” kisahnya kepada Sokoguru.
Baca juga: Kementan Lepas Ekspor Kelor, Kelapa, Teh ke Tingkok, Yordania, Turki dan Rusia
Pada momen tersebut, Neysa menemukan sesuatu yang berbeda pada teh-teh yang ditemuinya. Pengalaman itu, ia angkat pada tulisan-tulisan di blognya Neysa for Tea.
“Kemudian di pertengahan 2012 itu saya berkesempatan untuk melanjutkan studi pascasarjana di La Trobe University di Melbourne, Australia. Saat itu, sebenarnya saya belajar marketing manajemen, tapi di sana ternyata kesukaan saya terhadap teh itu terfasilitasi. Dalam arti ternyata di sana dunia kafenya, walaupun di sana lebih ke kopi, udah berkembang gitu, lebih maju daripada kita di sini pada waktu itu. Dan di sana tuh walaupun teh tidak segitunya, tapi tetap aja dapat perhatian khusus lebih,” imbuhnya.
Inspirasi dari T2 Tea Australia
Di Negeri Kanguru itu, Neysa melihat ternyata jenis teh itu jauh lebih banyak, jauh lebih kaya daripada apa yang kita tahu selama ini,” kenangnya.
Melihat industri teh di Australia lebih maju daripada di negerinya sendiri, Neysa pun terpantik untuk mengeksplorasi lebih jauh teh-teh yang ada. Di sana ia semakin terpana begitu melihat berbagai produk teh dengan varian berbeda yang ada di pasar swalayan (supermarket) atau cafe.
Bahkan salah satu toko teh yang lumayan terkenal di sana yakni T2 Tea Australia, menumbuhkan dorongan kuat dalam dirinya untuk menjadi spesialis teh.
“Ketika saya masuk ke tokonya, kayak magic gitu buat saya, magical,” kenang Neysa.
Ia mengaku terpesona dengan cara T2 menyajikan berbagai jenis teh dalam kemasan kotak yang rapi dan menarik. Pengalaman itu membuka matanya bahwa teh bisa dikreasikan dan dipasarkan dengan cara menarik dan berbeda.
“Walaupun pada akhirnya approach-nya Havilla itu juga beda gitu, cuman menginspirasi saya bahwa ternyata di dunia teh itu begitu kaya dan banyak banget yang bisa kita explore dan buat kita sajikan ke orang-orang supaya orang-orang juga bisa jatuh hati sama teh,” ungkapnya.
Memulai usaha teh
Melihat teh memiliki potensi yang luar biasa, ia mulai memikirkan bagaimana cara membawa teh berkualitas ke Indonesia. Pada tahun 2013, Neysa memutuskan untuk fokus pada teh dan berikrar pada dirinya sendiri untuk menjadi spesialis di bidang teh.
“Saya pengen jadi spesialis di bidang teh. Saya pengen belajar, saya ingin mendalami, karena saya suka banget dan ada misi yang pengen saya bawa, intinya bahwa saya juga pengen teh yang bagus itu bisa terekspos dan dinikmati sama banyak orang," ujarnya dengan semangat yang tampak dari sorot matanya.
Baca juga: Masyarakat Berulang Protes, Tapi Eksploitasi Perkebunan Teh Puncak Terus Berlanjut
Hobinya menulis di blog, mengantarkan Neysa melahirkan buku For The Love of Tea yang dirilis pada 2021 dan memantapkan dirinya sebagai spesialis tea di Indonesia.
Saat ditanya, di mana Neysa menimba pengetahuan terkait teh, ia mengaku belajar secara otodidak. Ia memperoleh informasi dari internet dan long research yang dilakukannya menjadi jalan baru bagi perjalananya merintis usaha teh.
Kembali ke Indonesia pada 2014, Neysa membawa visi untuk membuat teh berkualitas dapat diakses oleh anak muda. Ia pun memulai usaha teh bernama Havilla Tea, dengan fokus pada teh lokal berkualitas tinggi.
Namun, perjalanannya tidak mudah. Ia melihat Industri teh lokal belum terbuka sepenuhnya untuk produk premium, dan banyak teh berkualitas baik lebih banyak diekspor daripada dinikmati di dalam negeri.
Di sela-sela perjuangan untuk mampu membeli teh berkualitas dalam jumlah kecil, pada 2015, Neysa kembali ke Australia untuk kembali belajar tentang teh. Hasilnya, ia mendapatkan sertifikat sebagai Tea Blender dari Australian Tea Master.
Baca juga: Hadiri the 25th FAO IGG on Tea di India, Kementan Perkuat Prospek Teh Indonesia
Pada tahun yang sama juga, Neysa menggandeng Ajeng Respati sebagai Co-Founder Havilla Tea dan mulai menjajaki arah baru dari jenama teh ini untuk menjajaki halang-rintang dalam merintis bisnisnya.
Dengan tekad yang kuat, Neysa mulai menjajaki para pemilik perkebunan teh di Jawa Barat dan membangun jejaring dengan mereka. Lika-liku perjalanannya cukup menyita banyak waktu dan biaya.
Neysa hampir tidak mengenal lelah, berbagai kegiatan yang melibatkan pelaku industri teh ia jajaki. Imbalannya, ia mendapatkan dukungan dari beberapa perusahaan teh yang bersedia menjual teh berkualitas dalam jumlah kecil. Itulah menjadi awal mula Havilla meng-highlight teh lokal dan membuatnya lebih dikenal di kalangan masyarakat.
“Ketika kita datang dengan spirit yang sama dengan mereka yang menyajikan kopi yang baik, ternyata responnya positif. Orang-orang mulai mengapresiasi teh yang bagus,” kata Neysa penuh kepuasan.
Ritel, coffee shop, hingga ekspor
Sekitar delapan tahun lalu, tepatnya pada 2016, Neysa dan Ajeng mulai membangun tim untuk membawa jenama Havilla Tea jauh lebih beken lagi. Timnya tidak diproyeksikan sebagai karyawan tetap, namun sebagai pekerja paruh waktu demi mengefektifkan pekerjaan.
Mulanya Havilla berfokus pada pasar ritel dengan menjual teh dalam kemasan kotak. Namun, ia segera menyadari bahwa untuk sustain dalam bisnisnya ia perlu merambah pasar kafe dan restoran. Ia mulai memasok teh berkualitas tinggi ke specialty coffee shop di Bandung dan kota-kota besar lainnya.
Menggunakan metode canvasing, Neysa dan timnya mendatangi coffee shop satu per satu, memperkenalkan teh mereka dengan semangat yang sama seperti coffee shop menyajikan kopi terbaik mereka.
"Ternyata untuk jual teh dengan harga relatif lebih tinggi daripada kebanyakan, itu tuh buying cycle-nya terlalu panjang," imbuh Neysa lagi.
Orang-orang yang membeli teh berkualitas tinggi biasanya mengapresiasi produk tersebut, tetapi untuk membeli ulang mereka menunggu hingga benar-benar habis. Hal itu membuat Neysa berpikir ulang tentang strategi pemasaran dan distribusi Havilla.
“Makanya, kami berpikir ini harus suplai, kita harus masukin ke kafe dan resto, dan specialty coffee shop,” jelas Neysa.
Dengan pendekatan itu, Havilla mulai mendapatkan tempat di hati para penikmat teh di berbagai kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Jogja, hingga luar pulau seperti Makassar, Manado, Lombok, Bali, dan Kalimantan.
Tidak hanya di dalam negeri, Havilla juga mulai merambah pasar internasional. Pada 2019, mereka mendapatkan distributor di Hong Kong yang membantu memasarkan produk mereka.
Baca juga: Pelaku Industri Teh Indonesia Perlu Tingkatkan Daya Saing Sesuai Tren Global
Namun, distribusi itu terhenti pada akhir 2020 akibat pandemicovid-19. dan kerusuhan di Hong Kong. Selain itu, Havilla juga telah mengirim produk mereka ke Eropa, seperti Belanda, Perancis, dan beberapa negara di Timur Tengah dan Singapura.
“Salah satu cita-cita kami adalah membawa Havilla menjadi salah satu jenama teh Indonesia yang bisa dikenal,” kata Neysa dengan penuh harapan.
Meskipun Indonesia adalah salah satu negara penghasil teh terbesar di dunia, reputasi teh Indonesia di kancah internasional masih belum sekuat teh dari negara lain seperti India atau Sri Lanka.
Banyak teh Indonesia yang diekspor sebagai bahan campuran atau filler, sehingga orang-orang tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya menikmati teh Indonesia.
Untuk menghadapi tantangan itu, Neysa dan timnya fokus pada pengembangan teh lokal berkualitas tinggi. Mereka berupaya untuk mendapatkan teh dari perkebunan-perkebunan di Jawa Barat, seperti di Ciwidey dan Lembang.
Selain itu, mereka juga menggunakan bahan-bahan pendamping lokal seperti buah dan rempah yang memberikan sentuhan khas pada produk teh mereka.
Namun, tidak semua bahan bisa diperoleh secara lokal. Beberapa bunga seperti lavender dan mawar masih harus diimpor karena belum ada supplier lokal yang mampu memenuhi kebutuhan mereka.
“Untuk saat ini belum, mungkin belum ketemu, belum dipertemukan sama supplier yang berjodoh lah,” kata Neysa dengan tawa ringan.
Mengedukasi masyarakat
Neysa menyadari bahwa bisnis teh ini bukanlah perjalanan yang mudah. Tantangan utama adalah mengubah mindset masyarakat untuk mengapresiasi teh berkualitas tinggi. Namun, dengan semangat dan cinta pada teh, Neysa yakin bahwa Havilla bisa menjadi jenama teh terkenal dan dihargai di seluruh dunia.
“Jujur ya baru ngerasa di 2017. Saya merasa Havilla memiliki prospek cerah. Dari 2014 hingga 2017, saya dan tim bekerja keras untuk memperkenalkan teh berkualitas tinggi ke pasar. Meskipun banyak tantangan, mereka tetap bertahan karena passion dan cinta terhadap teh,” jelasnya lagi..
Perjalanan panjang dan berliku penuh tantangan akhirnya menghasilkan buah manis. Saat ini bisnis Neysa mampu mencatatkan omzet ratusan juta rupiah perbulannya. Tak hanya itu, bisnis Havila pun mampu menghidupi 12 karyawan serta para petani teh lokal di Indonesia.
Dengan semangat yang sama, Neysa berharap masyarakat Indonesia bisa lebih mengapresiasi teh lokal. Ia percaya bahwa edukasi adalah kunci untuk meningkatkan apresiasi terhadap produk-produk lokal.
“Lebih kepada memantik rasa keingintahuan dan apresiasi terhadap produk-produk lokal. Dari situ nanti akan bangkit keingintahuan untuk hal-hal lainnya, khususnya teh” ujarnya.
Neysa Valeria, seorang pencinta teh yang bermimpi membawa teh lokal Indonesia ke kancah internasional, terus berjuang untuk mewujudkan visinya.
Dengan Havilla, ia tidak hanya menjual teh, tetapi juga mengusung misi untuk memperkenalkan kekayaan teh Indonesia kepada dunia. Meskipun perjalanan itu penuh tantangan, ia yakin bahwa teh lokal Indonesia bisa meraih tempat istimewa di hati penikmat teh di seluruh dunia. (Fajar Ramadan/SG-1)