Soko Inspirasi

Mendulang Emas Lewat Limbah Logam

Melalui El Art, Edi Waluyo bukan hanya mengubah logam tua menjadi benda bernilai seni, tetapi juga menciptakan ruang bagi orang-orang yang ingin bangkit dari keterpurukan.
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
24 Oktober 2024

DI sebuah sudut di Tegal, Jawa Tengah, suara dengung mesin dan percikan api las menjadi hal yang sangat akrab di bengkel El Art. Di dalam ruang penuh aroma oli dan serpihan logam, seorang pria berusia 36 tahun, Edi Waluyo, dengan sabar memilah-milah  limbah kendaraan bekas. 

 

Namun, bagi Edi, tumpukan rongsok itu bukan sekadar sampah. Mereka adalah sesuatu yang lebih berharga. Bagi sang logam mungkin sedang menanti masa depannya.

 

Di kota-kota seperti Tegal, di mana bengkel-bengkel otomotif meninggalkan jejak berupa komponen kendaraan tak terpakai, kebanyakan orang melihat benda-benda itu sebagai sesuatu yang sebaiknya dijual kiloan. Tapi bagi Edi, itu adalah tambang emas tersembunyi. 

 

Baca juga: Cemara Paper Menjembatani Mimpi dan Kemandirian Penyandang Disabilitas

 

"Saya melihat potensi ekonomi dari limbah ini," ujarnya saat diwawancarai Sokoguru, beberapa waktu lalu.

 

Dia tidak hanya berbicara soal nilai material, tapi tentang sebuah proses memberi makna baru pada apa yang dianggap usang.

 

Melalui El Art, bengkel seni sekaligus ruang pemberdayaan yang ia dirikan pada 2 April 2020, Edi menciptakan seni yang bukan sekadar upcycling, tetapi transformasi. 

 

Baca juga: Pulas Katumbiri Berbagi Ruang dengan Difabel untuk Berkarya

 

Potongan piston, gir, dan rantai kendaraan yang dulunya berakhir di pengepul kini disulap menjadi jam meja artistik, lampu meja bernuansa steampunk, dan patung berestetika tinggi. 

 

Dalam setiap produk itu, terselip cerita tentang perjalanan material dan manusia yang terselamatkan dari keterbuangan. Hasilnya? Tak hanya memenuhi pasar lokal, 40%  karya El Art kini melanglang buana ke mancanegara, menjadi buruan kolektor dan dekorator rumah di Inggris, Eropa, hingga Arab Saudi.

 

Edi paham betul, seni adalah bahasa yang bisa diterjemahkan dalam banyak makna. Ia mendayagunakan logam bekas bukan semata demi lingkungan, tetapi juga membuka peluang hidup baru bagi mereka yang terpinggirkan. 

 

Baca juga: Bespoke Project: Dari Gang Sempit di Bandung Menuju Panggung Fesyen Internasional

 

“Kami mempekerjakan lima orang, dua masih dalam masa tahanan, dan tiga lainnya eks-narapidana,” ungkapnya. 

Di tengah dunia yang sering menutup pintu bagi mantan narapidana, Edi hadir dengan kunci pembuka: Kesempatan kedua.

 

“Ya, kita pilih yang perkaranya ringan. Nggak mungkin kan kalau pernah membunuh, risikonya besar juga,” imbuhnya.

 

Bermula dari hobi

Edi tak pernah membayangkan jalan hidupnya akan berakhir  di antara tumpukan suku cadang bekas dan lampu meja dari piston sepeda motor. Semasa muda, ia kuliah di jurusan Ekonomi Syariah, namun hasratnya pada seni sudah terpupuk sejak kecil. 

 

Keahlian merancang ia pelajari sendiri, tanpa guru resmi, hanya bermodalkan rasa penasaran dan bantuan media sosial. Tahun pertama El Art berjalan dengan produk seni murni seperti patung dan karya DIY, tetapi pasar seni tak selalu ramah bagi pemula.

 

"Produk seni murni sulit diterima. Saya mulai berpikir, kalau mau bertahan, karya-karya ini harus punya fungsi," ujarnya. 

 

Pada 2022, Edi menemukan inspirasi dari desain steampunk asal Ukraina. Ia memodifikasi ide tersebut menjadi Rotating Gear Clock (RGC), sebuah jam unik dengan gir berputar. 

Alih-alih mendapat protes dari seniman asal Ukraina yang karyanya dimodifikasi, Edi justru menerima bimbingan teknis agar produk jamnya semakin sempurna. 

 

"Dia malah bantu menyelaraskan putaran gir supaya sinkron," kenangnya.

 

Jam RGC bukan sekadar karya seni. Ketika dipamerkan dalam acara yang dihadiri Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  Sandiaga Uno, salah satu RGC langsung dibeli oleh sang menteri. 

 

Itulah titik awal kebangkitan El Art ke kancah nasional dan internasional. Tak lama kemudian, Edi memenangkan penghargaan dari Kementerian Perindustrian pada 2022.

 

Kerumitan Mencipta

Tak semua karya seni datang tanpa tantangan. Salah satu pesanan tersulit yang pernah diterima Edi adalah patung kepala naga setinggi 80 cm. Tantangan utama bukan hanya dari bentuknya yang kompleks, tetapi juga dari bahan yang terbatas. 

 

"Saya hanya boleh pakai tiga jenis bahan: baut, stang piston, dan bearing. Nggak boleh pakai gir sama sekali," jelas Edi. 

Prosesnya memakan waktu hampir enam minggu, termasuk waktu mencari bahan dan merangkainya hingga sempurna. Setiap baut yang dipilih harus menjadi bagian dari estetika, bukan sekadar fungsi.

 

Edi mengakui bahwa berkarya dari limbah menuntut kreativitas ekstra. "Kami tidak melelehkan logam, hanya merangkai. Setiap bentuk aslinya harus dipertahankan, dan itu tantangannya—bagaimana membuat komponen seperti baut jadi hidung naga yang sempurna," katanya.

 

Namun, di balik kerumitan teknis itu, Edi merasa ada kepuasan yang tak ternilai. Produk-produk seperti lampu meja dan jam RGC kini menjadi best seller, menarik perhatian pembeli internasional melalui platform seperti eBay dan Amazon. Meski sempat terkendala karena akun Etsy-nya diblokir, Edi terus melaju dengan semangat yang tak padam.

 

Membuka Pintu Harapan

Melalui El Art,  kini Edi tidak hanya menghadirkan estetika baru dari material yang dianggap tak berharga, tetapi juga memulihkan nilai manusia yang seringkali dikesampingkan. 

 

Mantan narapidana yang bekerja di bengkel kecilnya menemukan kembali martabat melalui karya seni—sebuah cermin bahwa dalam setiap benda dan setiap individu, selalu ada peluang untuk kebangkitan.

“Yang penting, produk kita bisa memberikan dampak baik,” imbuhnya.

Di dunia yang kadang menghakimi, baik kepada benda maupun manusia, El Art hadir sebagai pengingat bahwa apa yang tak lagi dianggap berguna tetap bisa dirajut ulang menjadi harapan baru.

 

Edi tahu bahwa untuk bisa bertahan dan berkembang, ia harus terus berinovasi dan belajar mendengarkan pasar tanpa kehilangan jati dirinya sebagai seniman.

 “Saya idealis, tentu, tapi saya juga paham bahwa pasar punya kebutuhan sendiri. Jadi ya, mood bisa belakangan, yang penting karya selesai dan sesuai tenggat,” ungkapnya. 

Bagi Edi, seni bukan hanya soal keindahan, melainkan juga kedisiplinan.

 

Upcycling, bagi Edi, adalah metafora kehidupan,  bagaimana sesuatu yang dianggap usang, rusak, atau tak berharga dapat dirakit ulang menjadi sesuatu yang berfungsi, bahkan menjadi sumber kebanggaan. 

 

"Mantan napi yang saya pekerjakan pun sama. Mereka sudah pernah terjatuh, tapi bukan berarti mereka nggak bisa bangkit lagi," tegasnya. 

 

Bengkel kecil Edi  di Tegal memang bukan sekadar tempat bekerja, melainkan ruang di mana cerita-cerita tentang kesempatan kedua lahir dan tumbuh.

Di tengah berlangsungnya wawancara, Edi menunjukkan lampu meja yang terbuat dari rantai dan piston bekas. Ia tertawa kecil ketika mengenang sebuah momen saat seorang pelanggan berkelakar bahwa lampu itu cukup berat untuk dijadikan alat olahraga. 

"Kalau sebel sama tetangga, bisa sekalian dilempar," katanya sambil tertawa, mencairkan suasana. 

Namun, di balik guyonan itu, ada pesan serius yang ia bawa yakni : setiap benda dan setiap individu punya potensi jika diberi kesempatan.

 

Memelihara Harapan

Ketika ditanya soal harapannya ke depan, Edi tak ragu untuk menjawab. Ia ingin terus menciptakan karya yang tidak hanya fungsional tetapi juga berdampak sosial.

 

 "Yang penting produk saya bisa bermanfaat, entah sebagai dekorasi, inspirasi, atau bahkan alat untuk perubahan hidup," katanya. 

 

Edi juga berharap bisa membuka lebih banyak peluang bagi mantan narapidana agar bisa berkarya dan hidup lebih mandiri.

 

Melalui El Art, Edi Waluyo bukan hanya mengubah logam tua menjadi benda bernilai seni, tetapi juga menciptakan ruang bagi orang-orang yang ingin bangkit dari keterpurukan. Karyanya adalah bukti bahwa di tangan yang tepat, apa yang tampak rusak dapat dirakit ulang menjadi sesuatu yang berarti, baik bagi benda itu sendiri maupun mereka yang pernah merasa tak lagi punya harapan.

Seperti jam RGC-nya yang gir-girnya berputar sempurna, Edi terus bergerak, tanpa kehilangan arah, menjalani hidup dengan prinsip bahwa setiap bagian, betapapun kecil dan tak sempurnanya, selalu punya tempat untuk berfungsi. 

 

Di tangan Edi, limbah dan kehidupan tak lagi hanya soal masa lalu, tetapi janji tentang masa depan yang penuh potensi dan makna baru. (Fajar Ramadan/SG-1)