Soko Inspirasi

Hanya Berproduksi 18 Hari Bisa Raup Omzet Miliaran Rupiah

Pernah punya keinginan menggunakan mesin modern dalam proses produksinya, tetapi Ci Iin berpikir kasihan pekerjanya yang jumlahnya  ratusan. Akhirnya ia memutuskan pakai tenaga manusia. Rezeki setahun sekali.
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
24 Januari 2025
Dok. Sokoguru/Andhika Prana

PERAYAAN Imlek masih 17 hari lagi ketika Sokoguru mengunjungi pengrajin kue keranjang Ny. Lauw (Lauw Kim Wie) di rumah produksinya di Jalan Pintu Air Timur Bouraq No. 59, Tangerang, Banten.

 

Ratusan karyawan terlihat sibuk, mulai di pintu masuk rumah produksi sekelompok pekerja pria terlihat berada di tengah tumpukan kelapa yang berserakan sambil mengupas kelapa dengan kampak kecil. 

 

Di sebelahnya ada beberapa orang yang memarut kelapa dengan mesin dan memerasnya. Kemudian sekelompok pekerja perempuan melap daun pisang batu lalu memanggangnya.

 

Begitu masuk ke dalam, ritme gerak pekerja terlihat lebih sibuk lagi. Para pria mengaduk santan, gula aren, adonan dodol, dan kue keranjang. Tangan mereka yang kekar tak berhenti bergerak mengaduk adonan di dalam belanga besar.

 

Baca juga: Komunitas Cika-Cika: Sulap Sungai Cikapundung dari Tumpukan Sampah Jadi Ruang Publik

 

Tidak jauh dari barisan belanga-belanga tersebut terdapat beberapa mesin sederhana pengaduk tepung ketan (semacam mixer besar), dan dandang raksasa untuk mengukus kue keranjang.

 

Sekelompok ibu juga terlihat sedang mengayak tepung yang baru digiling sebelum dimasukkan ke dalam mixer adonan. Beranjak dari dapur produksi tersebut, di ruang berikutnya tampak pekerja perempuan menimbang-nimbang kue keranjang maupun dodol sebelum siap dikemas dalam plastik ataupun daun pisang.

 

Sementara di toko yang bersebelahan dengan rumah produksi, konsumen keluar masuk untuk mengambil kue yang sudah mereka pesan sejak 1-2 bulan lalu. Tetapi ada juga yang datang langsung membeli stok kue yang ada.

 

Salah satunya, Andi, konsumen dari Jakarta yang sudah puluhan tahun menjadi pelanggan kue Ny.Lauw. Pria paruh baya itu mengambil pesanan kuenya senilai jutaan rupiah dan memesan kembali dodol serta kue keranjang untuk kakaknya.

 

Baca juga: Ayumu Gendout’s Bawa Anyaman Bambu Indonesia ke Panggung Dunia

 

“Saya pelanggan tetap Ci Iin, sudah puluhan tahun. Menurut lidah saya rasanya beda dengan yang lain,” ujarnya, Senin (13/1).

 

Begitulah keseharian rumah produksi kue keranjang  Ny. Lauw (Lauw Kim Wie) jika mendekati Imlek. 

 

“Setiap hari tidak seperti itu sibuknya. Ini menjelang Imlek saja. Ramai seperti ini paling cuma 21 hari. Lalu buat lagi jelang perayaan Cap Go Meh, tapi tidak banyak,” ujar Winawati atau akrab disapa Ci Iin.

 

Perempuan berusia 64 tahun dan memiliki lima anak itu terhitung menantu di keluarga Lauw Su Lim, pendiri kue keranjang tersebut. Di tangan sang menantu inilah bisnis kue keranjang Ny. Lauw (Lauw Kim Wie) dikemudikan.

 

Baca juga: Konsisten Beli Produk UKM dalam Jumlah Besar, Amennis Trading Raih Primaduta 2024

 

Lebih lanjut, ibu lima anak itu menuturkan usaha keranjang Ny. Lauw didirikan pertama kali pada pada tahun 1960-an oleh  Lauw Su Lim yang sudah tinggal di daerah Tangerang. 

 

Dok. Sokoguru/Rosmery

 

“Awalnya ia membuat kue keranjang dan dodol, hanya setahun sekali pada saat Imlek. Tetapi karena pak haji-pak haji tetangganya doyan, ia pun membuat setiap hari, tetapi sedikit-sedikit. Lumayan ada saja yang membeli. Waktu itu belum ada merek,” ujarnya.

 

Seiring waktu berjalan, usaha sang kakek pun berkembang hingga ke generasi ketiga saat ini. Namun pemberian nama Ny. Lauw baru pada generasi kedua, saat usaha kue dipegang anak  laki-laki Lauw Su Lim bernama Lauw Nyim Keng

 

Sang kakek memiliki 10 anak, namun yang meneruskan usahanya adalah anak ketiganya yakni  Lauw Nyim Keng Kemudian diteruskan lagi ke generasi berikut oleh anak laki-laki Lauw Nyim Keng bernama Lauw Kim Tay atau  Suliatman yang lahir pada 1948. 

 

“Lauw Kim Tay inilah yang menikah dengan saya dan memiliki lima anak. Lalu nama anak bungsu saya itu Lauw Kim Wie jadi merek kue keranjang saya. Suami saya ingin punya merek sendiri, jadi saya pegang dua hak paten yakni  Ny. Lauw dan Ny. Lauw (Lauw Kim Wie). Kalau rasa sih sama saja,” jelas Ci Iin lagi.

 

Semua yang pegang bisnis keluarga kue keranjang tersebut dari anak laki-laki, tetapi keturunan dari anak-anak yang lain juga ada yang ikut kelola. Bahkan ada yang membuat merek sendiri. Merek Lauw Kim Wie, menurutnya, baru dipakai sejak tahun 2000-an untuk membedakan dengan keluarga lain yang juga memakai nama Lauw, misalnya ada  Lauw 55, dan Putri Lauw. 

 

Bukan cuma untuk Imlek

Menurut Iin, masyarakat di Tangerang, termasuk yang tidak merayakan Imlek juga membeli dodol dan kue keranjangnya. Bahkan saat ini mereka sudah membeli. Selain dimakan sendiri, kata Iin lagi, umumnya mereka membeli buat oleh-oleh.

 

“Biasanya membuat kue keranjang sampai perayaan Cap Go Meh, tetapi tahun ini bisa nyambung sampai Lebaran, karena waktunya berdekatan dan nyambung,” tambahnya.

 

Iin mengatakan, jelang Imlek, permintaan dari luar kota pun berdatangan, meski yang terbanyak dari Jakarta dan sekitar Tangerang. Sejak sebulan lalu atau Hari Raya Natal, sudah banyak konsumen yang memesan dan membeli. Karena umat keturunan Tionghoa yang beragama nasrani juga membeli kue keranjang. Bahkan ada  dibawa ke luar negeri buat oleh-oleh.

 

“Meski saya tidak pakai pengawet kue keranjang ini tahan lama, kalau dimasukkan ke lemari es bisa tahan 4-5 bulan. Dia orang (pelanggan) sudah pada tahu. Bahkan kata yang beli tahan kok sampai 1 tahun asalkan dimasukkan di lemari es. Yang penting adonannya ’tua’,” ujarnya.

 

Di luar perayaan hari raya, seperti Natal, Imlek dan Lebaran, Iin mengaku tidak terlalu banyak memproduksi kue keranjang dan dodol. Dan pekerjanya pun pembantu biasa. Namun, ia tetap melayani berapa pun pesanan pelanggannya. Kadang ada yang pesan 10 kg, 20 kg, 25 kg. Bahkan pesan 1 kg pun ia buatkan.

 

“Tetapi sehari-hari saya tetap bikin, paling 5 kg, karena kadang mereka mendadak juga pesannya atau langsung datang ke toko,” katanya.

 

Dok. Sokoguru/Rosmery

 

Semua pelanggan datang ke toko dan pesan minta diantar ojek online. Para pelanggan ada yang buat konsumsi sendiri ada juga untuk dijual lagi (reseller). Itulah sebabnya ada yang memesan sampai 100 kg lebih per orang.

 

Ci Iin mengaku baru memulai produksi besar-besaran sejak 10 Januari 2025 dan berhenti pada 27 Januari. Rata-rata ia memproduksi 1 ton per hari.

 

“Saya tetap bikin kue keranjang, berapa pun permintaan, ada yang 1 kg, 2 kg. Tetapi sehari-hari di luar perayaan keagamaan saya buatnya dodol. Kalau kue keranjang kalau ada pesanan saja,” tambahnya

 

Jual langsung

Terkait pemasaran,  meski sudah tiga generasi, kue keranjang Ny. Lauw (Lauw Kim Wie) tetap dijual secara langsung ke konsumen. Artinya, pembeli datang atau pesan dengan membayar lunas. Toko kue Ny. Lauw pun hanya satu, tidak memiliki cabang. Jadi para reselleryang menjual lagi secara online . 

 

“Bagi-bagi rezekilah. Kalau saya menjual lewat online lagi kan nanti jadi saingan. Mereka menjual dengan merek yang sama, cuma harganya yang di-online lebih mahal sedikit.”

 

Selain masih menggunakan penjualan konservatif, dalam hal produksi pun  Ny. Lauw (Lauw Kim Wie) masih menggunakan padat karya. Seratusan pekerja yang hanya bekerja selama 18-21 hari itu sudah cukup lama ikut Iin. Mereka umumnya petani yang jelang Imlek sudah menghubungi Iin untuk dipekerjakan.  

 

“Saya sempat berpikir ingin menggunakan mesin, tetapi saya pikir-pikir lagi kasihan pekerja musiman saya. Mereka juga butuh kerjaan dan sudah lama ikut saya. Namanya rezeki setahun sekali, biarlah pakai tenaga manusia aja,” imbuhnya.


 

1 ton per hari

Lebih lanjut, Ci Iin menjelaskan, untuk pemesanan, sudah mulai dibuka dua  bulan sebelum Imlek. Dan setiap hari dibatasi 1 ton.

 

“Nanti mereka bilang akan diambil 1 minggu atau 2 minggu sebelum Imlek. Saya batasin untuk satu hari itu maksimal pemesan 1 ton. Kalau sudah penuh mereka akan geser ke hari berikutnya. Sehari 1 ton lah,” jelasnya.

 

Per kg kue keranjang Ny. Lauw djual Rp58.000 untuk yang dibungkus daun, Rp60.000 yang disusun dan Rp48.000 untuk kue yang dibungkus plastik.

 

Untuk dodol dijual mulai harga Rp64.000 hingga Rp120.000 per kilogramnya yang tersedia dalam rasa duren, wijen, lapis, cempedak, duren-wijen, dan dodol kacang kenari.

 

“Kue keranjang atau dodol bisa beli satuan. Pokoknya per kilo harganya seperti yang saya sebut tadi. Nah, kalau yang disusun seperti stupa harganya sedikit lebih mahal per kilogramnya, karena dibungkus daun. Satu susun jumahnya harus ganjil, mulai dari isi lima, 7, 9, 11. Totalnya bisa belasan kilo per susun. Kalau yang disusun ini untuk sembahyang di Klenteng,” tuturnya 

 

Dengan volume produksi 1 ton per hari selama 18 hari itu, omset kue keranjang Ny. Lauw (Lauw Kim Wie) bisa mencapai miliaran rupiah. Namun, Iin mengelak sambil tersenyum.

 

“Tetapi kan harga-harga bahan baku sekarang mahal, apalagi harga kelapa sekarang tinggi. Belum lagi bayar gaji pegawai,” ujarnya.



 

Kelapa sulit

Selama wawancara berlangsung, Iin harus menjawab panggilan telepon. Ada yang menawarkan gula aren, kelapa, atau pesanan kue. Menurutnya, ia sudah punya pemasok bahan baku tetap, seperti gula aren dari Ciminyak, Banten, daun pisang batu dari sekitar Cianjur, dan beras ketan yang kualitasnya paling bagus. 

 

“Gula aren dari arah Badui sana bagus kualitasnya. Dari Lampung juga ada, tetapi beda rasa. Kalau tepung ketan saya giling sendiri. Cuma saat ini kita sulit mendapatkan kelapa. Sudah mahal barangnya juga susah,” jelasnya.

 

Kini, Ci Iin dibantu oleh menantu dan keponakan suaminya menjalankan bisnis keluarga yang sudah berjalan tiga generasi. Usaha berjalan masih dengan cara-cara konvensional, padat karya, pemasaran langsung ke konsumen.

 

Ia juga tidak ikut perkumpulan UMKM, tidak membuka cabang toko atau mengambil tawaran dana dari bank untuk membesarkan usahanya. “Suka sih dipanggil ke kantor Walikota, diwawancarai, membagi pengalaman menjalankan usaha atau ikut pameran.

 

Ketika ditanya apakah ada keinginan mengembangkan usaha lebih besar lagi dengan menggunakan mesin-mesin modern, Iin menjawab dengan mantab, “ tidak.”


“Biar pelanggan saya saja yang jual lagi pakai online-online, jadi reseller gitu,” pungkasnya. (Ros/SG-2)