DI sudut Pasar Kosambi, Kota Bandung, Jawa Barat, yang kini terasa lengang, Dedih Sutardi, pria 59 tahun asal Kadungora, Garut, duduk dengan tenang di bangku panjang kiosnya.
Rambut putihnya berkilau di bawah lampu neon, sementara aroma khas tempe dan oncom kering memenuhi udara.
Sudah lebih dari tiga dekade, kios oleh-oleh legendaris bernama Sindang Laris menjadi saksi kerja keras dan tekad Dedih yang tak pernah surut.
Baca juga: Selain Akses Pendanaan, Masa Depan UMKM Ada di Inovasi dan Jaringan
Awal Perjalanan Sindang Laris
Perjalanan Dedih di dunia usaha dimulai pada tahun 1988. Awalnya, ia bekerja di toko oleh-oleh Sari Rasa Milo, sebelum akhirnya memutuskan berdikari.
Dengan eksperimen tiada henti di dapurnya, ia menciptakan rasa khas tempe dan oncom milo yang kini menjadi andalan Sindang Laris.
“Kurang ini coba lagi, kurang itu coba lagi. Sampai puluhan dingkul kacang kedelai habis. Yang masih bisa dimakan saya bagi ke warga, sampai akhirnya ketemu rasa yang pas,” kenang Dedih.
Pada 1990, Dedih membuka kios di Pasar Kosambi, memanfaatkan momentum ramai pengunjung yang datang ke Bandung Teater Kosambi, Bioskop Rivoli, dan Fadjar.
Produk oleh-olehnya yang inovatif, seperti tempe dan oncom milo, segera mendapat tempat di hati pembeli. Bahkan, toko ini menjadi salah satu pelopor oleh-oleh khas Bandung.
Baca juga: ‘Bukan Sekadar Pengaman Kepala, Helm itu Mewakili Jati Diri Bikers’
“Dulu cuma ada Rosita, saya toko kedua. Tapi sekarang Rosita sudah tidak ada,” ujarnya.
Kesuksesan dan Kejayaan
Sindang Laris tidak hanya menjual tempe dan oncom milo, tetapi juga berbagai produk khas dari Bandung dan daerah lain.
Dengan pendekatan kolaboratif, Dedih menampung produk dari produsen kecil untuk dijual kembali, menjadikan kiosnya semacam pusat oleh-oleh.
Sebelum pandemi melanda, Sindang Laris mampu meraup omzet miliaran rupiah per bulan.
Puncaknya, produk Dedih bahkan berhasil menembus pasar internasional dengan pengiriman rutin dua kontainer ke Belanda setiap dua bulan.
“Kalau libur Jumat, Sabtu, Minggu bisa dapat Rp100 juta sehari. Hari biasa Rp60 juta-Rp70 juta. Tapi sekarang harga bahan baku sudah mahal, dampaknya terasa sekali,” ungkapnya.
Tantangan Pandemi dan Bangkit Kembali
Pandemi Covid-19 menjadi pukulan berat bagi Dedih. Omzetnya anjlok, kerugian ditaksir mencapai Rp1,6 miliar, dan 20 dari 50 pekerjanya harus dirumahkan. Namun, semangatnya untuk bangkit tidak pernah padam.
“Saya bagikan produk yang masih bisa dikonsumsi ke warga. Sisanya jadi pakan ikan di rumah,” katanya, mengenang masa sulit itu.
Kini, Dedih kembali membangun Sindang Laris dengan strategi yang lebih matang. Selain melayani pelanggan di kios, ia juga merambah pasar business-to-business (B2B), menyuplai produk ke supermarket di Bandung.
Baca juga: Bespoke Project: Dari Gang Sempit di Bandung Menuju Panggung Fesyen Internasional
“Oncom selalu habis. Besok saja saya kirim dua kuintal ke supermarket,” ujarnya dengan bangga.
Komitmen pada Kualitas
Dedih dikenal sangat menjaga mutu produknya. Pabriknya di Ciparea, seberang Pasar Kosambi, telah mengantongi berbagai sertifikasi seperti SNI, halal, dan izin dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung.
“Saya orangnya apik, makan juga tidak sembarangan. Jadi untuk dagang sendiri harus sama,” tegasnya.
Lebih dari Sekadar Bisnis
Dedih bukan hanya seorang pengusaha sukses, tetapi juga pecinta motor trail. Baginya, menaklukkan medan sulit dalam perjalanan adalah cerminan perjuangannya di dunia bisnis.
Kini, Dedih terus melangkah, memastikan Sindang Laris tetap menjadi pilihan utama wisatawan dan warga Bandung.
Dengan dedikasi dan kerja kerasnya, Dedih tak hanya membawa oleh-oleh khas Bandung ke tangan pelanggan, tetapi juga menjadi inspirasi bahwa setiap tantangan dapat diatasi dengan semangat dan tekad yang kuat.
Sindang Laris bukan hanya toko, tetapi simbol perjuangan dan keberlanjutan!. (Fajar Ramadan/SG-2)