SIANG jelang sore hari, Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, di Perpustakaan Jakarta Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki dipenuhi tamu undangan, boleh dibilang tumpah ruah, karena sejumlah tamu terpaksa harus berdiri di luar aula.
Meski panitia sudah menambah kursi di sudut-sudut tempat yang masih agak lega, tetap saja sebagian tamu terpaksa harus berdiri.
Tepat pada peringatan ke- 96 Hari Sumpah pemuda, Senin 28 Oktober 2024, tiga buku diluncurkan yakni Playing the Part: Seeking Equilibrium karya Farry Salim, A Diplomatic calling: Breaking the Convention karya Chandra Salim, dan A Draft of a Scrapbook oleh Felia Salim.
Baca juga: Diluncurkan Buku Kajian Stabilitas Keuangan No. 43 dan Kalkulator Hijau
Ketiga penulis buku tersebut adalah anak-anak dari Ferdy Salim, mantan Dubes RI di Jerman, Venezuela dan Brunei Darussalam. Ia juga merupakan abang kandung prof Emil Salim.
Menurut editor buku Debra Yatim yang juga menjadi moderator pada acara peluncuran buku tersebut, Farry Salim merupakan anak sulung yang berprofesi sebagai pengusaha; Chandra Salim anak kedua adalah seorang diplomat dan pernah menjadi Dubes RI di Fiji pada 2010-2013. Sedangkan Felia Salim adalah seorang bankir, pernah jadi dirut BEJ, Dewan Direksi BNI 46, dan komisaris bank.
Acara pada sore itu dibuka dengan menghadirkan mantan Wakil menteri Dr. Dino Patti Djalal sebagai pemapar kunci dan host Prof. Emil Salim.
Baca juga: Jelang Akhir Jabatan, Menaker Ida Fauziyah Luncurkan Buku "Transformasi Ketenagakerjaan”
Dino yang pernah menjadi Wakil Menteri Luar Negeri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 14 Juli - 20 Oktober 2014, serta mantan Dubes RI untuk Amerika Serikat itu membahas tentang ke-Indonesiaan.
Ia membahas mulai dari soal pertarungan abadi yaitu tidak korupsi, soal persatuan Indonesia hingga sangat pentingnya politik luar negeri RI menjaga internasionalisme yang sehat dan soal raja-raja di Indonesia dulu mengapa bisa dijajah 350 tahun.
Dok. Sokoguru/Rosmery
“Contoh kenapa kita dijajah 350 tahun? jawabannya adalah karena kita tidak bersatu. Faktor itu 50% benar. Dan yang 50% lagi karena kita tidak paham dunia,” ujarnya.
Raja-Raja di Nusantara dulu tidak tahu maunya Inggris itu apa, maunya Portugal itu apa. Tetapi, baru 200 tahun kemudian orang Indonesia paham. Jadi, raja-raja kita tidak paham saat itu dunia sedang bergejolak.
Baca juga: Kemenkop UKM Rilis Tujuh Buku Strategi Pengembangan Koperasi dan UMKM
Sementara itu, Emil Salim yang menjadi host mengatakan buku-buku karya keponakannya itu mau menggambarkan you are what you are.
“Hakekat dari diri manusia, kita tidak tahu persis what are. Manusia punya tujuh tabir dalam kehidupan. Tabir pertama, misalnya, gagah. Kalau tabir itu diangkat, akan terlihat tabir kedua. Tabir kedua diangkat akan terlihat tabir ketiga begitu seterusnya. Apa yg kita lihat, dengar secara fisik belum tentu itu kebenarannya,” ujar pria berusia 94 tahun ini.
Lebih lanjut, Emil yang pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri di era Presiden Soeharto itu, memberi contoh lagi.
“Setiap kali tabir dicopot, akan mengungkapkan tabir yg lain lagi. Kalau ketemu presiden lain lagi tabirnya.Kita akan pakai tujuh tabir itu sesuai keadaan,” imbuhnya.
Emil menilai para penulis menulis buku-buku tersebut dengan baik dan sesuai pandangannya, nilainya. Felia Salim, misalnya, Ia menulis dengan hati.
“Untuk mengetahui who are they, buku-buku itu menjawab dengan sederhana… .Jadi, bacalah buku-buku tersebut dengan hati, apa tabir-tabir yang dimaksud para penulis. Di balik tabir-tabir itulah kehidupan mereka,” jelas Emil lagi mengakhiri sambutannya..
Setelah keduanya berbicara, acara dilanjutkan dengan pembahasan buku oleh prof. Melani Budianta, akademisi Ilmu budaya UI, Dr. Hilmar Farid, sejarahwan, budayawan dan Bambang Harrymurti, wartawan senior anggota AJ.
Menurut Bambang, apa yang dikatakan Emil Salim bahwa orang memiliki tujuh tabir akan tersingkap jika orang itu menulis buku dengan hati dan semangat kejujuran.
“Dengan demikian, kita akan tahu Who are you? Who we are,” ujarnya.
Bambang Harymurti menggambarkan anak yang masa kecilnya pindah-pindah negara cuma punya dua jenis masa depan yakni nyebelin, berantakan, penyalahguna narkoba, hidup tanpa arah. Atau seperti ketiga penulis buku tersebut yang mempunyai habit literasi dan hidup untuk menyumbang kepada masyarakat.
“Kuncinya? Keluarga dan orang tua yg solid,” imbuhnya..
Sementara itu, Melani berpendapat buku yang ditulis ketiga Salim bersaudara itu bisa jadi referensi bagi milenial yg malas baca dan malas menulis.
“Farry menulis dengan bahasa gado2 tanpa beban. Bahasa Inggris, Indonesia campur aduk diselingi bahasa Italia, Spanyol, Arab, bahkan Yahudi. Felia menguasai teknik berkisah secara pendek hal-hal yang penting yg terjadi sekitar dirinya. Chandra memberi kisah beberapa pengalamannya dengan menawarkan moral/pelajaran yg dipetik dari pengalaman-pengalaman itu,” ujarnya.
Melani melihat para penulis adalah generasi yg terjepit antara generasi ayahnya dan generasi saat ini yg tdk suka membaca.
“Kalau membaca buku karya mereka ini terasa bahwa mereka suka membaca. Ada kejujuran, mengalir apa adanya, pikiran, pengetahuan. Bahkan ada satu halaman yang isinya cuma satu kalimat,” imbuhnya.
Di sisi lain, Hilmar mengatakan, orang yang mengisahkan pengalaman dan pikirannya dalam bentuk biografi akan selalu dibaca orang, karena orang ingin tahu tentang kehidupan org lain.
“Rekam jejak itulah akan memberi gambaran manusia Indonesia di masa mendatang apa yang terjadi dan bagaimana kehidupan kita di era yang lain,” ujarnya.
Acara diakhiri dengan pembacaan puisi oleh Jajang C. Noer dan Nadia Hastarini, serta Paduan suara Dialita.
Tampak hadir ditengah para undanga Meis Roem (putri Moh. Roem), Gemala dan Halida Hatta (putri-putri Bung Hatta), Taufik Abdullah, Ny. Hassan Wirajuda, Rm. Mudji Sutrisno SJ, dan Dipo Alam, serta penyanyi Grace Simon. (Ros/SG-2)