PERGURUAN tinggi sangat perlu memperhatikan relevansi dengan kebutuhan pasar kerja. Tidak cukup hanya menghasilkan sejumlah besar lulusan, tetapi perguruan tinggi juga penting memastikan bahwa lulusannya memiliki relevansi dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah, terutama di era revolusi industri dan perkembangan teknologi yang pesat.
Hal itu disampaikan Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek, Prof Nizam, pada acara Dies Natalis ke-69 Universitas Katolik (Unika) Parahyangan, di Bandung Jawa Barat, Rabu (17/1).
“Dalam menghadapi dinamika pekerjaan yang terus berubah, kampus perlu memberikan keterampilan yang dibutuhkan, seperti keahlian dalam teknologi, kewirausahaan, dan keterampilan interpersonal yang relevan, “ katanya.
Turut hadir pada acara tersebut Kepala Pengurus Yayasan Universitas Katolik Parahyangan, Hendra Kimawan, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, Bey Triadi Machmudin, Rektor Unika Parahyangan, Prof Tri Wahyudi, dan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah IV Jawa Barat dan Banten, Samsuri.
Dalam Dies Natalis yang mengambil tema Navigating the Path itu, Nizam mengatakan, Indonesia memasuki era bonus demografi, yang mana usia produktif lebih besar daripada non-produktif. Untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, lanjutnya, bonus demografi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Lebih lanjut, ia membahas dengan secara mendalam perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia serta upaya dalam mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada. Dalam konteks akses pendidikan tinggi,
Nizam mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah mahasiswa di perguruan tinggi, dengan lebih dari 9,5 juta mahasiswa saat ini, yang mencakup lebih dari 40% populasi usia 19-24 tahun.
Ia mengakui ada kemajuan dalam akses pendidikan tinggi, namun kesenjangan masih ada dalam hal kualitas dan relevansi. Fakta bahwa kesenjangan bukan hanya terletak pada akses di berbagai wilayah, melainkan lebih pada kualitas pendidikan.
“Misalnya, Angka Partisipasi Kasar (APK) di Papua Barat lebih tinggi daripada APK di Jawa Barat. Hal ini, menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya sebatas akses, tetapi juga kualitas pendidikan,” imbuh Nizam.
Tantangan lapangan kerja di masa depan
![]() |
Sokoguru - Fajar Ramadan |
Mengutip analisis yang dilakukan oleh McKinsey & Company pada 2019, yakni Automation and the future of work in Indonesia. Nizam memaparkan bahwa 23 juta pekerjaan di Indonesia akan digantikan oleh automation pada 2030. Pekerjaan seperti penulisan naskah, akuntansi, dan lainnya akan terancam oleh teknologi AI.
Meskipun demikian, dari fenomena tersebut, ia memaparkan, akan terciptanya peluang pekerjaan baru sebanyak 27-46 juta, yang mana 10 juta di antaranya merupakan pekerjaan yang belum pernah ada pada hari ini.
“Atas dasar itulah, relevansi dengan kebutuhan pasar kerja sangat perlu diperhatikan oleh perguruan tinggi. Jadi, tidak cukup hanya menghasilkan sejumlah besar lulusan, tetapi juga penting untuk memastikan bahwa lulusan memiliki relevansi dengan kebutuhan pasar kerja yang terus berubah, terutama di era revolusi industri dan perkembangan teknologi yang pesat,” jelas Nizam.
Lebih lanjut, ia menjelaskan upaya untuk menciptakan lulusan yang mandiri dan mampu bersaing di dunia kerja. Beliau mencatat bahwa dalam menghadapi dinamika pekerjaan yang terus berubah, kampus perlu memberikan keterampilan yang dibutuhkan, seperti keahlian dalam teknologi, kewirausahaan, dan keterampilan interpersonal yang relevan.
“Pengetahuan tentang SDGs perlu juga disampaikan kepada mahasiswa agar kita sama-sama mengetahui fokus apa saja yang akan dilakukan di dunia kerja ke depannya,” imbuhnya.
Mencetak lulusan berdikari
![]() |
Sokoguru - Fajar Ramadan |
Prof Nizam menekankan kemandirian mahasiswa untuk berdikari sendiri menjadi salah satu hal penting yang mesti diwujudkan oleh perguruan tinggi dalam mencetak lulusannya.
“Pendidikan Zaman old, ada kasus mahasiswa yang telah mencoba berdikari dengan mulai berwirausaha. Namun, ketika usahanya berjalan pesat dan telah memberdayakan masyarakat sebagai karyawannya mahasiswa tersebut terkena DO, karena tidak dapat melaksanakan kewajiban di kampusnya,” tuturnya.
“Namun, pendidikan sekarang dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) takkan ada lagi kasus serupa, dalam waktu 6 bulan mahasiswa tersebut bisa mengikuti Wirausaha Merdeka untuk fokus mengembangkan dan menjalankan usahanya,” jelasnya lagi.
“Itulah kampus kehidupan, di mana mahasiswa dapat belajar kepada masyarakat, entah itu petani yang lagi menggarap atau pebisnis. Fokusnya adalah berinovasi untuk menyelesaikan permasalahan mereka,” sambungnya.
Dalam kuliah umumnya itu, Nizam juga memperkenalkan berbagai program kampus, seperti Kampus Merdeka dan Kampus Mengajar, yang bertujuan memberikan pengalaman praktis kepada mahasiswa dan membekali mereka dengan keterampilan yang relevan.
Misalnya, program Kampus Merdeka mencoba melampaui pembelajaran di dalam kelas tradisional dan membuka peluang bagi mahasiswa untuk belajar dari pengalaman di dunia nyata, termasuk melalui magang di berbagai lembaga dan partisipasi dalam proyek-proyek kemanusiaan.
“Program ini memberikan fleksibilitas kepada mahasiswa untuk mengembangkan kompetensi yang dibutuhkan tanpa harus menambah beban kurikulum,” ujarnya.
Sementara itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di mana Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi kontributor terbesar Produk Domestik Bruto (PDB). Mahasiswa dapat berperan dengan berinovasi untuk membantu para pelaku UMKM untuk mengembangkan produk mereka.
Kolaborasi dengan industri
![]() |
Sokoguru - Fajar Ramadan |
Dalam rangka meningkatkan relevansi dan daya saing lulusan, pelaksana tugas Dirjen Ristek Dikti itu menegaskan transformasi kampus secara menyeluruh sangat diperlukan.
“Kolaborasi dengan dunia industri, penyediaan program-program pembelajaran yang responsif terhadap perkembangan teknologi, dan pemberdayaan mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja,” ujar Nizam lagi.
Selanjutnya ia menyoroti program micro-credentials yang dapat memberikan mahasiswa akses kepada keterampilan spesifik dan relevan, seperti machine learning, big data analytics, dan keahlian-keahlian lainnya yang dibutuhkan dalam era digital saat ini.
“Perusahaan di Singapura merekrut banyak karyawan dari perguruan tinggi Indonesia yang memiliki pembelajaran khusus terhadap keahlian tersebut,” tutur Nizam.
Ia mengatakan tantangan utama pendidikan tinggi di Indonesia bukan hanya terletak pada masalah akses, tetapi juga pada kualitas dan relevansi. Transformasi kampus, pemberdayaan mahasiswa, kolaborasi dengan industri, dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi menjadi kunci dalam mempersiapkan mahasiswa menghadapi masa depan yang dinamis. Penguatan sektor UMKM menjadi fokus penting untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
“Kolaborasi kampus dengan berbagai sektor UMKM, Bumdes, dan Lainnya. Inovasi dari kampus di sini benar-benar diimplementasikan pada mereka. Untuk kedepannya, melalui penguatan dan akselerasi program Kampus Merdeka menjadi fokus untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045”, ujar Nizam ketika diwawancarai Sokoguru, seusai acara dies natalis.
Tantangan teknologi terbarukan
![]() |
Sokoguru - Fajar Ramadan |
Dalam konteks perkembangan teknologi, dalam Dies Natalis ke-69 Unika Parahyangan tidak hanya merayakan prestasi di masa lalu, tetapi juga membahas tantangan masa kini. Salah satunya, perkembangan teknologi artifisial dan kecerdasan buatan (AI) menjadi perbincangan hangat, dengan peringatan bahwa regulasi AI masih perlu diupayakan.
Dalam konteks ini, Hendra menegaskan pentingnya pendekatan Human Centered AI, yang menekankan pada pengembangan sistem AI yang mendukung dan meningkatkan kemampuan manusia, bukan menggantikannya.
“Potensi AI dan teknologi lainnya seharusnya meningkatkan kemampuan manusia untuk membangun masa depan yang lebih inklusif,” ujarnya.
Pentingnya pendidikan sebagai main driver of development juga ditekankan, dengan kembali pada capaian-capaian pembelajaran. Hasil pembelajaran nantinya tidak hanya sebatas pengetahuan, tetapi juga kemampuan untuk memahami, mengimplementasikan, menganalisis, dan bahkan menciptakan sesuatu yang baru.
Dalam kesempatan yang sama, Bey Machmudin menyampaikan pidatonya tentang pemanfaatan bonus demografi di Jawa Barat. Mengingat penduduk usia produktif di Jawa Barat sangat tinggi.
“Integritas adalah salah satu poin penting yang masih diajarkan di Universitas Katolik Parahyangan. Di mana ucapan sesuai dengan tindakan. Dalam kehidupan kemampuan tersebut sangatlah penting,” ujar Bey.
Lebih lanjut, mantan alumni Unika Parahyangan tersebut, menyampaikan apresiasinya terhadap UNIKA Parahyangan telah ikut membangun Jawa Barat melalui pendidikan.
Sementara itu Samsuri juga mengapresiasi kinerja Unika Parahyangan dalam menjaga mutu pendidikan, baginya universitas ini sudah waktunya untuk berkompetisi di tingkat global.
“Perguruan tinggi tidak hanya sebagai menara gading. Perguruan tinggi harus mampu menancapkan gading-gadingnya di tengah masyarakat, agar mereka dapat menerima manfaat dari perguruan tinggi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa esensi perguruan tinggi bukan hanya mencetak SDM yang kompeten, tetapi juga berkarakter. Kecintaan dan karakter yang baik akan membangun kepercayaan. Sebagai kesimpulan, kompetensi dan karakter adalah satu kesatuan yang harus dilahirkan oleh setiap insan, termasuk Unika Parahyangan.
“Kami mengucapkan Selamat Dies Natalis yang ke-69 untuk Universitas Katolik Parahyangan. Universitas ini merupakan kebanggaan dalam mengelola pendidikan imam yang berkualitas dan bermutu, tercermin dari akreditasi institusinya yang unggul,” pungkasnya. (SG-1)