ANGGOTA Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, dengan tegas menolak wacana program BPJS Kesehatan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menurut Irma, pemerintah seharusnya fokus memperbaiki pelayanan kesehatan daripada menerapkan tarif tunggal yang dicurigai sebagai dorongan dari asuransi swasta.
"Kemenkes berargumen bahwa ini untuk memperbaiki pelayanan kesehatan. Kalau memperbaiki pelayanan, tidak harus dengan satu tarif, kan?" ujar Irma dalam pernyataan tertulis yang dilansir situs DPR RI Kamis (11/7).
Baca juga: DPR Minta Pemerintah Tidak Buru-Buru Hapus Kelas BPJS Kesehatan
Irma menyoroti bahwa pemerintah lebih baik meningkatkan pelayanan untuk kelas paling rendah, yaitu kelas tiga, karena jumlah pendaftarnya yang lebih banyak.
Menurutnya, langkah ini akan lebih efektif dalam memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
Politisi Fraksi Partai NasDem ini mencurigai bahwa ada agenda tersembunyi di balik penerapan BPJS Kesehatan KRIS, yaitu dorongan dari pihak asuransi swasta.
Baca juga: DPR RI Tegaskan Pasien BPJS Kesehatan Belum Sehat Tidak Boleh Dipulangkan Rumah Sakit
"Kenapa sekarang membicarakan asuransi swasta lagi? Ini seperti ada 'hengki pengki' dengan asuransi swasta," tegas Irma.
Irma mengungkapkan kekhawatirannya bahwa asuransi swasta ingin masuk ke dalam sistem kesehatan Indonesia melalui program KRIS.
"Saya terus terang, saya stressing ke Menteri Kesehatan, jangan-jangan asuransi swasta mau masuk, kemudian KRIS ini dilaksanakan. Itu tidak boleh, dan kami di Komisi IX DPR serta Fraksi Partai NasDem akan menentang itu," tegasnya lagi.
Menurut Irma, pelayanan kesehatan masyarakat harus dijamin oleh konstitusi dan dilaksanakan oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan.
"Jangan sampai BPJS Kesehatan dibakar. Hari ini, semua orang yang tadinya tidak bisa rawat inap, karena ada BPJS sekarang sudah bisa rawat inap, walaupun belum sempurna," tukas Irma.
Baca juga: DPR RI: Bedakan Perlakuan Peserta BPJS Kesehatan yang Enggan dan Tak Mampu Bayar
Selain itu, Irma juga menyoroti dampak negatif dari wacana KRIS yang akan memangkas jumlah kasur di setiap kamar.
"Yang sebelumnya kelas tiga memiliki 12 kasur per kamar, karena program KRIS ini akan dipangkas menjadi empat kasur per kamar," jelasnya.
Legislator yang akan kembali duduk di kursi Senayan Jakarta pada periode 2024-2029 ini khawatir bahwa pengurangan jumlah kasur tersebut akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Warga bisa kesulitan mendapatkan kamar rawat inap karena kurangnya kuota kasur di setiap rumah sakit," kata Irma.
Irma menegaskan bahwa pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat miskin karena itu adalah tanggung jawab pemerintah.
"Jangan sampai membuat kegaduhan yang akibatnya pemerintah mengabaikan konstitusi," pungkasnya.
Kontroversi seputar penerapan BPJS Kesehatan KRIS ini terus berkembang, dan perhatian serta aksi lebih lanjut dari pemerintah dan legislatif diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat luas, terutama kalangan yang kurang mampu. (SG-2)