Humaniora

Pembajakan Buku di Tanah Air: Tantangan yang Tak Kunjung Usai

"Jika penerbit, di balik bisnisnya ada misi yang mulia untuk mencerdaskan bangsa, maka pantaskah pembiaran ini (pembajakan buku) terus dipelihara?"

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
20 Mei 2024
Ilustasri, Hari Buku Nasional dan masih maraknya aksi pembajakan buku yang merugikan penulis dan penerbit, (Ist)

BERSAMAAN dengan peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh 17 Mei, masyarakat Indonesia diingatkan kembali akan rendahnya tingkat literasi di Tanah Air serta masalah kronis yang terus menghantui dunia penerbitan yakni “Pembajakan buku”. 

 

Meskipun Hari Buku Nasional dan Hari Buku Sedunia yang jatuh pada 23 April dirayakan setiap tahunnya, gaung peringatan yang terkait buku tidak semeriah peringatan hari-hari nasional lainnya.

 

Dalam diskusi bertajuk "Jogja Melawan Pembajakan Buku" yang diadakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Yogyakarta dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Wakil Menkominfo Nezar Patria menyoroti penerbitan buku dan pembajakan yang kian marak. 

 

Baca juga: Hari Buku Sedunia, Duta Baca Kota Bandung Ajak Masyarakat Budayakan Membaca

 

Menurut Nezar, upaya untuk memberantas pembajakan buku belum menunjukkan hasil signifikan, meskipun berbagai langkah telah diambil.

 

Faktor Ekonomi dan Kesadaran Masyarakat

 

Pembajakan buku di Indonesia terus terjadi karena faktor ekonomi dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hak cipta. 

 

Buku bajakan yang murah menjadi pilihan bagi banyak pembeli, meskipun kualitasnya sering kali hanya berupa fotokopi. 

 

Hal ini sangat merugikan para penulis dan penerbit yang telah bekerja keras menciptakan karya mereka.

 

Baca juga: BRIN Hadirkan Buku Tentang UMKM Memasuki Era Digital dan Menuju Digitalisasi

 

Mahfuzah, Sekretaris Yayasan Obor Indonesia, menyatakan bahwa pembajakan buku berdampak langsung pada keberlangsungan penerbitan. 

 

"Tidak adanya penjualan buku berdampak langsung terhadap keberlangsungan dari penerbitan itu sendiri," ujarnya. 

 

Yayasan Obor Indonesia dan beberapa penerbit besar telah berupaya melawan pembajakan melalui berbagai cara, termasuk mendirikan Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI) untuk memfasilitasi akses legal terhadap buku.

 

Penegakan Hukum yang Lemah

 

Meski upaya telah dilakukan, Mahfuzah menyoroti kurangnya kesadaran masyarakat dan lemahnya penegakan hukum terkait hak cipta buku. 

 

PRCI telah berulang kali melaporkan kasus pembajakan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Bareskrim, namun tanggapan yang diterima sering kali tidak memuaskan. "Tidak ada hasil apa-apa," ujarnya.

 

Baca juga: Bank Indonesian Terbitkan Buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No.42

 

Fakta di lapangan mengindikasikan bahwa regulasi yang ada belum sepenuhnya mendukung pemberantasan pembajakan.

 

Peran Masyarakat dan Pemerintah

 

Mahfuzah menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menangkal pembajakan buku. 

 

"Masyarakat khususnya anak muda harus dapat menanamkan prinsip bahwa 'KEREN ketika membaca buku, malu ketika membeli buku PALS'," ujarnya. 


 

Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan lebih aktif dalam menyediakan bahan bacaan berkualitas dan terjangkau, serta menegakkan hukum secara tegas untuk melindungi hak cipta.

 

Nezar Patria menambahkan bahwa penerbitan buku tidak hanya memiliki sisi bisnis, tetapi juga misi ideal untuk mencerdaskan bangsa. 

 

"Jika penerbit, di balik bisnisnya ada misi yang mulia untuk mencerdaskan bangsa, maka pantaskah pembiaran ini (pembajakan buku) terus dipelihara?" tanyanya.

 

Dalam memperingati Hari Buku Nasional yang jatuh bulan 17 Mei, marilah kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat, bersama-sama menghargai dan melindungi hak cipta, demi masa depan literasi dan pendidikan di Indonesia yang lebih baik. (Fajar Ramadan/SG-2)