DI Rembang, Jawa Tengah (Jateng), dua tradisi kaya akan budaya siap melangkah menuju pengakuan nasional.
Setelah Batik Lasem dan tradisi Penjamasan Bendhe Becak Sunan Bonang berhasil ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Agustus 2024, kini giliran Pathol Sarang dan Laesan yang berada di garis depan.
Kedua tradisi ini akan diajukan pada tahun 2025, membawa harapan bahwa Rembang semakin diakui sebagai daerah yang kaya akan warisan budaya.
Baca juga: Dua Karya Budaya Kota Bandung Jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Tradisi Pathol Sarang dan Laesan bukan sekadar aktivitas rutin masyarakat, namun merupakan cerminan dari nilai-nilai, sejarah, dan kebersamaan yang telah bertahan selama berabad-abad.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang, yang berada di balik inisiatif pengajuan ini, telah menyiapkan kajian mendalam untuk mendukung pengakuan kedua tradisi tersebut sebagai WBTbI.
Pathol Sarang: Pertarungan Nelayan di Pesisir Laut
Pathol Sarang mungkin terlihat seperti olahraga fisik yang keras, menyerupai gulat atau sumo dari Jepang. Namun, di balik adu kekuatan fisik ini, tersimpan nilai-nilai lokal yang kuat tentang keberanian, ketangguhan, dan solidaritas.
Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun, terutama di kalangan para nelayan di Kecamatan Sarang.
Setiap tahun, Pathol Sarang digelar dalam rangkaian acara sedekah laut, sebuah ritual yang dilakukan masyarakat pesisir untuk mengungkapkan rasa syukur kepada laut yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Di atas pasir pantai, para lelaki dengan gagah berani saling berhadapan.
Baca juga: Menyelami Kekayaan Budaya Sunda di Saung Cepot, Kota Bandung
Mereka bukan hanya sekadar bertanding untuk menunjukkan kekuatan, melainkan juga untuk merawat identitas dan tradisi daerahnya.
Pathol Sarang tidak sekadar menjadi ajang olahraga, melainkan perayaan solidaritas dan kebanggaan sebagai komunitas pesisir yang kuat.
Laesan: Seni Gerak dan Musik yang Memukau
Di Kecamatan Lasem, Rembang, seni Laesan juga memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan Pathol Sarang yang lebih menunjukkan kekuatan fisik, Laesan menawarkan keindahan dan keunikan dalam seni gerak dan musik.
Laesan adalah perpaduan antara tarian dan iringan musik tetabuhan tradisional yang penuh makna.
Dalam setiap penampilannya, satu sosok utama, yang disebut Lais, tampil menari dengan gerakan khas, diiringi oleh tembang tradisional yang dilantunkan oleh para pengrawit dan penembang.
Uniknya, seluruh pelaku seni Laesan, mulai dari penari hingga musisi, semuanya adalah laki-laki.
Keberanian dan ketelitian dalam mengatur gerakan, musik, serta cerita yang dibawakan membuat Laesan menjadi pertunjukan yang menghibur sekaligus penuh nilai budaya.
Laesan adalah lebih dari sekadar tontonan; ia adalah warisan leluhur yang menyimpan kearifan lokal dan memupuk rasa cinta terhadap tradisi.
Perjalanan Menuju Pengakuan Nasional
Retna Diah Radityawati, Sub Koordinator Sejarah, Museum, dan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang, menyatakan bahwa pihaknya sudah memiliki kajian yang kuat untuk mendaftarkan kedua tradisi ini sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Baca juga: Jaga Warisan Budaya Dunia, Pemkot Sawahlunto Berguru ke Yogyakarta
“Tahun depan, kami mengajukan untuk seni Pathol dan Laesan. Keduanya sudah memiliki kajiannya,” ujar Retna saat ditemui usai mendampingi Balai Pelestari Kebudayaan di Warugunung, Rabu (4/9), sebagaimana dilansir situs Pemprov Jateng.
Proses pengajuan ini tidak hanya melibatkan kajian akademik, namun juga pendataan pelaku budaya melalui Data Pokok Kebudayaan (Dapobud).
Para pelaku budaya, seperti nelayan yang terlibat dalam Pathol Sarang dan para penari serta musisi Laesan, memainkan peran penting dalam pengajuan ini.
Menurut Retna, identitas mereka harus didata dengan seksama karena mereka adalah penggerak utama pelestarian tradisi.
Sebelumnya, Batik Lasem dan tradisi Penjamasan Bendhe Becak Pusaka Sunan Bonang telah lebih dulu berhasil diakui sebagai WBTbI.
Pengakuan ini menjadi kebanggaan bagi masyarakat Rembang dan menambah motivasi untuk terus melestarikan warisan budaya lainnya.
Pada Agustus 2024, kedua tradisi ini bersama 272 budaya lainnya dari seluruh Indonesia berhasil ditetapkan sebagai WBTbI oleh Kemendikbudristek. (SG-2)