INDONESIA menjadi contoh bagi dunia, pasalnya, saat ini, telah memiliki 1.100 Internet Service Provider (ISP). Jumlah itu tidak dimiliki oleh negara lain di dunia.
“Kita dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, bahkan telah menghasilkan produk dalam negeri seperti access point nirkabel, seperti Vol.Tech," ujar Wakil Rektor Institut Teknologi Tangerang Selatan Onno W Purbo, dalam webinar bertajuk Connecting the Unconnected: Mengatasi Kesenjangan Konektivitas Internet, di Jakarta.
Pada kegiatan CIPS DigiWeek 2024 yang digelar Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada 15-19 Juli 2024 itu, hadir juga sebagai pembicara Kepala Divisi Layanan Teknologi Informasi untuk Masyarakat di Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) Kominfo, R. Sri Sanggrama Aradea, dan Pegiat internet pedesaan Andri Johandri, serta Site Regulation & Government Relation PT XL Axiata Benny Herlambang.
Lebih lanjut, Onno mengatakan, konektivitas internet di Indonesia menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui literasi digital.
Meskipun masih menemui tantangan besar, Indonesia, menurutnya, menjadi contoh bagaimana sebuah negara mampu menyambungkan seluruh wilayah pelosoknya dengan jaringan internet yang terjangkau dengan melibatkan masyarakat itu sendiri.
Baca juga: Diskominfo Kota Bandung Luncurkan Program Ngulik untuk Tingkatkan Literasi Teknologi
“Segala tantangan dalam menyediakan jaringan internet merupakan peluang bagi Indonesia. Dengan segala keterbatasan, banyak relawan di berbagai daerah yang kemudian memiliki inisiatif untuk menghadirkan jaringan internet ke pedesaan,” imbuh Onno.
Inisiatif itu, sambungnya, pada akhirnya mendorong pemerintah untuk turun tangan dalam memperluas jaringan internetnya.
Pakar teknologi informasi itu pun mengisahkan bagaimana upaya tim Andri Johandri dalam menyambungkan internet ke 211 desa dengan menggunakan fiber optik di Pemalang. Usaha tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerintah daerah dengan menyambungkan akses ke seluruh desa di Jawa Tengah.
Baca juga: DPR Siap Gelar Rapat dengan Kemenkominfo Bahas Kehadiran Starlink di Indonesia
International Telecommunication Union (ITU) dalam laporannya pada 2021 menyebut, hanya 30% wilayah Indonesia bagian timur yang menikmati cakupan jaringan 4G dengan koneksi stabil. Sementara, masih ada 19% sekolah di Indonesia belum memiliki akses internet.
Biaya mobile broadband yang masih tinggi juga menghambat akses internet bagi 10,2% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang banyak di antaranya adalah petani kecil.
Infrastruktur di pedesaan
Berbagai upaya terus dilakukan untuk memperluas akses digital demi meningkatkan daya saing dan inklusivitas digital di seluruh Indonesia. Beberapa upaya yang sudah dilakukan adalah melalui pengembangan infrastruktur jaringan BTS seluler, peningkatan kapasitas satelit melalui program SATRIA, termasuk pengenalan layanan internet satelit Starlink dari SpaceX.
Terkait hal itu, R. Sri Sanggrama Aradea menegaskan pentingnya kolaborasi pemerintah dan swasta dalam mendorong inklusi digital. Salah satu bentuk kolaborasi yang memungkinkan adalah melalui penyediaan jaringan internet di seluruh pelosok negeri.
Dia menyebut, salah satu tantangan terbesar pembangunan infrastruktur digital di daerah terpencil adalah ketersediaan infrastruktur inti, yaitu listrik. Ini karena layanan internet lewat metode apa pun, termasuk jaringan BTS seluler, membutuhkan pasokan Listrik.
"Saat ini BAKTI sedang mendorong skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) untuk potensi pengadaan dalam skala besar. Kami mengundang perusahaan swasta untuk merancang solusi jaringan digital agar memperkuat sinergi antara pemerintah dan sektor swasta," ujar Aradea.
Sementara itu, pegiat internet pedesaan Andri Johandri menyebut, hambatan terbesar di daerah pedesaan adalah menentukan provider atau penyedia jaringan internet.
Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah untuk memberlakukan peraturan yang jelas terkait transformasi digital di pedesaan. Penyediaan koneksi internet di pedesaan perlu diikuti dengan penguasaan literasi digital.
"Kami mulai dari tingkat SD, SMP, SMA dengan koneksi apa adanya. Kami mengajarkan UMKM dan ibu-ibu untuk melindungi anak-anak dari predator,” ungkap Andri.
Di sisi lain, Site Regulation & Government Relation PT XL Axiata Benny Herlambang mengemukakan, peran strategis industri telekomunikasi dalam mendukung agenda pemerintah untuk meningkatkan penetrasi internet, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
"Kami juga menyadari banyak kendala dalam membangun infrastruktur melalui jaringan akses, seperti BTS. Untungnya, BAKTI dapat menjadi mediator sehingga kami dapat melayani masyarakat di daerah yang sebelumnya sulit dijangkau. Model ini dapat berkembang bukan hanya melalui BAKTI tetapi juga melalui partisipasi aktif masyarakat lokal di berbagai daerah,” jelasnya.
Benny mengemukakan harapannya untuk melihat perubahan positif dalam penggunaan internet yang bijak dan produktif di Masyarakat. Penggunaan internet yang bijak dan produktif berpotensi besar untuk memberikan manfaat ekonomi pendidikan, dan kesehatan yang signifikan.
CIPS DigiWeek adalah rangkaian acara yang diadakan secara tahunan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). Menurut Vera Ismainy dari CIPS, acara tersebut dimaksudkan memberi ruang terbuka bagi seluruh pemangku kepentingan untuk berdiskusi, bertukar gagasan, dan menyoroti berbagai tantangan dan isu bersama.
“Tujuannya adalah mendorong pengembangan solusi kebijakan yang konstruktif dan diskursus untuk menciptakan lingkungan digital yang inovatif dan inklusif bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara,” ujarnya.
Tahun ini, sambungnya, merupakan tahun kelima CIPS DigiWeek diadakan. Rangkaian acara diselenggarakan secara offline dan daring. (Ros/ SG-2)