HANYA 15% lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Penerbangan dari tahun 2020 sampai 2023 yang berhasil meniti karier di industri penerbangan.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Forum Komunikasi SMK Penerbangan Indonesia (FKSMKPI) Makmur Sukra saat bertemu dengan Komisi X DPR RI di Ruang Rapat Komisi X, Senayan, DPR RI, Jakarta, Rabu (20/3).
Makmur menjelaskan salah satu penyebabnya karena tidak selarasnya kurikulum di SMK Penerbangan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) dengan kurikulum Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Baca juga: Lulusan SMA dan SMK Diajak Lanjutkan ke Pendidikan Tinggi Vokasi di Poltekpar
Merespons hal itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan akan segera memanggil Kemendikbud-Ristek dan kementerian terkait lainnya guna menyusun kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri.
“FKSMKPSI mengatakan kebutuhan tenaga kerja lulusan SMK Penerbangan ada namun terhalang dengan regulasi yang ada di Kemenhub,” jelas Dede,
“Untuk itu, kami akan segera menggelar pertemuan dengan Kemendikbud-Ristek dan instansi terkait,” ungkapnya.
Selain itu, guna meningkatkan keterampilan bagi para SDM terkait, Dede mengatakan Kemendikbud-Ristek perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam memfasilitasi upaya pembinaan berkelanjutan bagi satuan pendidikan kejuruan.
Kerja sama tersebut harus melibatkan berbagai aspek, termasuk pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha dunia industri (DUDI), peningkatan keterampilan bagi pendidik dan peserta didik, serta revitalisasi sarana dan prasarana pendidikan.
Baca juga: Bangun Sektor UMKM Tangguh, Perlu Hubungan Kuat dengan Sektor Industri
“Sebenarnya masalah seperti ini tidak hanya terjadi di SMK Penerbangan tetapi hampir di semua sekolah kejuruan. Karenanya kami (Komisi X) mendorong Kemendikbud-Ristek untuk bekerja sama dengan K/L teknis, antara lain Kemenhub dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian ketenagakerjaan terkait pengembangan kurikulum, standardisasi lulusan pendidikan kejuruan/vokasi, dan daya serap lulusan di DUDI,” jelasnya.
“Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja,” tutup Dede.
Sebelumnya, Makmur mengatakan penyebab rendahnya serapan lulusan SMK Penerbangan yang meniti karir tersebut, di antaranya, karena lulusan SMK Penerbangan tidak memiliki Sertifikat Kecakapan Teknisi (Basic License).
Selain itu, industri penerbangan dalam memberikan perhatian (link and match) kepada SMK Penerbangan belum maksimal, dan juga industri penerbangan sejak tahun 2016 lebih memilih lulusan Diploma 3 ketimbangan lulusan SMK.
Kemudian, adanya regulasi yang mengharuskan calon teknisi Pesawat Wajib memiliki Basic Certificate (A1, A2, A3, A4, C1, C4). Di sisi lain, kurikulum di SMK Penerbangan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud-Ristek belum dapat diakui oleh Kementerian Perhubungan.
Baca juga: Kemenperin Lanjutkan Program Restrukturisasi Mesin untuk Majukan Industri Furnitur
SMK Penerbangan juga belum menjalankan kurikulum industri (AMTO), sedangkan regulasi di Kemenhub mengharuskan alumni yang akan bekerja di bidang perawatan pesawat terbang wajib menjalani diklat selama 3.000 jam atau setara 18 bulan.
Kemudian dari sisi sarana dan prasarana, bahwa kondisi SMK Penerbangan di Indonesia sebanyak 75 persen sekolah belum memadai.
Perusahaan industri penerbangan, juga enggan memberikan scrap komponen pesawat bekas kepada SMK penerbangan sebagai bantuan alat praktik, dan beberapa SMK Penerbangan tidak mampu untuk membeli komponen bekas dan alat tes komponen pesawat dikarenakan harga yang relatif mahal. (SG-2)