KEMENTERIAN Perindustrian (Kemenperin) gencar meningkatkan kemampuan dan keterampilan para pelaku industri fesyen, khususnya para perajin batik, di tengah maraknya produk fesyen impor dan batik printing yang dijual dengan harga murah.
Sejalan upaya itu, pada 13-17 Juli 2024, Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka ( Ditjen IKMA) Kemenperin bersinergi dengan Yayasan Batik Indonesia (YBI) menggelar Program Pendampingan Teknis Produksi Pewarnaan Alam di Sentra Industri Kecil Menengah (IKM) Batik Tasikmalaya, di Gedung Pusat Pengembangan Industri Kerajinan Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Acara tersebut juga merupakan bagian kegiatan yang diadakan dalam rangka menyambut Hari Batik Nasional yang digagas dan dilaksanakan bersama YBI.
Baca juga: Kemenperin Dorong IKM Batik Rebut Pasar Seragam Haji Nasional
Sebanyak 25 peserta perajin batik diberikan pengetahuan dan keterampilan mengenai teknik pewarnaan alam, sekaligus cara pemasaran batik.
“IKM harus mengenal bahwa zat kimia yang selama ini mereka pakai dapat menghasilkan limbah yang harus diolah ulang dengan biaya tinggi. Sebab itu, kami perkenalkan dengan zat warna alam misalnya dari daun atau kulit pohon jati, daun indigo, kulit pohon mangga, dan sebagainya,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita di Jakarta, Selasa (16/7).
Penggunaan warna alam di industri batik, lanjutnya, membutuhkan waktu produksi yang lebih panjang. Hal terpenting dalam penggunaan zat warna alam ini, yaitu adanya pencatatan hasil warna yang dihasilkan dari komposisi bahan baku yang tepat.
Baca juga: Mendag Zulkifli Hasan Apresiasi Sentra Batik Gunung Pati di Semarang
“Inilah tantangannya, bagaimana bisa memformulasikan berbagai level warna dari bahan baku alam,” imbuh Reni.
Rangkul gen Z
Lebih lanjut, ia menjelaskan, Kemenperin terus mendampingi Industri batik dalam negeri untuk terus beradaptasi agar dapat menguasai pasar dalam negeri maupun mancanegara, khususnya pada segmen pasar anak muda seperti generasi millenial dan generasi Z dengan karakteristik dan kebutuhan beragam.
“Oleh karena itu,kami terus menggaungkan pentingnya pengenalan teknik fesyen yang berkelanjutan, salah satunya yaitu dengan memanfaatkan pewarna alam untuk industri batik,” kata Reni lagi.
Baca juga: Gandeng Berbagai Pihak Kemenperin Pacu Kualitas SDM Industri Kerajinan dan Batik
Menurutnya, IKM batik harus semakin adaptif tanpa mengesampingkan pakem sejarah pembuatannya dan dampak yang ditimbulkan.
“Saat ini memang merupakan era untuk lebih memaksimalkan penggunaan pewarna alam yang dapat memberikan nilai tambah pada batik, sekaligus untuk menekan kerusakan lingkungan,” ungkapnya.
Ditjen IKMA tak henti mendorong para pelaku IKM fesyen, termasuk IKM batik untuk mulai beralih ke konsep fesyen yang inklusif dan berkelanjutan (sustainable fashion).
Konsep ini, lanjut Reni, mengedepankan nilai-nilai dari seluruh aspek atau pihak yang terlibat dalam industri tersebut, baik aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Dengan mengedepankan konsep berkelanjutan tersebut, industri batik dapat lebih bertahan dan melawan arus tren industri fesyen yang serba cepat dan menyumbang banyak limbah,” imbuhnya.
Selain itu, katanya lagi, memberikan nilai tambah dan citra produk seiring dengan meningkatnya green lifestyle dan green consumerism.
Ia juga menyampaikan bahwa perkembangan gaya hidup sehat dan tren penggunaan produk yang ramah lingkungan semakin digandrungi oleh para generasi muda, khususnya generasi millenial dan generasi Z.
“Berbagai gaya hidup sehat, aktivitas olahraga, dan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan telah menjadi budaya generasi muda yang juga harus diperhatikan oleh para pelaku industri,” tuturnya.
Dalam konteks industri batik, konsep tersebut bisa diaplikasikan di berbagai rantai pasok, misalnya di sektor produksi (hulu) yaitu dengan menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Sementara di sektor hilir, yaitu dengan memanfaatkan limbah sisa produksi fesyen.
“Kami terus mengenalkan industri batik yang ramah lingkungan kepada IKM batik binaan Ditjen IKMA, sehingga dapat menekan jumlah limbah padat dan cair dari industri pakaian dan tekstil,” tutup Dirjen IKMA. (SG-1)