Humaniora

Dinamika Media dan Iklan di 2025: Adaptasi atau Tertinggal?

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
05 Februari 2025
CEO Volare Advertising Network, Pradhana Harsaputera Sidharta. (Ist)

INDUSTRI periklanan dan media massa tengah menghadapi tantangan besar di era digital yang terus berkembang pesat. 

 

Perubahan perilaku audiens serta pergeseran preferensi klien menjadi faktor utama yang mendorong media dan agensi iklan untuk terus beradaptasi.

 

Dalam diskusi Local Media Community (LMC) 2025 yang digelar pada Selasa (4/2/2025), CEO Volare Advertising Network, Pradhana Harsaputera Sidharta mengungkap bagaimana lanskap periklanan berubah secara drastis akibat tren digitalisasi. 

 

Baca juga: Perubahan Dinamis Media Lokal di Era Digital: Strategi Bertahan di Tahun 2025

 

Ia menyoroti bahwa strategi pemasukan media kini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan konsumen yang dinamis.

 

Audiens Berubah, Iklan Harus Berinovasi

 

Pradhana menjelaskan bahwa periklanan tidak lagi sekadar menyebarkan pesan ke khalayak luas, tetapi harus memahami perubahan preferensi audiens yang terjadi secara cepat. 

 

Salah satu contoh nyata adalah dampak konser Coldplay di Jakarta yang mengubah tren pemasaran dalam sekejap.

 

“Saat Coldplay menggelar konser di Jakarta, tren pasar langsung berubah. Dalam hitungan menit, produk-produk di Malaysia menggunakan lirik lagu Coldplay dalam unggahan mereka hingga menjadi viral,” jelas Pradhana.

 

Baca juga: Jurnalisme Konstruktif Sajikan Berita dengan Solusi, Bukan Sensasi

 

“Bahkan, ada produk pengaman yang memakai gambar Coldplay serta kampanye Idul Adha yang mengusung konsep serupa,” ungkapnya.

 

Tren ini menunjukkan bahwa brand harus semakin cerdas dalam memanfaatkan momentum agar tetap relevan di tengah persaingan industri yang ketat.

 

Diskusi Local Media Community (LMC) 2025 yang digelar di Whiz Luxe Hotel, Surabaya, pada 4-5 Februari 2024.

 

Strategi Baru Agensi Iklan

 

Dulu, peran utama agensi periklanan adalah menyebarluaskan iklan dengan harapan pesan dapat tersampaikan ke audiens. 

 

Namun, di era digital, strategi ini tidak lagi efektif. Kini, agensi harus lebih kreatif dalam menyesuaikan format iklan dengan kebiasaan audiens yang berbeda-beda.

 

“Audiens selalu berubah, sehingga kanal periklanan pun ikut berevolusi. Misalnya, banyak brand besar kini mulai meninggalkan e-commerce tradisional dan beralih ke kanal mereka sendiri,” paparnya. 

 

“Selain itu, video pendek semakin menjadi pilihan utama karena lebih menarik bagi konsumen,” jelas Pradhana.

 

Ia juga menekankan bahwa Generasi Z semakin mengandalkan TikTok sebagai mesin pencarian utama. 

 

Hal ini memaksa agensi iklan untuk memperbarui strategi pemasaran setiap bulan agar tetap relevan dengan tren yang berkembang.

 

Peluang Besar bagi Media Lokal


Di tengah disrupsi digital, media lokal ternyata masih memiliki peluang besar. Menurut Pradhana, media berbasis komunitas tetap menjadi daya tarik bagi brand yang ingin menjangkau target pasar spesifik.

 

“Jika brand ingin menyasar ibu-ibu yang gemar memasak di Surabaya, maka strategi terbaik adalah memperkuat konten kuliner lokal di wilayah tersebut,” katanya.

 

Baca juga: Dewan Pers Gelar Seminar Bahas Bagaimana Teknologi AI Mengancam Jurnalisme

 

Media massa berbasis online juga didorong untuk memperkuat kehadiran mereka di media sosial guna meningkatkan eksposur dan membangun branding yang lebih kuat.

 

“Saat ini, brand lebih memilih media yang memiliki jangkauan luas,” ucap Pradhana. 

 

“Oleh karena itu, media lokal harus mampu berinovasi dengan menciptakan kanal distribusi baru serta memanfaatkan media sosial secara maksimal,” pungkasnya.

 

Dengan lanskap media yang semakin dinamis, baik agensi periklanan maupun media lokal harus terus beradaptasi dan berinovasi. 

 

Tanpa perubahan yang cepat dan strategis, mereka berisiko tertinggal di tengah persaingan yang semakin sengit. (SG-2)