PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, resmi dinyatakan pailit, menandai guncangan besar bagi industri tekstil nasional.
Kebangkrutan ini mengundang kekhawatiran mendalam mengenai masa depan sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Jawa Barat, Shobirin Hamid, menegaskan bahwa peristiwa ini lebih dari sekadar masalah internal perusahaan.
Baca juga: Industri Tekstil Indonesia Terpuruk, DPR Minta Reformasi Sektor Hilir
Kebangkrutan Sritex Tamparan Keras Industri Tekstil Nasional
"Kebangkrutan Sritex adalah tamparan keras bagi industri tekstil kita dan juga bagi pemerintah. Ini menunjukkan lemahnya ekosistem dan pengelolaan sektor ini," ujar Shobirin dalam wawancara dengan Sokoguru.id.
Shobirin menjelaskan bahwa krisis yang dialami Sritex telah berlangsung lama dan diperburuk oleh pandemi Covid-19 serta persaingan ketat dengan produk tekstil impor.
Perusahaan ini dilaporkan memiliki utang sekitar Rp25 triliun, sementara asetnya hanya Rp15 triliun, menyisakan defisit Rp10 triliun.
Baca juga: PHK Massal di Industri Tekstil, Sinyal Bahaya untuk Ekonomi Indonesia
Agresivitas manajemen dalam melakukan ekspansi, termasuk akuisisi pabrik baru, justru memperberat beban finansial.
"Dampaknya, ketika situasi ekonomi melemah, Sritex tidak mampu bertahan," tambah Shobirin. Meskipun perusahaan telah berjuang sejak 2018, pandemi memperparah kondisi mereka.
Selain itu, lonjakan impor tekstil murah dari China juga semakin menyulitkan perusahaan lokal bersaing di pasar domestik.
Shobirin mengkritisi lemahnya regulasi perdagangan di Indonesia, yang menurutnya belum cukup untuk melindungi industri lokal.
Ia membandingkan dengan Vietnam dan Thailand yang lebih ketat dalam melindungi pasar mereka.
"Tanpa adanya aturan yang kuat, industri lokal akan terus tertekan," jelasnya.
Lebih lanjut, Shobirin mencatat bahwa industri tekstil nasional juga tertinggal dalam hal teknologi.
Baca juga: Cegah Peningkatan Angka PHK, Gus Muhaimin Minta Pemerintah Dukung Industri Tekstil
Banyak pabrik masih menggunakan mesin berusia lebih dari 30 tahun, yang mengurangi produktivitas dan meningkatkan biaya produksi.
Meskipun pemerintah telah memberikan insentif untuk pembaruan mesin, langkah tersebut dinilai belum cukup.
Shobirin menyarankan agar pendidikan dan pelatihan di sektor tekstil ditingkatkan, serta perlunya lebih banyak perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan yang fokus pada industri tekstil.
Ia juga mengusulkan pembentukan Badan Industri Tekstil Nasional untuk memberikan arahan strategis dan memperkuat industri dari hulu ke hilir.
Ia mendesak agar pemerintah segera mengesahkan undang-undang sandang sebagai payung hukum bagi industri tekstil, agar kebijakan ini dapat memberikan kepastian dan arah bagi perkembangan sektor ini di masa depan.
Menyikapi kebangkrutan Sritex, Shobirin mengingatkan bahwa hal ini harus dijadikan momentum introspeksi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan.
Ia memperingatkan bahwa jika masalah ini tidak segera ditangani, dampaknya akan dirasakan oleh perusahaan tekstil kecil dan menengah.
"Sritex adalah perusahaan besar. Jika mereka bisa tumbang, bagaimana dengan nasib perusahaan kecil dan menengah? Pemerintah harus segera bertindak sebelum terlambat," tegasnya.
Sebagai solusi strategis, Shobirin memperkenalkan konsep “Sapta Asa Ikatsi” yang mencakup tujuh langkah utama.
Tujuh langkah meliputi upaya menyelamatkan industri tekstil, termasuk penguatan ekosistem lokal, adaptasi teknologi ramah lingkungan, dan harmonisasi kebijakan antar-kementerian.
"Industri tekstil bukan hanya sektor ekonomi, tetapi juga menyangkut hajat hidup jutaan orang,” kata Shobirim.
“Saat ini, sekitar 4 juta pekerja bergantung pada sektor ini. Jika industri tekstil terus terpuruk, dampaknya akan sangat luas, bukan hanya pada ekonomi, tetapi juga sosial dan budaya," pungkasnya.
Dengan situasi yang semakin mendesak, harapan untuk memperbaiki kondisi ini masih ada.
Kebangkrutan Sritex diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pihak dalam memperjuangkan masa depan industri tekstil Indonesia. (SG-2/Fajar Ramadan)