Ekonomi

RI dan Malaysia Berjuang Tolak The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR)

EUDR merupakan komitmen untuk menilai langkah regulasi dan non-regulasi sisi permintaan tambahan dan memastikan tingkat playing field dan pemahaman bersama tentang rantai pasokan bebas deforestasi.

By Deri Dahuri  | Sokoguru.Id
26 April 2024
Perkebunan kelapa sawit berkontribusi dalam ekonomi negara, melalui pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, tapi dinilai turut menjadi sebab deforestasi (Ist/betahita.id)

PENGATURAN Uni Eropa (UE) mengenai produk bebas deforestrasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR), yang pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019.

 

EUDR merupakan komitmen untuk menilai langkah regulasi dan non-regulasi sisi permintaan tambahan dan memastikan tingkat playing field dan pemahaman bersama tentang rantai pasokan bebas deforestasi.

 

Selain itu, EUDR bwertujuan meningkatkan transparansi rantai pasokan, dan meminimalkan risiko deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan impor komoditas ke UE. 

 

Baca juga: Kebijakan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) Disorot dan Diminta Ditunda

 

Komitmen ini juga telah dikofimasi dengan kebijakan European Green Deal serta EU Biodiversity Strategy and the Farm to Fork Strategy, dan kemudian EUDR ditetapkan oleh UE pada 29 Juni 2023.

 

Pada perkembangannya, regulasi tersebut telah menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertentangan dari berbagai kalangan dan negara karena proses pembahasannya yang dinilai tidak melibatkan negara-negara penghasil dari komoditas yang diatur dalam ketetapan EUDR tersebut yakni kayu (timber), sawit, kopi, kakao, soya bean, karet, dan cattle

 

Selain itu, EUDR juga tidak memperhatikan kondisi kemampuan setempat seperti petani kecil, peraturan negara produsen yang berdaulat seperti ketentuan skema sertifikasi sawit yang berkelanjutan, hingga ketentuan mengenai perlindungan data pribadi.

 

Baca juga: Negara G20 Sepakat Perkuat Kerja Sama Atasi Tantangan Perekonomian Global

 

Setelah surat pertama yang ditandangani oleh 14 negara pada tanggal 27 Juli 2022, keberatan terhadap pemberlakuan EUDR kembali disuarakan oleh like-minded countries dalam surat yang ditandatangani duta besar atau perwakilan dari 17 negara pada tanggal 7 September 2023. 

 

Like-minded countries berpandangan bahwa upaya penanganan isu deforestrasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim ada dalam kesepakatan multilateral yaitu principle of common but differentiated responsibilities.

 

EUDR juga dinilai melakukan diskriminasi dan menghukum terhadap 7 komoditas dalam EUDR, serta berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO).

 

Indonesia dan Malaysia Ungkap Keberatan EUDR

 

Indonesia bersama Malaysia juga menjadi negara yang turut menyuarakan keberatan terhadap kebijakan EUDR tersebut.

 

Indoneia dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, sedangkan Malaysia dipimpin Deputi PM Malaysia, yang merangkap sebagai Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof.

 

Baca juga: Terapkan Tumpang Sari, Kementan Gencarkan Tanam Padi Gogo di Perkebunan Kelapa Sawit

 

Sebagaimana dilansir situs Kemenko Perekonomian bahwa keduannya telah melakukan misi bersama (joint mission) ke Brussels pada bulan Mei 2023 lalu untuk bertemu dengan sejumlah tokoh penting di Komisi Eropa dan Anggota Parlemen Uni Eropa yang menangani ketentuan EUDR. 

 

Dalam kunjungan tersebut disampaikan mengenai keberatan dan potensi implikasi dari ketentuan EUDR tersebut apabila diterapkan.

 

Sepakat Bentuk Joint Task Force

 

Sebagai tindak lanjut dari kunjungan ke UE tersebut, pihak UE sepakat untuk membentuk suatu mekanisme dialog yang diusulkan pihak Indonesia dan Malaysia dalam suatu wadah yang disebut Joint Task Force (JTF).

 

JTF akan membahas berbagai concern dan kehawatiran negara produsen terkait dengan rencana pelaksanaan EUDR yang akan mulai berlaku pada Januari 2025. 

 

Kick off meeting dari JTF tersebut telah dilakukan pada 4 Agustus 2023 dan pertemuan kedua telah dilakukan pada 2 Februari 2024.

 

Dalam JTF tersebut terdapat lima fokus pembahasan mulai dari masuknya petani kecil dalam mata rantai pasokan komoditas, gap analysis antara ketentuan EUDR dengan standar nasional (ISPO dan MSPO).

 

Selain itu, juga dibahas alat ketertelusuran yang dikembangkan di negara produsen (traceability tools), country benchmarking yang hingga kini belum tersedia metodologinya dan sumber data yg digunakan, hingga perlindungan data pribadi.

 

Lebih lanjut, pemerintah Indonesia juga tengah melakukan upaya lain dengan menyusun platform digital yang berupa National Dashboard untuk memperkuat rantai pasok pekebun rakyat dan industri komoditas-komoditas yang terdampak oleh kebijakan EUDR.

 

Selain itu, sebanyak 27 Senator Amerika Serikat (AS) telah bersurat kepada Perwakilan Dagang AS Katherine Tai untuk menyatakan kekhawatiran tentang dampak negatif dari kebijakan EUDR, terutama bagi produsen pulp and paper Amerika Serikat.

 

Surat tersebut menyoroti persyaratan yang ketat dari EUDR, terutama mengenai traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi oleh industri pulp and paper di AS.

 

Para Senator tersebut meminta Katherine Tai untuk terus berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di UE dan mendorong UE untuk mengakui bahwa AS memiliki standar regulasi yang kuat untuk melindungi keberlanjutan hutan di Amerika Serikat. 

 

Respons AS dinilai menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan EUDR sangatlah merugikan terutama bagi para petani dan merupakan kebijakan yang diskriminatif.

 

Dari pihak UE sendiri, keberatan juga telah disampaikan oleh Asosiasi Utama Petani di Uni Eropa, Copa Cogeca, yang mengatakan ketidakmungkinan untuk dapat melaksanakan ketentuan dalam EUDR pada waktunya. (SG-2)