Ekonomi

Industri Hilir Kelapa Berpotensi Tingkatkan Ekspor dan Perkuat Pasar Internasional

Sabut kelapa, salah satu produk turunan kelapa yang berpotensi besar namun belum digarap maksimal. UMKM kesulitan memenuhi permintaan pasar internasional, karena keterbatasan kapasitas produksi dan daya saing harga. 
 

By Rosmery C Sihombing  | Sokoguru.Id
01 Oktober 2024
Sejumlah narasumber dari berbagai asosiasi industri kelapa hadir untuk memberikan pandangan terkait tantangan dan peluang hilirisasi kelapa ke depan, pada acara  Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa yang diselenggarakan  Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Senin (30/9) di Jakarta. (Dok. Tangkapan layar Sokoguru/Fajar Ramadan)
 

INDUSTRI hilir kelapa Indonesia dinilai memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekspor dan memperkuat daya saing di pasar internasional. 

 

Sejumlah produk turunan kelapa seperti briket, sabut kelapa, nata de coco, serta nira kelapa diharapkan mampu menambah nilai ekonomi dari industri kelapa nasional, yang saat ini mulai mengalami perkembangan pesat.

 

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI),  Amrizal Idroes, dalam acara Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa yang diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Senin (30/9) di Jakarta.

 

Baca juga: Industri Makanan Eropa Butuh Kelapa Kering, Ini Potensi Bisnis untuk UKM Indonesia

 

“Industri kelapa, terutama di sektor hilir, berpotensi besar untuk berkontribusi pada ekonomi nasional.  Saat ini, sebagian besar produk turunan kelapa yang diekspor berasal dari industri yang tergabung di HIPKI, dan kami terus berupaya meningkatkan hilirisasi untuk memperluas nilai tambah produk kelapa," ujarnya yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Bappenas.


Sejumlah narasumber dari berbagai asosiasi industri kelapa hadir untuk memberikan pandangan terkait tantangan dan peluang hilirisasi kelapa ke depan. 

 

Pembicara itu dii antaranya Wakil Ketua Umum HIPKI Amrizal Idroes, Ketua Umum HIPKI Cepi Mangkubumi, Ketua Gabungan Pengusaha Nata de Coco Indonesia (Gapni) Derri Kusuma, Ketua Bidang Organisasi Himpunan Pengusaha Briket Arang Kelapa Indonesia (Hipbaki) Asep Jembar Mulyana, dan Pelaku Usaha Nira Muhammad Maulana Sidik.

 

Baca juga: Mendag Lepas Ekspor Produk Kelapa Lampung Senilai Rp25,30 Miliar


Lebih lanjut, Amrizal menjelaskan, pengolahan kelapa di Indonesia sudah berkembang, namun ada banyak ruang untuk perbaikan terutama dalam hal meningkatkan volume dan kualitas ekspor produk-produk kelapa.

 

Ia juga menekankan pentingnya peta jalan yang disusun oleh Bappenas dalam memandu arah perkembangan industri kelapa di masa mendatang. Menurutnya, keberhasilan peta jalan tersebut akan sangat menentukan masa depan industri pengolahan kelapa di Indonesia. 

 

"Peta jalan ini adalah langkah yang sangat ditunggu oleh para pelaku industri. Sebelumnya, upaya-upaya serupa sudah dilakukan, namun tidak berlanjut dengan baik. Dengan dukungan ini, kami berharap hilirisasi dapat berjalan lebih terarah," imbuh Amrizal.

 

Baca juga: Cocotech 2024: Presiden Soroti Potensi Besar Ekonomi Hijau Indonesia dari Kelapa


Sabut kelapa

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum HIPKI, Cepi Mangkubumi,  menyampaikan, salah satu produk turunan kelapa yang memiliki potensi besar namun belum digarap maksimal adalah sabut kelapa. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi menghasilkan 1,4 juta ton sabut kelapa per tahun, namun sebagian besar masih belum diolah secara optimal. 

 

"Sebagian besar produk sabut kelapa kita hanya diolah menjadi barang setengah jadi seperti coco fiber dan cocopeat, yang belum memiliki daya saing tinggi di pasar internasional," ungkapnya.

 

Cepi menjelaskanUMKM di sektor sabut kelapa sering kali kesulitan memenuhi permintaan besar dari pasar internasional karena keterbatasan kapasitas produksi dan daya saing harga. 

 

"India dan Sri Lanka masih menjadi pesaing utama kita dalam hal produk turunan sabut kelapa. Harga produk mereka lebih kompetitif, sementara di Indonesia banyak UMKM yang belum mampu memenuhi permintaan dalam jumlah besar," tambahnya. 

 

Ia berharap dengan adanya peta jalan hilirisasi kelapa, industri sabut kelapa di Indonesia dapat diperkuat sehingga UMKM mampu berdaya saing di pasar global.


Sementara itu,  Ketua Gapni, Derri Kusuma,menyoroti, potensi besar dari industri nata de coco yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Ia menyebutkan nata de coco, terutama yang diproduksi oleh UMKM, masih berfokus pada produk pangan, seperti minuman dan makanan olahan. 

 

"Padahal, di luar negeri, nata de coco juga banyak digunakan untuk produk non-pangan seperti bio-masker selulosa dan bio-leather," jelasnya.  

 

Derri mengakui, tantangan terbesar untuk industri nata de coco di Indonesia adalah keterbatasan teknologi dan akses pasar.

 

Menurutnya, saat ini, produksi nata de coco di Indonesia mencapai 2.100 ton per bulan, namun sebagian besar masih diproduksi oleh UMKM yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. 

 

"Kami masih menghadapi keterbatasan dalam hal kapasitas produksi dan teknologi. Sebagian besar produksi nata de coco dilakukan secara tradisional dengan peralatan yang belum memadai, sehingga kami sulit untuk memenuhi standar pasar internasional," ujarnya. 

 

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberikan pendampingan teknologi kepada para pelaku usaha nata de coco agar industri ini bisa berkembang lebih pesat dan berdaya saing global.


Di sisi lain, Ketua Bidang Organisasi Hipbaki, Asep Jembar, mengungkapkan, Indonesia saat ini merupakan produsen briket arang kelapa terbesar dan terbaik di dunia. 

 

"Kita adalah negara nomor satu dalam produksi briket arang sisha, dan hal ini berkat kualitas tempurung kelapa Indonesia yang unggul," ujarnya. 

 

Asep menambahkan bahwa industri briket arang kelapa telah berhasil memanfaatkan limbah kelapa secara maksimal, sehingga tidak ada tempurung kelapa yang terbuang. Industri briket arang kelapa di Indonesia sangat mandiri, baik dari segi teknologi maupun pasar. 

 

"Kita menggunakan 100% teknologi lokal, dan pasar internasional sangat bergantung pada produksi kita. Sampai saat ini, belum ada pesaing yang mampu menandingi kualitas briket arang kelapa Indonesia," jelas Asep. 

 

Ia berharap pemerintah terus mendukung industri ini agar Indonesia dapat mempertahankan posisinya sebagai produsen briket arang kelapa terbesar di dunia.

 

Salah satu pelaku usaha nira kelapa, Muhammad Maulana Sidik, juga memberikan pandangannya mengenai potensi nira kelapa sebagai komoditas ekspor. 

 

Menurutnya, produk turunan nira kelapa seperti gula kelapa dan coconut aminos memiliki pasar yang sangat besar, terutama karena permintaan global terhadap produk pangan sehat terus meningkat. 

 

"Gula kelapa memiliki indeks glikemik yang rendah, sehingga banyak diminati oleh pasar internasional. Selain itu, produk turunan lainnya seperti coconut aminos juga mulai populer sebagai pengganti kecap asin di pasar global," jelasnya.

 

Namun, Maulana juga mengungkapkan bahwa industri nira kelapa di Indonesia menghadapi tantangan besar terkait regenerasi tenaga kerja. 

 

"Banyak anak muda yang tidak tertarik menjadi penderes nira karena pekerjaan ini dianggap berat dan berisiko. Padahal, penderes adalah kunci utama dalam menjaga kelangsungan produksi nira kelapa," ujarnya. 

 

Ia berharap pemerintah dapat memberikan perhatian khusus pada masalah regenerasi penderes serta menyediakan varietas kelapa yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, mengingat cuaca yang tidak menentu juga mempengaruhi produksi nira. (Fajar Ramadan/SG-1)