HARGA minyak goreng rakyat, Minyakita, kembali memicu perhatian publik setelah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan laporan Kementerian Perdagangan (Kemendag), harga Minyakita kini mencapai Rp17.058 per liter di 82 kabupaten/kota, bahkan di 32 daerah harganya melonjak hingga Rp18.000 per liter.
Menanggapi fenomena ini, Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menilai pemerintah gagal mengendalikan harga Minyakita yang terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Baca juga: MinyaKita Harganya Naik dan Langka, Puan: Subsidi Harus Ringankan Beban Rakyat
“Sungguh miris, pemerintah tidak mampu mengontrol harga Minyakita. Padahal, Indonesia adalah produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia,” ujar politikus dari Fraksi PDI Perjuangan, Selasa (19/11).
Desak Tindakan Tegas
Mufti mendesak pemerintah untuk segera bertindak tegas terhadap pedagang maupun produsen minyak yang tidak mematuhi aturan HET.
Menurutnya, kelangkaan dan mahalnya harga Minyakita menjadi permasalahan yang terus berulang tanpa solusi konkret.
“Kalau perlu, cabut izin usaha mereka yang membandel dan menjual Minyakita jauh di atas HET,” tegas Mufti.
Selain itu, ia menilai Kementerian Perdagangan lamban dalam memastikan keberlanjutan pasokan Minyakita di pasar.
Baca juga: Diresmikan Pabrik Minyak Makan Merah Pertama di Indonesia
Ia meminta kementerian untuk memastikan produsen menjalankan komitmen mereka sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah.
Regulasi Harus Diimbangi Aksi Nyata
Mufti menyoroti bahwa regulasi saja tidak cukup. Pemerintah perlu membangun jembatan yang efektif antara produsen dan konsumen agar produk Minyakita tetap tersedia dan terjangkau bagi masyarakat.
“Pemerintah harus mengontrol dan memastikan ketersediaan Minyakita tetap sesuai HET, bukan hanya membuat aturan tanpa pengawasan yang jelas,” pungkasnya.
Baca juga: DPR Desak Pemerintah Sederhanakan Sistem Produksi Pangan untuk Capai Swasembada 2028
Kenaikan harga Minyakita ini kembali menjadi ujian bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.
Akankah langkah tegas terhadap pelanggaran ini segera diterapkan, atau masyarakat harus kembali menelan pil pahit? (SG-2)