Pengampunan Koruptor, Langkah Mundur Penegakan Hukum?

Namun, memasukkan koruptor dalam kategori ini adalah kesalahan besar. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang dampaknya dirasakan langsung oleh rakyat.

Author Oleh: Deri Dahuri
27 Desember 2024
Ilustrasi koruptor dalam penjaran. Wacana pengampunan bagi pelaku tindak pidana korupsi melalui mekanisme denda damai menimbulkan kontroversi tajam di tengah masyarakat. (Ist)

WACANA pengampunan bagi pelaku tindak pidana korupsi melalui mekanisme denda damai menimbulkan kontroversi tajam di tengah masyarakat. 

 

Pernyataan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas bahwa pengampunan tidak hanya dapat diberikan oleh Presiden, tetapi juga melalui kewenangan Jaksa Agung, menambah lapisan kompleksitas dalam diskusi ini. 

 

Di balik klaim bahwa denda damai adalah solusi untuk pemulihan aset negara, langkah ini justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini bentuk reformasi hukum ataukah sekadar upaya lunak terhadap koruptor?

 

Baca juga: Hari Antikorupsi Dunia 2024, Menag: Bersih dari Korupsi, Menuju Indonesia Bermartabat

 

Denda Damai: Solusi atau Peluang Manipulasi?

 

Denda damai, sebagaimana dijelaskan oleh Supratman, adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan pembayaran denda yang ditentukan oleh Kejaksaan Agung. 

 

Ide ini mungkin terdengar pragmatis, mengingat fokusnya pada pemulihan aset negara. 

 

Namun, masalah utamanya adalah potensi penyalahgunaan. 

 

Dengan memberi kewenangan besar kepada Jaksa Agung untuk memutuskan perkara melalui denda damai, sistem hukum berisiko kehilangan prinsip keadilan.

 

Penghentian perkara tanpa proses pengadilan berarti tidak ada transparansi atau akuntabilitas yang memadai. 

 

Baca juga: KPK Tahan Mantan Sekda Bandung dan Tiga Tersangka Lain Terkait Korupsi Bandung Smart City

 

Bagaimana publik bisa yakin bahwa mekanisme ini tidak akan menjadi celah bagi negosiasi rahasia atau bahkan korupsi dalam proses pengambilan keputusan? 

 

Selain itu, tanpa regulasi turunan yang jelas, seperti yang disebutkan Supratman, kebijakan ini hanya akan menjadi bola liar yang membahayakan integritas penegakan hukum.

 

Pemulihan Aset di Atas Segalanya?

 

Argumen bahwa denda damai lebih efektif dalam memulihkan aset negara juga patut dipertanyakan. 

 

Memang, pemulihan aset penting, tetapi apakah ini cukup untuk menggantikan efek jera yang semestinya diberikan oleh hukuman pidana? 

 

Menghukum koruptor bukan sekadar soal pengembalian uang negara, tetapi juga memberikan pesan tegas bahwa korupsi adalah kejahatan serius yang merusak fondasi bangsa.

 

Jika koruptor hanya dihadapkan pada opsi membayar denda untuk "menebus" kejahatan mereka, ini justru mengirimkan pesan bahwa kejahatan bisa dibeli. 

 

Ini bertentangan dengan semangat reformasi hukum dan pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi agenda besar pemerintah.

 

Hak Konstitusional yang Harus Dipertimbangkan

 

Pemberian pengampunan, baik melalui mekanisme denda damai maupun amnesti oleh Presiden, memang diatur dalam konstitusi. 

 

Namun, hak konstitusional ini tidak boleh digunakan secara sembrono.

 

Presiden Prabowo Subianto, sebagaimana disampaikan Supratman, akan bersikap selektif. 

 

Baca juga: KPK Roadshow Bus Tebar Semangat Anti-Korupsi di Bumi Parahyangan

 

Namun, janji ini harus diwujudkan dengan langkah konkret yang menjamin bahwa pengampunan tidak akan menjadi instrumen untuk melanggengkan impunitas.

 

Pengampunan kepada 44.000 narapidana, termasuk mereka yang terkait dengan UU ITE atau penghinaan kepala negara, mungkin memiliki argumen tertentu. 

 

Namun, memasukkan koruptor dalam kategori ini adalah kesalahan besar. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang dampaknya dirasakan langsung oleh rakyat. 

 

Apakah wajar memberikan pengampunan kepada mereka yang telah mencuri dari masyarakat?

 

Menunggu Arahan yang Tegas

 

Pemerintah dan masyarakat kini menunggu arahan Presiden Prabowo terkait implementasi kebijakan ini. 

 

Namun, sementara kita menunggu, perlu diingat bahwa langkah-langkah seperti ini, jika tidak diatur dengan hati-hati, dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum. 

 

Keadilan bukan sekadar soal pemulihan aset, tetapi juga soal menghormati hak-hak rakyat dan menjaga moralitas publik.

 

Harapan untuk Tegaknya Keadilan

 

Pengampunan bukan berarti menghapuskan dosa koruptor. Kebijakan seperti denda damai harus dirancang dengan batasan ketat, transparansi, dan akuntabilitas yang tinggi. 

 

Jika tidak, kita hanya akan melangkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi. 

 

Presiden dan pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa keadilan tetap menjadi prioritas utama, bukan menjadi barang dagangan.

 

Rakyat menunggu tindakan, bukan sekadar wacana. Karena di balik pengampunan, ada pertaruhan besar: kepercayaan masyarakat kepada negara. (SG-2)