SEKTOR usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia telah lama menjadi tulang punggung perekonomian, dengan kontribusi signifikan dalam menyediakan lapangan kerja dan mendorong roda ekonomi.
Namun, hingga kini, tantangan klasik masih terus membayangi: rendahnya kapasitas manajerial dan pengelolaan keuangan di kalangan pelaku UMKM.
Upaya Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) untuk mengatasi masalah ini melalui pelatihan berjenjang patut diapresiasi.
Baca juga: Perkuat UMKM dengan Teknologi Digital: Apakah Pelatihan Kemenkominfo Sudah Cukup Efektif?
Tetapi upaya yang dilakukan Kemenkop UKM masih banyak yang perlu dikritisi terkait efektivitas dan keberlanjutan program tersebut.
Pelatihan-pelatihan yang disusun secara berjenjang—dimulai dari pengelolaan keuangan, strategi pemasaran, hingga inovasi produk—merupakan langkah taktis yang tepat dalam meningkatkan daya saing UMKM.
Namun, sebuah pertanyaan besar mengemuka: sejauh mana pelatihan ini berdampak nyata dalam jangka panjang?
Ada kecenderungan bahwa inisiatif pemerintah sering kali berhenti di tataran seremonial tanpa ada tindak lanjut yang konkret dan menyeluruh.
Pelaku UMKM butuh lebih dari sekadar pelatihan singkat; mereka membutuhkan pendampingan yang berkelanjutan, bimbingan yang intensif, dan akses ke pasar yang lebih luas.
Baca juga: Berdayakan UMKM, Kunci Masa Depan Ekonomi Indonesia
Upaya sinergis dengan tenaga pendamping yang dikatakan “kompeten” seolah menjadi angin segar, tetapi sering kali kualitas pendampingan ini diragukan.
Apakah tenaga pendamping benar-benar memiliki kapasitas untuk membimbing usaha mikro dengan efektif? Apakah pelatihan mereka juga diperbaharui sesuai kebutuhan dunia usaha yang dinamis?
Banyak pelaku UMKM yang mengeluhkan program serupa di masa lalu, di mana para pendamping kurang memahami realitas di lapangan atau hanya memberikan saran-saran yang sifatnya normatif.
Selain itu, program ini tentu membutuhkan kolaborasi dengan banyak pihak. Sayangnya, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta masih belum optimal.
Ketidakselarasan kebijakan dan kurangnya komunikasi lintas sektoral sering kali menjadi penghambat terbesar dalam implementasi program seperti ini.
Di beberapa daerah, pelatihan serupa telah berjalan, tetapi hasilnya tidak sebanding dengan harapan.
Pemerintah daerah sering kali tidak memiliki sumber daya atau koordinasi yang memadai untuk melanjutkan inisiatif tersebut secara mandiri setelah acara pelatihan selesai.
Meski begitu, ada potensi besar yang bisa digarap dari program ini jika dilakukan dengan komitmen penuh dan pendekatan yang lebih terstruktur.
Baca juga: Pertanyakan Akses Pembiayaan yang Lebih Inklusif dan Adil untuk Sektor UMKM
Manajerial yang kuat adalah kunci bagi usaha mikro untuk berkembang, namun hal tersebut tak cukup hanya dicapai dengan teori di ruang pelatihan.
Dibutuhkan perubahan mentalitas, disiplin, dan dukungan yang konsisten agar UMKM benar-benar bisa “naik kelas” seperti yang diharapkan.
Kemenkop UKM mungkin berada di jalur yang benar, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Kebijakan yang digulirkan harus tidak hanya mencentang kotak program kerja tahunan.
Evaluasi menyeluruh, pembenahan struktur pelatihan, serta upaya memastikan kesinambungan bimbingan harus menjadi fokus jika kita benar-benar ingin melihat sektor UMKM Indonesia berkembang pesat dan mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
Pada akhirnya, UMKM Indonesia membutuhkan tak hanya perhatian. Mereka butuh solusi nyata, keberlanjutan, dan komitmen kuat dari semua pihak. (SG-2)